Resesi, Literasi Keuangan, dan Kemajuan Ekonomi Global

Oleh: Abel Sabtu

Mahasiswa ITB Ahmad Dahlan

Tahun 2023 diprediksi sejumlah negara termasuk Indonesia, akan mengalami resesi. Hal tersebut menjadikan para pengambil kebijakan, mengambil sejumlah strategi, untuk menghadapi gejolak ekonomi tersebut. Namun, selain dari upaya kebijakan pemerintah, harusnya masyarakat juga dilibatkan dalam pengaturan ekonomi.

Hal yang menjadi fondasi adalah di tingkat terkecil. Keluarga. Bagaimana sebuah keluarga, bisa mengatur keuangan, baik berupa pengaturan akuntasi atau juga literasi keuangan.

Kemajuan teknologi dan pesatnya pertumbuhan dunia usaha saat ini, tidak berbanding lurus dengan tingkat literasi keuangan bagi kaum perempuan di Indonesia. Padahal, perempuan memiliki peran strategis terkait finansial, baik dalam skala domestik, maupun global.

Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2019 (SNLIK) Otoritas Jasa Keuangan indeks literasi keuangan perempuan masih lebih rendah dari laki-laki, yaitu 36,13%. Sementara, indeks inklusi keuangan sebesar 76,19%. Hal ini menunjukkan masyarakat Indonesia secara umum belum memahami dengan baik karakteristik berbagai produk dan layanan jasa keuangan yang ditawarkan oleh lembaga jasa keuangan formal (www.ojk.go.id).

Lemahnya literasi keuangan ini, memiliki banyak dampak pada semua lapisan masyarakat, termasuk negara. Misalnya saja, saat pandemi Covid-19. Selain banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan, orang-orang juga menghadapai situasi membingungkan dalam mengelola keuangan.

Khususnya kaum perempuan yang selama ini hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga, berjuang untuk bisa menopang ekonomi keluarga. Ada yang menjual online, memasarkan jasa kursus memasak, atau pun membuat masakan, dan lain-lain. Selain itu, kaum perempuan harus mengatur pos-pos anggaran dengan cara berhemat. Namun, banyak yang mengalami kendala, di awal-awal pandemi Covid-19, karena kurangnya literasi keuangan.

Kita juga mungkin masih ingat berita di beberapa media, seperti di Detik.com berjudul Cerita Warga Kampung Miliarder Tuban Dulu Diguyur Uang Kini Menganggur. Warga Wadung, Jeanu, Tuban, Jawa Timur, sempat menjadi kampung miliarder dadakan setahun lalu. Saat mendapatkan hasil jual lahan yang mencapai miliaran rupiah.

Baca Juga:  Konfrontasi Munira Dari ‘Labirin’ Halmahera: Membaca Antologi Puisi WDG

Namun, yang terjadi adalah kebingungan mengelola uang dan membuat masyarakat menjadi konsumtif. Uang yang dihasilkan dalam sekejap habis dan warga tak punya pegangan. Padahal, uang tersebut bisa digunakan untuk membangun usaha, atau membeli lahan baru untuk bertani. Atau dijadikan deposito, investasi saham, reksadana, sukuk, Exchance-Traded Fund (ETF) atau Reksa Dana berbentuk kontrak investasikolektif unit yang penyertaannya diperdagangkan di bursa efek. Namun, bagaimana masyarakat bisa tahu semua itu, jika literasi keuangannya belum memadai?

Dari dua kasus domestik dan skala masyarakat luas ini, merupakan representasi dari berbagai dampak kurangnya literasi keuangan. Apalagi, saat ini ancaman resesi tingkat global, tidak menutup kemungkinan berdampak pada Indonesia. Mau tidak mau, kita harus menyiapkan diri, agar kejadian saat Pandemi Covid-19 tidak terulang lagi, atau minimal persoalan keuangan tidak merosot tajam.

Sebelum menemukan jalan ke luar untuk memutar uang, langkah awal penyelamatan ekonomi skala individu hingga lebih luas adalah, manajemen keuangan yang baik. Namun, jika tak punya literasi keuangan yang mumpuni, maka semua itu akan menjadi sia-sia.

Literasi keuangan sendiri bisa menjadi sebuah cara dalam memberdayakan masyarakat, atau pun kesejahteraan individu, perlindungan konsumen, dan peningkatan inklusi keuangan, seperti target keuangan inklusi yang digalakkan OJK atau Bank Indonesia.

Dimulai dari lingkungan keluarga, kaum perempuan yang melek literasi keuangan, dapat mengajarkan atau memberi contoh pada anak-anaknya. Misalnya saja bagaimana mengelola keuangan dan dampak jika tak melakukannya. Meski di bangku pendidikan dasar belum ada materi tersebut.

Akses literasi perempuan, butuh dorongan atau stimulasi. Bank Indonesia, atau pun kementerian keuangan dan OJK, harus lebih giat mendorong peningkatan tersebut, termasuk dengan mengaajak sejumlah pihak. Saat ini, kerja sama lintas sektoral yang bekesinambungan, adalah penguatan dan solusi untuk menjawab berbagai persoalan yang dihadapi.

Baca Juga:  Gedung Morotai Mall Segera Diresmikan Akhir Tahun Ini

Dengan adanya G20 ini, menjadi salah satu momen kebangkitan ekonomi. Perbaikan berbagai sistem peningkatan keuangan inklusi, melalui literasi keuangan, termasuk bagi kaum perempuan. Sehingga, target peningkatan ketahanan sistem keuangan yang inklusif, bisa tercapai.

Sebagai sebuah forum kerja sama antar negara (19 negara dan satu Kawasan, berpendapatan menengah hingga tinggi, negara berkembang hingga maju). Dengan persentase 85% ekonomi dunia, 79% perdagangan global, maka menjadi tuan rumah G20 ini, bisa menjadi momentum kebangkitan ekonomi yang turut digerakkan.

Apalagi forum ini, dunia internasional memberi dukungan sepenuhnya, diharapkan dapat menjadi salah satu kesempatan bagi para pengambil kebijakan, untuk memerhatikan, hal-hal kecil seperti, yang justru memberi dampak besar secara global.

Tentu saja, banyak dampak positif G20 ini. Jika program literasi keuangan bisa menjadi perhatian yang bisa didesain, maka sektor-sektor penggerak ekonomi lainnya juga bisa menopang hal tersebut. Misalnya saja, kesempatan tumbuhnya UMKM Indonesia dengan hadirnya banyak investor internasional dalam even tersebut.

Pada Desember 2021, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan tingkat literasi keuangan di Indonesia baru mencapai 30,03%. Itu masih sangat jauh dari negara tetangga. Dari data Otoritas jasa Keuangan (OJK), Luhut menyebutkan Singapura 98%, Malaysia 85%, dan Thailand 82%.

Data ini menunjukkan, sudah saatnya Indonesia bisa mengejar ketertinggalan itu, demi kemajuan bersama di bidang ekonomi. Literasi keuangan juga menjadi cara, memberikan tongkat estafet pada generasi selanjutnya. Kehadiran industri memang berpengaruh terhadap pendapatan ekonomi sosial.

Dengan demikian, target peningkatan ketahanan sisten keuangan inklusif, bisa tercapai dengan lebih maksimal. Melalui Bank Indonesia pusat lalu terdistribusi ke BI perwakilannya, seperti pengembangan pembiayaan berkelanjutan, bisa menjadi salah satu capaian literasi keuangan bagi kaum perempuan.

Baca Juga:  Ekonomi Malut Tumbuh 16,50 Persen, Ditopang Sektor Pertambangan dan Penggalian

Sudah saatnya, perempuan berdaya dalam rumah tangga, hingga tingkat global, melalui dukungan berbagai pihak dan kerja sama.