News  

2 Perusahaan Tambang Pamit dari Proyek 42 Triliun di Halmahera Tengah

Kawasan industri pengolahan nikel PT IWIP di Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: FOSHAL

Perusahaan tambang Perancis, Eramet dan perusahaan bahan kimia Jerman, BASF, kompak membatalkan investasinya pada proyek pemurnian nikel-kobalt senilai 2,6 miliar dollar AS, atau setara Rp 42 triliun. Proyek tersebut berlokasi di Kawasan Industri Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara.

“Setelah evaluasi menyeluruh, termasuk diskusi tentang strategi pelaksanaan proyek, kedua mitra memutuskan untuk tidak melanjutkan investasi ini,” kata Eramet dalam siaran pers, tanpa menjelaskan lebih lanjut dikutip reuters, Selasa 25 Juni 2024.

Keputusan membatalkan rencana investasi pada proyek yang diberi nama Sonic Bay itu, karena adanya perubahan lanskap pasar nikel global. “Eramet akan terus mengevaluasi potensi investasi pada rantai nilai baterai kendaraan listrik nikel di Indonesia dan akan memberi tahu pasar pada waktunya,” tambahnya.

Namun para peneliti menilai, masalah lingkungan hingga ruang hidup Suku O’Hongana Manyawa diduga menjadi salah satu alasan di balik mundurnya rencana itu. “Bukan hanya lingkungan hidup, tetapi juga hak masyarakat adat,” ujar Peneliti dan Advokasi Asia dari Survival International, Callum Russel kepada cermat, Sabtu, 13 Juli 2024.

Callum mengatakan, sebelumnya Survival International mengirimkan lebih dari 20.000 email ke perusahaan yang bergerak pada industri kendaraan listrik, untuk tidak menerima nikel dari wilayah O’ Hongana Manyawa. “Selain itu, Survival juga melobi pihak berwenang Jerman,” katanya.

Namun, Peneliti Forum Studi Halmahera Maluku Utara, Masril Karim menilai pamitnya Eramet dan BASF dari proyek itu tidak menyurutkan daya rusak, yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan nikel yang menggempur daratan Pulau Halmahera.

“Batalnya rencana Eramet dan BASF bukan berarti aktivitas perusahaan tambang nikel berhenti,” ujar Masril dalam keterangan tertulis yang diterima cermat pada Jumat, 12 Juli 2024.

Baca Juga:  Gelar FGD Cek Fakta, AMSI Malut Serukan Kolaborasi Cegah Hoaks Saat Pilkada

Dengan kata lain, lanjut Masril, perusahaan tetap membabat hutan, menguruk tanah hingga perbukitan untuk memperoleh bijih nikel, dan kemudian dibawa ke kawasan industri pengolahan. “Jadi proses ekstraktivisme masih terus berlanjut,” tegasnya.

Menurut Masril, mundurnya dua raksasa Eropa itu justru membuka borok tata kelola pertambangan di Halmahera Tengah. “Bahwa ada problem serius terkait absennya penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat dan komunitas warga lokal,” imbuh Masril.

Penilaian Masril selaras dengan pernyataan dari Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Pengembangan Industri sektor ESDM, Agus Tjahjana Wirakusumah. Menurutnya, kedua perusahaan itu tidak hengkang karena masih memiliki konsesi tambang di wilayah tersebut.

“Mereka kan pastinya ya ditunda karena mereka kan punya konsesi, jadi enggak mundur,” kata Agus dikutip kumparanbisnis, Jumat, 5 Juli 2024.

Agus menjelaskan, alasan mengapa kedua perusahaan menunda investasinya di hilirisasi nikel Indonesia, karena mereka masih konservatif memantau pergerakan pasar nikel dunia. “Mereka melihat bahwa sampai di mana sih International trade itu, pasar itu mau ke mana, saya lihat mereka lebih konservatif ya,” tuturnya.

Diketahui, proyek senilai USD 2,6 miliar itu berupa pengembangan smelter dengan teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL) yang menghasilkan Mixed Hydroxide Precipitates (MHP). Produk akhir itu digunakan salah satunya sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik.

—-

Penulis: Olhis

Editor: Ghalim Umabaihi