Oleh: Taufiq Fredrik Pasiak*
BURSA Efek Indonesia membekukan sementara perdagangan pada Selasa, 8 April 2025, pukul 09.00 WIB karena IHSG turun hingga 8 persen. Lalu pada sore harinya, IHSG ditutup melemah, dipicu oleh kekhawatiran pelaku pasar terhadap kebijakan tarif impor oleh AS (Tempo, 8 April 2025, pukul 10.02 dan 17.46 WIB).
Saya bukan pelaku pasar, tapi sebagai ilmuwan otak dan psikologi, saya cukup paham: jika pasar totofore (‘gemetar’ dalam bahasa Manado), maka otak sosial masyarakat juga ikut bergetar. Karena dalam dunia yang terhubung oleh persepsi, ekonomi bukan lagi sekadar angka, melainkan emosi yang menular—dan pada titik tertentu, menjadi krisis kolektif di dalam kepala rakyat.
Apa yang lebih mengerikan dari kejatuhan ekonomi? Jawabannya: kejatuhan kepercayaan. Pada 8 April 2025, Bursa Efek Indonesia memutuskan untuk menghentikan sementara perdagangan (trading halt) karena IHSG anjlok 9,19% hanya dalam waktu beberapa menit setelah pembukaan. Dari 626 saham yang diperdagangkan, hanya sembilan yang menguat. Ini bukan koreksi biasa. Ini adalah sinyal bahwa sistem sedang demam tinggi, dan para investor—baik besar maupun kecil—serempak menekan tombol panik.
Ketika sebuah indeks pasar seperti IHSG turun begitu dalam, itu bukan sekadar soal angka. Itu soal psikologi kolektif yang sedang retak, tentang ekspektasi masa depan yang mendadak suram, dan tentang sistem keyakinan yang tiba-tiba goyah. Ini bukan krisis ekonomi saja, ini krisis saraf.
Ekonomi, politik, dan psikologi adalah satu sistem saraf kolektif yang saling menyetrum. Ketika nilai tukar rupiah melemah melampaui Rp17.000 per dolar AS—tertinggi dalam sejarah Indonesia—dan elite politik sibuk mempertontonkan tarik-ulur pasca pemilu, pasar bereaksi bukan hanya dengan kalkulasi, tapi juga kecemasan. Investor menarik dananya, masyarakat menahan belanja, dan publik makin sering bertanya, “kita ini sebenarnya sedang ke mana?” Inilah saat di mana amigdala publik bekerja lebih aktif dibanding prefrontal cortex-nya. Rasionalitas melemah, insting bertahan hidup mendominasi.
Ketika ketidakpastian menjadi norma, maka setiap keputusan—dari belanja sembako sampai jual saham—diambil bukan karena analisis, tapi karena rasa takut. Dan rasa takut, jika dibiarkan memimpin sistem, selalu lebih cepat menjatuhkan ekonomi daripada inflasi. Ini mengingatkan saya pada psikolog pemenang Nobel Ekonomi, Daniel Kahneman, soal sistem-1 (instink) yang bergetar keras ketika berada pada situasi tidak pasti.
Investor panik karena angka, tapi rakyat gelisah karena suasana. Meski belum tampak secara besar-besaran di lapangan, tetapi sejumlah orang mulai bertanya dan gelisah. Ini bukan soal berapa banyak saham yang jatuh atau berapa titik IHSG yang hilang, tapi tentang apa yang dirasakan masyarakat saat belanja di pasar, saat bayar cicilan, atau saat mendengar kata “resesi” dari televisi dan TikTok. Dalam otak mereka, sinyal ancaman itu nyata.
Sistem limbik, terutama amigdala, aktif menyala—memicu kecemasan tanpa bentuk, tapi terasa. Kita menyaksikan sebuah perpindahan krisis: dari lantai bursa ke ruang dapur, dari indeks ke perut, dari layar trading ke isi kepala orang-orang biasa.
Saat IHSG runtuh, yang ikut runtuh adalah rasa aman kolektif. Dan ketika rasa aman hancur, publik berhenti bertanya “apa yang bisa saya lakukan?” dan mulai bertanya, “bagaimana saya bertahan?” Inilah fase di mana logika publik disubstitusi oleh insting. Rasa panik elite pasar turun perlahan menjadi letih yang pasrah di warung-warung, di grup WA ibu-ibu, atau di unggahan satir para pekerja.
Dalam situasi krisis, yang pertama dikendalikan bukan ekonomi—tapi narasi. Negara tahu bahwa jika kepercayaan publik runtuh, maka angka-angka fiskal tidak akan menyelamatkan, maka muncullah aneka pengalihan isu: dari retorika “_Indonesia aman dan terkendali_”, hingga banjir konten positif di media sosial tentang ekspor, pembangunan, atau ucapan-ucapan klise pejabat.
Namun secara psikologis, publik tidak hanya menyerap fakta—mereka menangkap nada emosional. Dan ketika pengalaman sehari-hari rakyat tidak sejalan dengan narasi yang dibangun elite, maka timbul yang disebut disonansi kognitif kolektif: otak publik terbelah antara realitas yang mereka rasakan dan realitas yang dipaksakan oleh sosial media. Di sinilah, sistem limbik mereka terus teraktivasi, menciptakan kecemasan diam-diam, kemarahan pasif, dan frustasi yang terpendam.
Begitu teorinya. Praktiknya? Bisa ada revolusi. Kecemasan, kepanikan massal bisa bertransformasi menjadi kemarahan massal.
Neurosains politik menyebut keadaan ini sebagai bias stabilitas semu—saat publik secara bawah sadar memilih untuk percaya bahwa semuanya baik-baik saja karena menerima kenyataan bisa lebih menyakitkan. Jadinya, meskipun harga-harga naik dan rupiah melemah, sebagian masyarakat tetap mengatakan “yang penting kita masih bisa makan,” atau “semua negara juga sedang krisis.” Ini bukan bentuk kebodohan, tapi strategi otak untuk bertahan. Dalam jangka pendek, ini melindungi kita dari kelelahan mental. Dalam jangka panjang, ini melahirkan publik yang tak punya daya dorong: tidak marah, tidak tenang, tidak bergerak, tidak berpikir. Kita hidup dalam ilusi kestabilan, padahal ketidakstabilan telah masuk ke sumsum saraf sosial bangsa.
Dan di sinilah peran kekuasaan diuji: apakah ia hadir untuk memulihkan kepercayaan melalui kejujuran dan keberanian mengambil keputusan sulit—atau justru memanfaatkan kebingungan publik untuk menambah kontrol?
Sejarah menunjukkan, krisis sering menjadi ladang subur bagi konsolidasi kekuasaan: ketika publik bingung, mereka lebih mudah diarahkan. Ketika publik takut, mereka akan menyerahkan otoritas pada siapa pun yang menjanjikan keamanan, meski tanpa transparansi. Kita jangan heran jika narasi “optimisme palsu” dan “pengalihan isu” makin kencang di saat rupiah terjun dan IHSG gemetar. Kekuasaan tahu, yang harus dikendalikan bukan data, tapi arah perhatian publik.
Dalam konteks ini, pendekatan neuroekonomi sangat membantu untuk membaca kegelisahan pasar dan masyarakat. Dalam artikelnya yang berpengaruh, Neuroeconomics: _How neuroscience can inform economics_ (Journal of economic literature., Vol.43, no.1, March 2005), Camerer, Loewenstein, dan Prelec menunjukkan bahwa otak manusia tidak selalu bertindak rasional dalam menghadapi risiko dan ketidakpastian. Justru, keputusan ekonomi sangat dipengaruhi oleh mekanisme otak yang bekerja secara emosional—khususnya melalui amigdala (pusat deteksi ancaman), insula (respon terhadap risiko dan aversi), serta korteks prefrontal ventromedial yang mengintegrasikan emosi dan nilai ekonomi.
Ketika menghadapi gejolak pasar seperti hari-hari ini, ketiga sistem otak ini bekerja serempak: rasa takut menguat, persepsi ancaman meningkat, dan dorongan untuk menarik diri dari risiko menjadi dominan (FYI, artikel ini dianggap pembahasan paling awal dalam bidang Neuroekonomi!)
Inilah mengapa, menurut para pakar neuroekonomi tersebut, fluktuasi pasar tak bisa semata dijelaskan lewat variabel rasional seperti laporan keuangan atau prospek makroekonomi. Ada dimensi lain: emosi massa yang ditularkan, diperkuat, dan diulang dalam sistem saraf kolektif. Pasar finansial, pada akhirnya, adalah arena keputusan manusia yang rapuh dan mudah terdistorsi oleh tekanan psikologis. Dan ketika sistem limbik yang mengambil alih kendali, kehati-hatian berubah menjadi kepanikan.
Hemat saya, saat pasar panik dan publik gamang, solusi pertama justru bukan retorika optimisme kosong—melainkan penenangan sistem saraf kolektif. Tentu, tidak mengabaikan upaya-upaya politik dan ekonomi. Pemerintah dan otoritas ekonomi harus mulai menyadari bahwa kepercayaan publik dibangun bukan hanya lewat angka, tapi lewat neuro-signaling yang konsisten: transparansi, empati, dan respons cepat. Ini bukan sekadar soal ekonomi, tapi soal bagaimana otak rakyat memproses rasa aman. Seperti yang ditunjukkan neuroekonomi, stabilitas bukan hasil dari kontrol, tapi dari persepsi bahwa negara hadir dan bisa diandalkan.
Kita butuh pemulihan bukan hanya dari sisi fiskal, tapi juga dari sisi psikologis. Edukasi ekonomi yang emosional dan manusiawi harus menjadi bagian dari strategi komunikasi publik. Investor butuh informasi yang jernih, rakyat kecil butuh rasa bahwa mereka tidak ditinggalkan. Karena dalam dunia yang sarat ketidakpastian, menenangkan amigdala publik jauh lebih berdampak daripada memoles grafik ekonomi (Pangkalan Jati, Selasa 08042025).
——
*Penulis merupakan Ilmuwan Otak, Dekan FK UPN Veteran Jakarta