Berada di tengah limpahan air bersih namun tak dapat menikmatinya adalah persoalan lumrah bagi warga di Desa Juanga, Pulau Morotai, Maluku Utara.
Krisis tersebut telah berlangsung puluhan tahun–lalu warga hanya mengandalkan air hujan sebagai penyangga kebutuhan mereka.
Sumirda, warga desa tersebut tampak menatap kosong di teras rumahnya saat didatangi cermat, Jumat, 27 September 2024.
“Setiap hari kami terpaksa mengonsumsi air hujan yang ditampung di bak,” ucap Sumirda.
Meski pasokan air terbilang melimpah, menurut Sumirda, tak banyak yang menikmati distribusi air yang disalurkan pemerintah melalui perusahaan air minumnya (PAM).
“Air PAM yang mengalir melalui pipa hanya dapat dinikmati sekali dalam seminggu, itupun hanya sebagian kecil warga yang mendapatkannya. Mayoritas warga Juanga mengandalkan air hujan,” tuturnya.
Akses untuk mendapatkan air bersih yang layak sejatinya menjadi persoalan serius warga Juanga. Meskipun pipa air sudah terpasang, namun distribusi air PAM yang tidak merata membuat warga terpaksa mengandalkan air hujan.
Kondisi ini diperparah dengan harga air yang dijual mengunakan mobil tangki terus mengalami kenaikan.
“Tahun lalu, kami membeli air isi ulang seharga Rp150.000 per tangki. Namun, karena kenaikan harga BBM, saat ini harga air menjadi Rp200.000,” katanya.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, hampir setiap rumah di Desa Juanga telah dilengkapi dengan bak penampungan air hujan. Sayangnya, ketergantungan pada air hujan ini membawa sejumlah risiko, terutama saat musim kemarau tiba.
Sumirda menjelaskan bahwa warga setempat enggan mengkonsumsi air PAM. “Jarang kami minum air PAM karena air pam salobar kotor atau bercampur kotoran,” ujarnya.
Kondisi ini menunjukkan adanya masalah serius terkait kualitas air bersih yang disediakan oleh pemerintah.