Sultan Ternate Hidayat Sjah resmi mendaftar di Kantor KPU Maluku Utara untuk maju sebagai calon anggota DPD RI, Selasa, 9 Mei 2023.
Tiba di KPU sekitar pukul 10.15 WIT, Sultan ke 49 itu didampingi sejumlah perangkat adat dan MPW Pemuda Pancasila Malut.
Bagi Sultan Hidayat, sudah menjadi fitrah bagi manusia yang terlahir ke dunia untuk mengabdi kepada Tuhan, sesama manusia, dan alam.
Untuk mengabdi, kata Hidayat, dibutuhkan satu upaya. Oleh masyarakat Ternate dikenal dengan konsep ma co ou kaha kie se gam.
“Baik itu pada negara maupun pemimpin. Inilah yang melatari saya untuk maju,” ujar penulis buku Suba Jou terbitan tahun 2005 itu.
Menurutnya, sulit menilai tepat atau tidak menggunakan jalur DPD sebagai instrumen untuk menjawab sejumlah problem di daerah.
“Karena DPD adalah lembaga negara, juga sebagai medium pengabdian,” ujar sultan kelahiran Jakarta, 30 Maret 1966 ini.
Alasan lain memilih jalur DPD karena Hidayat ingin menjaga keseimbangan antarkelompok politik masyarakat yang telah diwariskan oleh sang ayah, Sultan ke 48, Mudaffar Sjah.
“Pada saat itu ayah memerlukan sebuah kekuatan politik partisan untuk bisa memperjuangkan hak-hak masyarakat adat,” ujarnya.
Sebagai informasi, Sultan Mudaffar mengawali karier politiknya di Partai Golkar dan pernah menjadi anggota DPRD Maluku 1971—1977.
Mudaffar juga pernah menjabat sebagai Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Malut. Setelah itu, terpilih menjadi Anggota MPR utusan daerah Malut 1998—2002. Dan pada pemilu 2004, 2009, dan 2014, terpilih sebagai anggota DPD RI.
Pada akhirnya, kata Hidayat, adat istiadat dan budaya mendapatkan tempat dan menjadi perhatian luas oleh semua lapisan masyarakat.
“Artinya, masyarakat sudah tidak lagi terkotak-kotak,” kata mantan wartawan Kantor Berita Pemberitaan Angkatan Bersenjata itu.
Ini pula yang menjadi prinsip bahwa seorang sultan harus berada di atas semua golongan politik masyarakat. “Maka DPD merupakan pilihan yang tepat,” katanya.
Mantan Anggota DPRD Malut itu mahfum, bahwa kewenangan DPD terbatas. Tapi bukan berarti tak ada upaya yang bisa didorong untuk memperluas fungsi DPD.
Menurutnya, perlu ada penguatan peran DPD dalam konteks pengelolaan negara. Langkah konstitusionalnya adalah meminta DPR RI dan pemerintah membagi porsi kekuasaan pada DPD.
“Agar kerja dan kinerja anggota DPD RI dalam berbuat sesuatu di daerahnya masing-masing bisa berjalan optimal,” ujarnya.
Bagi sultan, jika DPR RI dan pemerintah menganulir maka empat anggota DPD di setiap provinsi dapat membuat undang-undang daerahnya.
“Misalnya tentang perkebunan. Tentu dasar yang dibutuhkan adalah kearifan lokal. Artinya, pengembangan usaha jalan, kearifan lokal juga tidak hilang,” katanya.
Yang jelas, sambung Hidayat, tidak semua bidang diatur atau dimungkinkan untuk DPD RI berbuat. “Mungkin di bidang-bidang tertentu saja,” katanya.
Sejauh ini, sebagian publik beranggapan kenapa seorang sultan harus terjun dalam dunia politik?
Bukankah cukup bagi seorang sultan untuk mengurus kesultanan saja, sebagai benteng budaya lantaran politik selalu dipenuhi intrik dan rivalitas?
Tapi Magister Administrasi Publik Universitas Pasundan, Bandung, Jawa Barat, ini punya jawaban tersendiri. Menurutnya, politik perlu dibedakan.
“Ada politik partisan, ada juga privatitasi politik melalui kekuatan kultur. Tapi tidak bisa dinafikkan bahwa dalam kultur ada kekuatan politik,” ujarnya.
Kekuatan itu, kata Hidayat, digunakan oleh mendiang ayahnya sebagai kekuatan politik partisan, bahwa harus berpartai politik.
Sedangan DPD, kata Hidayat, adalah cara negara memberi ruang pada kekuatan kultur yang notabenenya pada posisi independen.
“Maka sah-sah saja jika seorang sultan melalui kancah politik independen berjuang untuk rakyatnya,” tutur pencetus organisasi Generasi Muda Sultan Baabullah itu.
__________
Penulis: Nurkholis Lamaau