Penyaluran DID Bukan Ajang Dagang Politis

Nurkholis Lamaau

(Jurnalis)

Keceriaan terpancar dari raut wajah para penerima bantuan sosial dari Dana Insentif Daerah (DID) di daratan Oba, Kota Tidore Kepulauan. Maklum, sebentar lagi mau lebaran.

Bantuan tahun anggaran 2023 sebesar Rp 20.812.000.000 dengan total penerima 5.982 orang itu, tersebar di delapan kecamatan. Nilainya lumayan.

Pada bidang Dinas Sosial sebesar Rp 3.172.000 per-orang, Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Rp 3.000.000 per-orang, Dinas Kelautan dan Perikanan Rp 4.000.000 per-orang, Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Rp 3.217.000 per-orang, dan Dinas Pertanian Rp 4.000.000 per-orang.

Sayangnya, kegembiraan itu tercoreng dengan perbuatan keji dan amoral sejumlah oknum. Wajar jika Wakil Wali Kota Tidore Kepulauan, Muhammad Sinen, tersulut emosi dan mengutuk keras perbuatan itu.

Tapi saya melihat di sinilah letak persoalannya jika mencermati isi atau arah pemberitaan beberapa media, terkait sebelum dan setelah persoalan itu mencuat.

Narasi yang dibangun media, baik yang disampaikan wali kota mau pun wakil wali kota, cenderung memperdagangkan keberhasilan pemerintah ketimbang yang bersifat antisipatif. Padahal ini persoalan uang.  Banyak celah di situ, dan siapa pun bisa gelap mata.

Imbauan Wali Kota Tidore Ali Ibrahim sudah tepat. Warga penerima harus memanfaatkan bantuan itu. Termasuk menegaskan bahwa bantuan tersebut tidak dipungut biaya atau pemotongan dalam bentuk apa pun. Tapi ada yang terlewatkan di sini, bahwa integritas pejabat belum tentu berbanding lurus dan pers gagal melihat itu.

Sebab, keserakahan dan korupsi sangat mungkin terjadi. Silakan googling, berapa banyak kasus-kasus korupsi dengan beragam modus yang pernah terjadi. Karena pada umumnya masyarakat kita di desa masih awam dengan persoalan keuangan. Apalagi jika itu sudah masuk ranah pemerintah.

Baca Juga:  Ratusan Buruh Pelabuhan Ahmad Yani Ternate Terima THR

Seperti pengakuan salah satu warga di Desa Lola, Oba Tengah. Ketika datang oknum aparat pemerintahan desa menyampaikan bahwa ada pemotongan Rp 500.000 untuk bantuan lansia, pria berinsial MD itu ngikutin saja tanpa bertanya apa dasar pemotongannya?

Sebenarnya, ada banyak faktor yang membuat pelaku begitu mudah memainkan praktik kotor seperti itu. Salah satunya adalah memanfaatkan kepolosan warga yang minim pengetahuan, terutama soal penganggaran yang bersifat birokratis.

Kalau pun ada yang memiliki kemauan, hal itu tak ditunjang oleh langkah partisipatif dan antisipatif dari pemerintah yang sejatinya dapat menggerakan seluruh perangkatnya.

Kedua, adalah tekanan. Dalam dugaan pemotongan anggaran yang melekat di DKP, saya menerima informasi bahwa modusnya adalah sebelum anggaran disalurkan, ada oknum pegawai yang mendatangi calon penerima melakukan penawaran. Jika bersangkutan bersedia bantuannya dipotong, maka akan dinyatakan sebagai penerima.

Dari sini jelas bahwa kasus ini bukan karena faktor teknis. Tapi ada skenario yang dibangun secara sistematis dan terukur. Padahal, bantuan seperti DID ini bertujuan menuntaskan masalah klasik di desa, seperti minimnya modal dalam membangun usaha yang berkelanjutan.

Pemotongan DID adalah kasus penting. Kita tentu tahu betapa sulitnya kebutuhan ekonomi warga saat ini, yang menjadi sebab bantuan itu ada. Tapi kita terlalu sibuk mengurusi–atau memoles–siapa sosok yang bicara. Apakah karena momentum politik sudah di depan mata?

Wartawan yang mengerti akan melihat tidak cukup untuk mengiming-iming warga lewat mulut pejabat dengan narasi “derasnya DID ke Pemkot Tidore karena pemerintah pusat menilai Tidore sebagai pengelola keuangan terbaik di Maluku Utara.”

Atau yang sedikit baperan dan tidak ada hubungannya dengan kegiatan salur-menyalur adalah “enggan meladeni penilaian segelintir orang bahwa Pemkot Tidore tidak berhasil.”

Baca Juga:  Produk UMKM Fagogoru Home Industry Ikut Festival di Belanda

Sebab, apalah arti dari derasnya bantuan pusat ke daerah jika anggarannya disunat sana-sini. Apa gunanya mempublikasikan statemen-statemen seperti “mengutuk, mengecam, tak beri ampun, geram,” jika praktik busuk sudah terjadi.

Sebab, statement – statement seperti itu kecil kemungkinan mengembalikan uang yang telah dipotong jika tak diikuti langkah nyata. Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Tidak ada guna.

Lalu apa pelajaran yang dapat dipetik dari persoalan ini?

Pertama, wartawan sebagai pilar ke empat demokrasi–terutama yang dekat dengan kekuasaan–boleh meminjam mulut pejabat dengan menggiring opini yang bersifat antisipatif. Paling tidak, bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang kritis–jauh sebelum bantuan tersalur.

Misalnya; jika ada oknum berupaya menyunat bantuan, apa langkah hukumnya? Apakah bantuan ini akan dikawal agar tepat sasaran? Apakah melibatkan penegak hukum? Bagaimana bentuk evaluasinya? Apa pesan Anda (wali kota dan wakil wali kota) terhadap pihak penerima jika ada oknum yang dengan sengaja memotong bantuan?

Tentu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kritis seperti ini bukan sekadar gertakan sambal belaka. Tapi benar-benar dibuktikan. Dengan begitu, publik akan lebih sadar, merasa dilibatkan, dan berani untuk melaporkan. Di satu sisi, kesempatan oknum untuk berbuat culas kemungkinan bisa diminimalisir.

Tidak ada salahnya juga jika dalam penyaluran bantuan, pemerintah melibatkan tokoh adat dan agama untuk menekankan bahaya memotong hak seseorang dalam pandangan agama. Sampaikan dalil-dalil agama yang kuat. Siapa tahu dengan begitu mereka jadi takut berbuat dosa.

Karena saya percaya bahwa kejahatan yang terencana hanya bisa dicegah dengan langkah-langkah yang terencana pula. Selebihnya soal kemauan, mau bertindak atau sekadar berstatement? Karena statement adalah pekerjaan paling mudah, semudah meludah ke tanah.

Simpelnya, seorang pemimpin selaku pengambil kebijakan harus berdiri pada garis dalam pengertian negarawan, sebagaimana Kamus Bahasa Indonesia: pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan, atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan.

Baca Juga:  Dua Dewas PDAM Ake Gaale Ternate Belum Ajukan LHKPN

Karena orang-orang miskin atau berpenghasilan rendah bukan karena malas atau tidak mau berusaha. Tapi ada dinamika yang sangat kompleks, sehingga permasalahannya pun tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja.

Tentu butuh usaha bersama, baik dari pemerintah maupun masyarakat, agar orang-orang yang layak dibantu bisa mendapatkan penghidupan yang lebih baik.

Untuk saat ini, kita bisa memulai dengan cara “mengurangi dagangan keberhasilan yang bersifat politis semu.”