News  

Sungai Ake Jira di Halmahera Tengah Tercemar Akibat Tambang Nikel, Petani Kena Dampak

Kondisi bendungan irigasi Ake Jira di wilayah Transmigran Kobe, Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: WALHI Malut

Belakangan ini, air Sungai Ake Jira di wilayah Transmigran Desa Kobe, Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara yang semula jernih kini merubah menjadi keruh kecokelatan. Kondisi itu diduga disebabkan aktivitas pertambangan di kawasan hulu sungai.

Akibatnya, ratusan keluarga di sekitar aliran sungai itu kini harus beralih membeli air isi ulang. Air keruh karena diduga bukit-bukti berhutan di hulu Sungai Ake Jira terus dikupas dengan traktor dan buldoser perusahaan tambang untuk mendapatkan bijih nikel.

Manager Advokasi Tambang WALHI Maluku Utara, Mubalig Tomagola (27) yang bertolak dari Kabupaten Pulau Morotai ke Weda Tengah untuk melakukan monitoring sempat mengabadikan momen pencemaran tersebut. Mubalig mengungkapkan, Sungai Ake Jira mulai keruh sejak Sabtu, 30 Desember 2023 hingga Jumat, 5 Januari 2024.

“Saya video dan foto itu hari Selasa, 2 Januari 2024. Kondisi itu sampai di Bendungan Ake Jira. Dekat hulu itu warna air lebih parah, berlumpur. Jadi colo (celup) kaki di air terus matahari kenal itu putih semua, bekas lumpur kayak kena kapur dan gatal,” ujar Mubalig kepada cermat.

Mubalig merekam video dan memotret di Satuan Permukiman (SP) 3 Desa Kulo Jaya. Dari amatan visual, kondisi air sungai di areal Bendungan Ake Jira tergolong parah. “Di bendungan itu paling parah, saya foto pas (tepat) di lokasi yang dorang (mereka) mengairi lahan sawah ke sana itu,” ujarnya.

Padahal, menurut Mubalig, saat itu cuaca cerah dan berawan. Ia mengaku sempat ingin memantau situasi di kawasan hulu yang berada di areal konsesi tambang. Namun banyak security yang berjaga di jalur masuk lokasi perusahaan. “Mau masuk sampai di area hulu tapi security so banyak, jadi tara (tidak) bisa masuk ke sana,” katanya.

Pertanian Kolaps

Selama delapan hari menetap di Weda Tengah, Mubalig banyak menggali informasi. Menurutnya, mayoritas masyarakat yang menggantungkan hidup dari hasil pertanian mulai kolaps sejak Sungai Ake Jira sebagai aset paling vital di daerah transmigrasi itu kerap tercemar limbah tambang.

“Penduduk so tara (sudah tidak) menggarap sawah sejak 4 tahun lalu, karena sering banjir. Kalau banjir itu kan dia taiko (terikut) lumpur. Jadi lumpur itu masuk di lahan sawah, padi so tara ( sudah tidak) bisa bangun karena penuh lumpur,” ujarnya.

Wilayah transmigran yang berada di dataran rendah sempat diterjang banjir pada 2004 silam. Saat itu hampir semua rumah warga hingga tanaman padi terendam. Tapi peristiwa itu tidak berdampak signifikan. “Dorang (mereka) masih tuai dia punya hasil. Cuman sekarang ini so tara (tidak) bisa, banjir sedikit saja so taiko (terikut) lumpur,” katanya.

Ia menjelaskan, SP 1 dan 4 yang masuk dalam Desa Dowongi, SP 2 Desa Waijerana, dan SP 3 Desa Kulo Jaya diapit Sungai Ake Jira dan Sungai Kobe yang masih satu hulu. Dari dua sungai itu, hanya Ake Jira yang dibuatkan bendungan untuk irigasi sawah. “Sekarang ini Ake Jira paling parah,” ujarnya.

Baca Juga:  Perkuat SDM, Pemkot Ternate MoU dengan Universitas Muhammadiyah Jakarta
Kondisi sungai Ake Jira di wilayah Transmigran Kobe, Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: WALHI Malut

Selain untuk mengairi sawah, Sungai Ake Jira juga dimanfaatkan oleh warga untuk konsumsi dan mencari biota sungai. Kini, layanan gratis dari alam itu seolah lenyap. “Sungai Ake Jira itu sumber air minum sekaligus mangael (memancing) ikan jenis somasi itu. Sekarang ikan somasi, sogili (belut sungai), mujaer, so tarada (tidak ada),” katanya.

Lahan Tergerus, Bantuan Bibit dan Pupuk Mengalir Terus

Sejak perusahaan tambang bercokol di Halmahera Tengah, hampir tak ada lagi aktivitas pertanian yang ditemui. Sebab, lahan-lahan produktif yang telah lama digarap warga dicaplok perusahaan. Namun di tengah himpitan industri ekstraktif, pemerintah masih gencar menyalurkan pupuk ke petani.

“Mulai sejak perusahaan tambang beroperasi itu so tarada (tidak ada) lagi kegiatan pertanian. Tapi pemerintah datang pendampingan, kasih pupuk, sosialisasi, tapi mau bikin bagaimana. Ada balai pertanian di trans itu sama saja, tara (tidak) bisa bikin apa-apa. Semua so lumpur, tanaman mati semua,” ujar Mubalig.

Pemandangan kontras yang ditemui Mubalig di wilayah Trans Kobe adalah, warga yang notabene memiliki sawah harus membeli beras yang dijual di pertokoan. Begitu juga dengan air bersih yang harus diperoleh dari depot air isi ulang. Kini, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, warga hanya mengandalkan proyek-proyek dari desa.

“Sekarang dorang (mereka) punya kebutuhan ekonomi itu bertahan dengan proyek-proyek dari ADD (Alokasi Dana Desa). Jadi ketika dana desa cair lalu ada kegiatan drainase dan apa-apa itu, dorang (mereka) cari kerja di situ saja,” katanya.

Selain itu, masyarakat juga terpaksa mengkaveling hingga melepas lahan perkebunan mereka ke perusahaan. “Tapi kalau kavelingan so habis, terpaksa lahan harus dorang (mereka) jual. Jadi dorang (mereka) buka satu-dua hektare (untuk dijual), harga Rp 2.500 per meter, Rp 25 juta satu hektare,” ujarnya.

Mubalig bilang, jenis tanah merah di wilayah transmigran tidak bisa ditanami pohon kelapa kecuali buah-buahan seperti pisang, nangka, dan nenas. Khusus untuk buah nenas bukan baru hari ini ditanam, agar seolah-olah ketika digusur perusahaan, pemiliknya mendapat kompensasi. “Nenas itu dari dulu sebelum perusahaan datang,” tandasnya.

Warga SP 3 Desa Kulo Jaya, Abner Dowongi (46) mengungkapkan, sejak perusahaan beroperasi di areal pegunungan sekitar 5 tahun lalu, hasil pertanian warga yang bermukim di empat SP mulai merosot. Selain pertanian, kebutuhan air bersih yang bersumber dari Sungai Ake Jira pun tak bisa dimanfaatkan lagi. “Dapat (terdampak) semua,” ungkapnya.

Abner menuturkan, hulu Sungai Ake Jira yang terletak di wilayah Mensakaulen masuk dalam areal konsesi perusahaan tambang nikel. Perusahaan tersebut di antaranya, PT Tekindo Energi, PT Weda Bay Nickel, dan PT Halmahera Sukses Mineral. “Itu semua dia masuk di situ (hulu sungai)” katanya.

Baca Juga:  Dishub Ternate Buka Layanan Hotline, Masyarakat Bisa Beri Saran hingga Kritik

Bagi Abner, walau pun mereka hidup di bawah garis kemiskinan, tapi setingkat air bersih hingga beras pun dapat dibeli. Dalam arti, kata Abner, perubahan pada kondisi lingkungan memaksa mereka tetap bertahan di tengah laju investasi industri pertambangan. Sebab, hampir semua lahan perkebunan yang digarap warga mengalami kolaps.

“Torang (kami) pe sawah dan kebun itu tanam k bawah tanaman so tara (tidak) bisa berbuah. Pisang yang torang (kami) tanam itu berbuah satu kali saja, selanjutnya so tara (tidak) bisa, dia pe anak (tunas) yang tumbuh itu so tara (tidak) bisa berbuah,” ujarnya.

Sungai Ake Jira Sebelum Tambang Datang

Dulu, ketika hujan mengguyur, besoknya warga sudah bisa mengkonsumsi lagi. Sekarang, ketika hujan, warnanya condong kuning kemerah-merahan. “Dulu kalau malam ini hujan dan banjir, besok so bisa torang (kami) minum, air so jernih. Sekarang ini kalau hujan dan banjir, dua Minggu ke depan belum bisa minum,” katanya.

Bahkan, Sungai Ake Jira yang tersimpan banyak biota lenyap tak tersisah. Kondisi ini setelah perusahaan tambang hadir. “Sungai Ake Jira itu luar biasa dia pe ikan itu, lumayan banyak. Torang bisa bajubi (memanah) toh, tapi untuk sekarang ini jujur saja, so tarada (tidak ada) dia pe ikan, kosong,” katanya.

Alhasil tak ada satu pun warga yang berani mengkonsumsi air tersebut. Bahkan dari dinas kesehatan sendiri telah mengingatkan warga untuk tidak memanfaatkan air Sungai Ake Jira untuk minum dan memasak. “Makanya torang (kami) takut (konsumsi),” katanya.

Kondisi itu membuat warga terpaksa merogoh kocek setiap saat untuk membeli air bersih di depo isi ulang. Padahal, Sungai Ake Jira berperan penting. Warga yang keluar dari hutan dan kebun bebas memanfaatkannya tanpa khawatir sakit. Kini, semua serba beli.

“Dulu itu torang minum, mandi, masak itu samua dari sungai itu. Kitorang yang biasa hidup di hutan cari kayu gaharu, pasang jerat, pulang ke rumah tara (tidak) perlu torang masak air itu, air itu bisa langsung torang minum, sekarang ini so tara bisa. Sekarang (air) pakai memasak me torang beli, minum me torang beli, semua serba beli,” tuturnya.

Selain air bersih, beras hingga sayur-mayur pun dibeli. Padahal, masyarakat di Trans Kobe mayoritas punya lahan pertanian. “Sekarang jangankan beras, sayur saja kitorang beli. Padahal daerah transmigrasi itu pemerintah sudah tetapkan sebagai wilayah lumbung pangan. Tapi kondisi sekarang ini, kitorang so tara bisa batanam,” ujarnya.

Baca Juga:  Hanura Malut Target 7 Kursi di Provinsi, Basri: Kami Juga Realistis

“Sungai itu tara (tidak) bisa difungsikan untuk kitorang pe proses pembibitan sayuran. Jadi bisa dikatakan sayur yang masuk di daerah pertambangan itu bukan dari daerah transmigrasi torang (kami) di sini, tarada (tidak), tapi dari luar daerah,” tambahnya.

Menurut Abner, bendungan dan irigasi di Trans Kobe masuk urutan kedua terbesar di Mauku Utara. Tapi kini masyarakat sudah tidak bisa memanfaatkan lagi. “Padi saja torang batanam so tara bisa. Sebelum tambang masuk eksplorasi di atas gunung itu, torang pe persawahan berjalan lancar, bagus, tapi sekarang ini macet,” ungkapnya.

Akibatnya, sebagian besar warga berbondong-bondong mengkaveling lahan untuk dijual ke perusahaan. Hal ini terpaksa dilakukan agar kebutuhan rumah tangga bisa terpenuhi. “Ini saya mau jujur, dengan kondisi yang ada sekarang ini, kitorang semua mengarah ke kavelingan. Torang berharap dari situ,” katanya.

“Torang pe isi dapur tara (tidak) bisa beli, jadi kitorang jual kavelingan supaya torang bisa beli. Sedangkan aturan pemerintah adalah tanah di hutan produksi itu tara bisa diperjualbelikan. Tapi kitorang harus jual karena untuk kebutuhan sehari-hari,” tambahnya.

Pemda sempat mengundang warga untuk membahas tentang pembayaran lahan. Saat itu, warga mempertanyakan kebijakan pemerintah yang terkesan aneh. “Apakah tanah yang ada di Negara Republik Indonesia ini dia pe harga Rp 2.500? Lebih mahal dari sayur kangkung satu ikat yang harganya Rp 5000? Itu yang torang pertanyakan,” katanya.

“Kedua, ketika torang (kami) mempertahankan torang pe hak yang so bikin kebun itu dengan harga yang masuk akal, pihak perusahaan dorang bikin penyerobotan di torang pe lokasi tanpa ada pemberitahuan pemilik lahan. Ketika torang mempertahankan itu, dorang (mereka) kasih turun aparatur negara, itu fakta yang terjadi,” tambah Abner.

“Aparatur negara ini kan untuk mengayomi masyarakat, bukan mengayomi perusahaan. Kalau aparatur negara bela perusahaan, tara (tidak) bela masyarakat, kira-kira kitorang masyarakat mau jadi apa? Kitorang ini so pastiu (bosan) karena keluhan seperti ini tara pernah direspons pemerintah,” imbuh Abner.

Kepala Bidang Penataan dan Penaatan Lingkungan Hidup DLH Halmahera Tengah, Abubakar Yasin justru bertanya kapan Sungai Ake Jira tercemar. Meski begitu, ia berjanji akan mengecek dengan meminta arahan dari pimpinannya. “Ini kejadian kapan? Nanti torang minta arahan bu kadis untuk kroscek ke lapangan,” katanya.

Sementara itu, Kepala DLH Maluku Utara, Fachruddin Tukuboya mengira pencemaran tersebut terjadi di Sungai Sagea, Weda Utara, dan menyebut Sungai Sagea di bawah pengawasan KLHK. DLH Maluku Utara hanya membackup. Setelah dijelaskan, Fachruddin mengatakan, “Oh oke, nanti DLH kabupaten turun dulu untuk pantau.”

—–

Penulis: Olis

Editor: Ghalim Umabaihi