M. Reza D. B
Kandidat Doktor Maritime Supply Chain and Logistics System Tokyo Institute of Technology
Pengelola Coffee Jojobo harus tahu diri. Ya, tahu diri dengan cara menempuh jalur hukum untuk mencari keadilan.
Lucu saya melihat persoalan ini. Masalah komunikasi Pemerintah Kota Tidore Kepulauan dengan sudut pandang yang membingungkan, terlepas dari klarifikasi Bapak Wali Kota Tidore, Capt. Ali Ibrahim, yang dimuat di media cetak Malut Post edisi 23 Februari 2023.
Karena itu bagian dari komunikasi politik agar menjaga citra, kurang lebih masalahnya seperti ini: “Karena mahalnya harga makanan saat momentum Sail Tidore tahun 2022, maka image Tidore menjadi jelek dan konsekuensinya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Tidore menurun.”
Jelas ini alasan paling konyol. Coba sudut pandangnya di balik begini: apakah Pemkot Tidore pernah melakukan langkah-langkah konkrit guna menekan harga supaya tidak naik? Semisal memberikan subsidi kepada seluruh pelaku UMKM selama sail berlangsung.
Saya kasihan dengan UMKM di Tidore. Di satu sisi, mereka harus mencari untung guna menutupi pengeluaran akibat pembelian bahan baku, gaji karyawan, dan lain-lain sebagainya. Tapi di satu sisi, mereka disuruh menekan harga serendah mungkin agar memberi kesan yang baik pada pengunjung sail.
Saya rasa, pelaku UMKM di Tidore memiliki keinginan yang sama dengan pemda untuk membuat Sail Tidore sukses. Masalahnya, itu ada pada alokasi anggaran. Apakah pelaku UMKM disubsidi atau tidak. Barangkali ada. Karena Sail Tidore adalah acara bertaraf nasional.
Perlu dicatat, bahwa UMKM bukan seperti ASN yang setiap bulan menerima gaji dari pemerintah. Tentu orientasi mereka adalah mencari untung pada event-event besar seperti sail. Jadi tidak usah beralasan demikian. Pemda harus sadar betul kondisi seperti ini.
Pada dasarnya, pemberian subsidi pada acara-acara besar seperti sail adalah hal yang mutlak. Atau mungkin saya salah dalam membayangkan hal demikian. Ataukah sudah ada, tapi saya sendiri yang tidak tahu. Atau memang tidak ada hal semacam itu.
Pertama, Malut Post edisi 28 Februari 2023, Pemkot Tidore mengklaim UMKM di Tidore berhasil menyerap 1.200 tenaga kerja dengan melihat angka pengangguran. Memang betul, angka pengangguran turun. Tapi dengan meng-highlight UMKM sebagai aktor utama adalah hal yang menyesatkan.
Sebab, setelah saya cek pada data yang dirilis Badan Pusat Statistik Maluku Utara dan Kota Tidore Kepulauan, tidak ada data yang relevan dengan klaim tersebut untuk tahun yang sama (2021). Mungkin sudah ada, tapi belum dipublish. Atau sudah ada, tapi disembunyikan.
Kedua, jumlah wisatawan. Kenapa jumlah wisatawan selama sail menurun? Berapa jumlah wisatawan sebelum dan sesudah sail? Apa benar karena harga makanan? Berapa kerugiannya? Saya rasa sudah terjawab di point pertama.
Ataukah karena minimnya promosi oleh Pemkot Tidore? Sekadar informasi, Wali Kota Tidore, Capt. Ali Ibrahim baru mempromosikan sail pada 22 Oktober 2022 di Metro TV. Dua bulan setelah itu, apakah efektif?
Ketiga, “online trolling.” Sepengetahuan saya, online trolling adalah tersebarnya kebencian dan berita bohong dalam jejaring sosial tanpa didasarkan fakta. Tapi ketika masyarakat meminta klarifikasi dan dialog untuk mufakat (seperti dalam surat perjanjian) perihal persoalan harga tersebut, justru dijawab dengan arogansi. Tak heran jika ada sebagaian masyarakat yang memilih jalur jurnalistik ketimbang jalur hukum.
Apalagi dunia demokratis yang serba digital saat ini, khalayak umum mengkritisi kebijakan kepala daerah (bukan personalnya) lewat sosial media adalah hal yang biasa. Tapi terkadang kepala daerah kerap mengkaitkan dengan personal dan keluarganya.
Kalau pun ada keluarga dari pengelola Coffee Jojobo yang berkomentar bukan pada personal atau keluarganya, tetapi lebih kepada kebijakan dan komunikasinya sebegai kepala daerah, itu adalah konsekuensi sebagai pejabat publik. Tidak usah bawa perasaan. Karena pemerintah merupakan kumpulan positivistic dari masyarakat yang patut dikritisi dan bagian dari pengembangan daerah.
Lalu apakah setiap berita yang dimuat oleh reporter selalu diasosiasikan dengan agenda yang dibayar? Kasihan reporter yang menjadi kaki tangan masyarakat dikatakan tidak professional, hanya karena berseberangan dengan kekuasaan. Tapi kalau dipikir-pikir kembali, yang punya sumber daya dan berpotensi mengontrol opini yah pemda sebagai otoritas kekuasaan.
Keempat, adakah dialog yang dilakukan Pak Wali Kota untuk mengklarifikasi masalah seperti yang dijanjikan wakilnya? Kalau memang dari dialog tersebut ditemukan bobroknya Jojobo, buka saja di publik agar menjadi pelajaran buat kita semua. Bukan malah dibiarkan dan bertindak secara arogan.
Sebab, tidak bisa berbicara kesuksesan UMKM di Tidore, sementara iklimnya saja tidak jelas. Ibarat saya buat lapangan bola tapi saya sendiri yang bermain. Surat perjanjian saja yang seyogyanya menjadi pegangan pelaku UMKM (bukan didasarkan imbauan) dicampur-adukan dengan kepentingan politik. Ataukah sudah ada system reward and punishment? Kalau ada, pasti sangat keren UMKM Tidore.
Saya mengapresiasi ASN Pemkot Tidore atas dedikasinya mengembangkan Tidore. Tapi masalah komunikasi pemimpinnya yang merupakan jabatan politis yang buruk, sehingga membingungkan saya pribadi. Dan, mungkin juga yang lain.
Wali kota dan wakilnya harus sadar bahwa mereka juga memegang fungsi kepala pemerintahan yang mesti menjadi wadah untuk semua masyarakat Tidore tanpa terkecuali. Bukan mencari-cari alasan dari ketidakmampuan mengalokasikan sumber daya secara baik dan berimbang, serta pola komunikasi yang buruk terhadap masyarakatnya.