Senja mulai datang, sore itu, beberapa perahu bermesin ketinting mendekat ke Pulau Tulang, yang berada di depan kampung Dufa-Dufa, Desa Gamsungi, Tobelo, Halmahera Utara, Maluku Utara.
“Setiap sore, orang-orang dari kota selalu berdatangan. Ada yang membawa anak-anak untuk sekadar mandi pantai dan berswafoto dengan latar pulau ini,” ungkap Fahri, Pengelola Pulau Tulang.
Fahri, pria berusia 24 tahun itu lulusan strata satu, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Maluku Utara. Ia sudah 7 bulan tinggal di pulau itu, semenjak membuat rumah panggung, pada Februari 2020.
Bahan rumah panggung bertingkat dua itu, dasarnya dibangun dari sampah botol plastik. “Ibu bapak pernah minta saya kerja sesuai dengan status sarjana saya. Namun saya memilih untuk mengelola pulau kecil ini. Saya sudah tinggal di sini. Tidur di sini. Mengumpul sampah plastik setiap hari, lalu membangun pulau ini,” ungkap Ari, sapaan akrab Fahri.
Untuk sampai ke Pulau kecil ini, yang daratannya hanya berukuran 80 meter di sebelah utara dan 20 meter di sebelah timur dan barat, tak membutuhkan waktu lama. Tak sampai lima menit, menumpangi perahu ketinting. Setiap penumpang hanya membeyar Rp5000 untuk sekali jalan.
Ari bercerita, pada Awal Februri 2020, Ari dan kakanya, Fahmi Lolahi mulai membangun pulau itu. Mereka memanggil beberapa teman yang juga aktif mengelolah Rumah Baca Sepijar di Komplek Dufa-Dufa, Tobelo. Tempat mereka tinggal, tak jauh dari Pulau Tulang.
Ari berkisah, sejak dahulu, Kompleks Dufa-Dufa menjadi tempat bertemunya masyarakat antar pulau. Mereka saling memberi hasil panen. Bahkan, anak-anak dari Pulau Kumo, Kakara, mempunyai orangtua angkat di Dufa-Dufa, sebab mereka bersekolah di Kota Tobelo.
Dufa-dufa begitu heterogen, “Orang-orang dari pulau menjalin hubungan kekeluargaan di sini. Ada yang menjadikan anak dan orangtua angkat. Hubungan seperti ini sudah sejak lama. Dari jaman orang tua kita,” kata Ari.
Ari menceritakan ketakutannya jika pembangunan atau reklamasi akan terjadi di Dufa-dufa, maka akan menghilangkan rekam jejak kehidupan orang laut di sana.
Semangat mereka membangun destinasi wisata di Pulau Tulang adalah agar pemerintah daerah melihat, ada potensi kelautan yang harus dikelola secara baik. Tak harus reklamasi menjadi arah pembangunan ekonomi.
Badan Pusat Stastistik (BPS) tahun 2020 menyebutkan, luas wilayah Halmahera Utara seluas 3.891,62 km2. Halmahera Utara merupakan wilayah kepulauan yang dikelilingi oleh lautan dan sebagian besar wilayahnya yakni 78 persen merupakan lautan.
Pada tahun 2016, BPS mencatat, kabupaten yang di timur Indonesia, yang berbatasan dengan Samudera Pasifik ini, memiliki 216 pulau, yang luas keseluruhannya mencapai 22.507,32 km2 (22%) dan lautan 17.555,71 km2 (78%).
Wilayah ini dipengaruhi oleh iklim laut tropis. Sepanjang tahun 2019 rata-rata suhu udara terendah di Halmahera Utara ada di bulan Juli yakni 25,7o C, sementara rata-rata tertinggi ada di bulan Mei yakni 27,3o C. Kelembaban udara di Halmahera Utara selama 2019 berkisar antara 83-91 persen.
Dari Dufa-DUfa Tobelo, selain Pulau Tulang, beberapa pulau bisa diakses dengan mudah seperti Pulau Pawole, Rarangane, Pulau Tulang, Tolonuo, Kakara, bahkan akses ke Kabupaten Pulau Morotai–pulau dengan sejarah Perang Dunia kedua.
Melihat potensi itu, Ari, yang semasa kuliah, aktif di organisasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara ini bertekat membangun wisata pulau, yang tidak sekadar menjadi tempat melepas lelah.
Di lantai dua rumah panggung, Ari mempersiapkan satu ruang untuk memajang buku bacaan—menjadikan rumah baca. Selain itu, Ari juga juga memberikan edukasi pada pengunjung tentang bahaya sampah plastik.
“Saya buka internet. Cari edukasi tentang bahaya sampah. Di situ, saya pun belajar,” ungkapnya. Ari pun membuat sistem untuk mahasiswa dan pelajar, jika berkunjung ke Pulau Tulang, cukup membayar karcis masuk menggunakan sampah botol plastik.
Dari karcis sampah botol plastik, Ari dan teman-temanya membangun dasar bangunan menggunakan botol plasktik sebanyak 5024 botol dicampur semen.
Bangunan rumah bertingkat dua itu juga berbahan kayu beratapkan seng. Di lantai dua, selain ada ruang membaca buku, Ari juga menyediakan satu kamar untuk pengunjung yang akan menginap.
Sebelum Ari tinggal di pulau kecil itu, dulunya, tak sedikit orang mencari ikan dan habitat laut lainnya dengan cara illegal. Akibat dari itu, banyak terumbu karang yang rusak. Meski begitu, masih ada endemik yang hidup di situ, seperti hiu berjalan atau walking shark.
“Kalau kita mancing ikan, sering dapat hiu berjalan. Kami lepas. Hiu jenis ini bisa kita temu di sebelah kiri pulau ini, hingga ke pulau tetangga, Pulau Kumo,” ungkapnya.
Beruntung bisa menginap di Pulau Tulang. Saat itu, malam tiba. Gerimis turun. Ari pergi ke dapur. Ia menyiapkan minuman kopi panas untuk saya dan Ipang, sahabat saya yang mengelola media komunitas jalamalut. Malam itu, Ari bercerita banyak tentang sejarah pulau ini.
Katanya, dahulu, pulau ini menjadi tempat para komunitas Canga—yang disebut bajak laut dari Tobelo, ketika ada masalah di daratan besar di Tobelo, mereka menyelesaikan masalah itu di pulau ini dengan cara bertarung fisik, berhadap-hadapan menggunakan parang.
“Barang siapa yang menang, maka ia yang akan selamat dan pulang ke daratan besar di sana,” cerita Ari. Hingga pada masa kolonialime oleh VOC, Pulau Tulang pun menjadi tempat mengeksekusi orang-orang Canga yang membangkang terhadap pemerintah kolonial.
“Itu sebabnya banyak tulang manusia yang berserahkan di pulau ini,” katanya.
Hingga pada tahun 80an, kakek buyut Ari, pun membersihkan kerangka manusia di Pulau itu. “Kakek saya membawa tulang-tulang itu di sekitar pesisir daratan besar. Ia membaca mantra berupa doa. Orang di sini bilang kasih sarat. Agar roh-roh pemilik tulang-belulang itu tidak bergentayangan,” ungkap Ari.
Pagi tiba, Selasa (13/8), beberapa orang terlihat berdatangan. Ada yang berswafoto. Ari tak meminta karcis masuk. Ia hanya menaru dus bertuliskan ‘Karcis Sukarela, untuk lab. Sampah Plastik’.
Saya melihat, beberapa pengunjung hari itu tak ada satupun yang menaruh uang di dus tersebut. Hingga sore tiba lagi, pengunjung terus berdatangan. Ada yang duduk berlama-lama, hingga larut malam. Mereka memesan pisang goreng untuk disantap. Ari menyediakannya.
Sore itu, beberapa keluarga pun datang. Ada yang membawa anak-anak. Membawa makanan ringan dari luar. Saya melihat mereka membuang botol plastik bekas minuman, ke laut. Ari dan kawan-kawan selalu mendapati itu.
“Sungguh. Edukasi tentang bahaya sampah memang berat. Butuh waktu lama dan kesadaran bersama,” ungkap Ari.
Ari bilang, ia sudah bertemu beberapa teman, yang kuliah di luar Maluku Utara. Katanya, temannya itu tahu mendaur sampah plastik menjadi bahan bakar minyak. “Kami akan membuat bahan bakar dari plaktik,” kata Ari.
Membantu Dagangan Para Ibu
Setiap Sabtu dan Minggu adalah hari yang paling ramai dikunjungi pengunjung. Beberapa ibu-ibu di Dufa-Dufa bahkan menitipkan dagangan mereka untuk dijajakan di Pulau Tulang.
Ada yang menitipkan jagung rebus hingga rujak. Meski begitu, Ari tak meminta imbalan dari hasil dagangan para ibu-ibu. Bahkan, jika jagung dijual dengan harga Rp8ribu. Ari akan menaikkan harganya jadi Rp10ribu. “Dari hasil jualan, para ibu kasih uang untuk membeli cet Rp1000 rupiah,” ungkapnya.
“Hari Sabtu dan Minggu adalah hari paling ramai dikunjungi. Sekira 20 lebih orang akan datang ke sini,” tambahnya. Dalam sehari, jika terus ramai, Ari bisa mendapat Rp1juta bahkan lebih, dari hasil berdagang pisang goreng dan minuman seperti kopi, the, dan lainnya.
Memang, masih banyak kekurangan soal membangun pulau tersebut. Ari mengaku akan terus belajar mengembangkan pariwisata yang berbasis lingkungan. Ia bahkan membangun jaringan antar orang muda dari berbagai pulau.
Ia memulainya dengan pemuda yang berada di Pulau Kumo, tak jauh dari Pulau Tulang. Di sana, mereka memulainya dengan membuat rumah baca, mengkampanyekan literasi, dan menyelamatkan pulau-pulau dari ancaman abrasi.