Oleh: Samsuria Buamona*
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi menuntut siapa saja untuk cakap digital. Tak heran, acap kali kita menemukan postingan-postingan yang menguak kondisi dalam ranah sosial, budaya, dan lingkungan di media.
Termasuk perempuan yang saat ini menjadi topik utama dalam pembicaraan di media sosial, karena lebih intens berselancar di media baru itu.
Dilansir dari Puslitbang Aptika IKP Kominfo pada tahun 2017, berdasarkan jenis kelamin penggunaan media sosial, perempuan berada di angka 93,68 persen dan laki-laki 92,07 persen.
Kecakapan perempuan dalam media sosial lebih condong menimbulkan paradigma yang tidak baik seperti narasi dari sebuah konten yang tersirat merendahkan perempuan dan ancaman fisik. Tidak lupa pula dampak negatif lain yang dihadirkan media sosial, yakni membuat orang-orang kecanduan dengan internet, memposting video-video yang tidak layak, mengurangi silaturahmi tatap muka dan lain sebagainya.
Namun di sisi lain, kita melihat dalam kehidupan sehari-hari media sosial juga dimanfaatkan sebagai tempat berbisnis, berbelanja online, bisa berkomunikasi dengan keluarga yang jauh, memudahkan mengakses informasi.
Lahirnya digitalisasi dan media baru tentu tidak terlepas dari proses mediasi manusia dan kebudayaannya. Budaya digital menjadi topik hangat untuk didiskusikan, mengingat dampaknya yang semakin kuat dan luas dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Sebut saja, gejolak panas pro-kontra transportasi online, debat haters vs lovers di media sosial saat pemilu, pilpres atau pilkada, isu kekerasan dan pelecehan hingga isu internasional skandal dokumen Panama. Dengan isu tersebut, seharusnya perempuan mampu menggunakan media sosial secara implisit.
Padahal, Survei Indeks Literasi Digital Nasional 2021 menunjukkan bahwa persentase perempuan yang menggunakan internet sebenarnya lebih tinggi daripada pria, yaitu 56,6 persen. Angka tersebut menunjukkan bahwa perempuan Indonesia telah memiliki akses ke teknologi dan saat ini sedang bermigrasi dan bertransformasi secara digital.
Namun, perlu diketahui budaya digital tidak berbeda jauh dengan budaya nondigital. Seperti halnya etika digital dengan etika di dunia nyata. Budaya digital harus menjadi landasan perilaku setiap orang di ranah dunia maya. Dampak dari rendahnya pemahaman akan budaya berdigital membuat pengguna tidak mampu memahami batasan, kebebasan berekspresi dan juga ketidakmampuan orang dalam membedakan keterbukaan informasi.
Sebagai perempuan, mestinya tidak hanya menggunakan media sosial sebagai gelanggang promosi diri. Dengan banyaknya tudingan-tudingan terhadap perempuan, mengapa tidak menggunakan media sosial sebagai alat untuk bisa terekspos dengan baik.
Apalagi media sosial menjadi salah satu tempat orang-orang untuk memantau keindahan perempuan dalam waktu 1×24 jam. Menurut Burhan Bungin dalam bukunya Konstruksi Sosial Media Massa (2011), banyak orang mengagumi keindahan perempuan sebagai karya seni terindah di dunia.
Perlu memanfaatkan teknologi digital dalam kehidupan berbudaya, berbangsa dan bernegara. Dengan begitu teknologi dapat mendorong produktivitas terhadap perempuan sebagaimana mempergunakan teknologi digital.
Sejalan dengan perkataan Anggota DPR RI Komisi I Nurul Arifin dalam webinar Aptika Kemkominfo (Selasa, 21/02/2023), “Objektivitas perempuan ini terjadi akibat budaya patriarki yang sudah tertanam di tengah masyarakat selama ini, sehingga terbawa ke dalam budaya digital.”
Digitalisasi tidak bisa mengontrol suatu objek, namun yang bisa mengontrol hal itu adalah objek itu sendiri. Bukankah harkat dan martabat perempuan yang telah berhasil diperjuangkan oleh RA Kartini?
Itu juga barangkali yang menjadi alasan, terutama sebagai mengenang jasa-jasa RA Kartini, Direktorat Pemberdayaan Informatika, Ditjen Aplikasi Informatika Kemkominfo, bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menyelenggarakan kegiatan Kartini Next Generation sejak 2012 dengan tema “Women As Agents Of Change” yang berarti perempuan membawa perubahan, mempunyai makna perubahan dari era manual ke era digital.
Seharusnya dengan perkembangan teknologi, bisa dimanfaatkan untuk menata stigma masyarakat mengenai budaya patriarki dan obyektivitas perempuan. Belakangan tren pekerja perempuan di sektor teknologi informasi di Indonesia mulai bertambah.
Perempuan makin memberi peran dan kontribusi terhadap sektor yang selama ini didominasi oleh laki-laki. Bahkan melalui bidang ini perempuan juga punya andil terhadap pertumbuhan ekonomi di Tanah Air.
Berdasarkan riset United Nations (UN) Women per Juli 2020, sebanyak 54 persen perempuan menjual produknya melalui internet. Dalam level usaha kecil, proporsi pemanfaatan internet untuk pengembangan bisnis oleh perempuan tercatat mencapai 68 persen atau 12 persen lebih tinggi dibandingkan yang dikelola laki-laki (52 persen).
Untuk bisa mengawasi penggunaan budaya digital kedepannya lebih baik dan sehat sesuai karakteristik bangsa, kebijakan kongkret diperlukan untuk mendorong partisipasi dan inklusi penuh terhadap perempuan dalam digital. Sekaligus mengatasi stereotipe dan norma sosial yang mengarah pada diskriminasi terhadap perempuan.
Tentu hal ini terjadi dampak terhadap laki-laki akibat fenomena perempuan dalam bermedia sosial bisa dimanfaatkan laki-laki sejak usia dini, terpaksa melihat citra perempuan yang realistis dari media yang dikonsumsi seperti sosial media, film, video, musik, iklan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, kecakapan perempuan dalam budaya digital patut untuk diperhatikan lagi. Agar menghindari masalah yang sering dialami perempuan dalam bermedia sosial. Sebagai perempuan harusnya lebih cakap dalam melihat fenomena yang hampir tiap hari selalu tertuju kepada perempuan. Mari bersama-sama memulai hal itu dari diri masing-masing.
———
*Penulis adalah Pengurus Forum Studi Independensia dan mahasiswi Fakultas Sastra dan Ilmu Budaya Unkhair Ternate