News  

Tolak Tambang PT MAI, Warga Sagea: Kami Menjaga Benteng Ekologi Terakhir

Koalisi masyarakat menggelar kampanye perlindungan kawasan Kars Sagea di Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: Save Sagea

Koalisi Save Sagea kembali menegaskan penolakan terhadap rencana ekspansi perusahaan tambang PT Mining Abadi Indonesia atau PT MAI di wilayah mereka. Save Sagea menilai operasi tambang hanya akan melahirkan kerusakan ekologi berkepanjangan di masa depan.

Sebelumnya, PT MAI diduga menyerobot lahan warga di Desa Sagea dan Kiya Kecamatan Weda Utara, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Dugaan tersebut kemudian berujung disambut aksi unjuk rasa warga.

“Kami menyatakan dengan tegas bahwa perjuangan warga Sagea dan Kiya bukan sekadar soal ganti rugi atas lahan yang telah diserobot perusahaan. Lebih luas dan genting, perjuangan ini adalah soal ruang hidup, soal lingkungan hidup, dan soal masa depan generasi kami,” kata Mardani Lagayelol, Juru Bicara Save Sagea, Kamis, 23 Oktober 2025.

Baca Juga:  Pemprov dan Pemda Halut Kuatkan Gugus Tugas untuk Lindungi Anak di Bawah Umur

Benteng Ekologi Terakhir

Menurut Mardani, penolakan PT MAI merujuk pada alasan yang jelas: pertama, pihaknya menyoroti dampak jangka panjang yang ditimbulkan oleh aktivitas tambang terhadap dua ekosistem vital di kawasan mereka, yakni kawasan Karst Sagea yang memiliki luas sebesar 5.714 hektare, membentang dari pegunungan Legayelol hingga ke wilayah Goa Bokimaruru dan Telaga Yonelo.

“Kedua wilayah ini memiliki nilai ekologis yang tinggi serta makna kultural dan spiritual yang dalam bagi masyarakat Sagea-Kiya. Dengan kata lain, bahwa Karst Sagea adalah benteng kami, sumber hidup kami, dan tempat sumber air kami berasal,” ujarnya.

“Kami tidak akan tinggal diam jika tempat ini dihancurkan. Demikian pula Telaga Legayelol, yang bukan hanya sumber kehidupan berupa pangan, tetapi juga pusat budaya dan ritus leluhur kami yang masih kami rawat hingga hari ini.”

Baca Juga:  Belasan Rumah Panggung di Ternate, Maluku Utara, Terbakar

Mardani menegaskan perlawanan warga Sagea-Kiya bukan semata karena tanah atau kompensasi. Ini adalah perjuangan mempertahankan kehidupan, lingkungan, dan identitas budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun.

“Kami tidak akan tinggal diam menyaksikan tanah kami dirusak dan hak-hak kami diinjak-injak atas nama investasi dan kemajuan ekonomi yang semu. Kami akan terus berdiri, menolak, dan melawan setiap bentuk perampasan ruang hidup kami,” katanya.

Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara, Julfikar Sangaji mengatakan, geliat operasi tambang PT MAI sejatinya melanggar sejumlah ketentuan hukum terkait perlindungan sistem ekologi di Sagea dan Kiya.

Baca Juga:  Heboh! Seekor Buaya Masuk ke Toko di Taliabu, Jadi Tontonan Warga Setempat

Peraturan itu antara lain adalah Perpres Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, Lampiran IV, halaman 264, yang menyebut Kawasan Karst Bokimoruru (Sagea) sebagai satu dari tiga kawasan prioritas konservasi di Maluku Utara.

Kemudian, kata Julfikar, PT MAI juga melanggar Peraturan Daerah (Perda) No. 3 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Halmahera Tengah 2024–2043 yang menetapkan wilayah Sagea sebagai Zona Kawasan Karst Kelas I, yang hanya diperuntukkan untuk
konservasi dan penelitian.

Baca Juga:  Panti Pijat di Ternate Dilarang Beroperasi Selama Ramadan 2025

“Jadi memang secara hukum ini melanggar ketentuan yang sudah ditetapkan pemerintah. Secara umum, operasi tambang memang hanya akan memporak-porandakan lingkungan hidup warga,” ucap dia.

JATAM turut menilai bahwa demi keberlanjutan ekologi di daerah tersebut, maka seluruh izin usaha tambang perlu dicabut.

Penulis: Tim CermatEditor: Rian Hidayat Husni