Penunjukkan Pejabat Kepala Daerah Morotai dalam Pusaran Kepentingan

Tarwin Idris, Alumnus Pascasarjana FH Universitas Islam Indonesia dan Dosen Tidak Tetap FH Universitas Muhammadiyah Maluku Utara.

Hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2017 dan 2018 yang masa pemerintahannya berakhir pada tahun 2022 dan 2023 tidak akan menyelenggarakan pilkada pada tahun tersebut, dan baru dilaksanakan serentak pada tahun 2024 secara nasional.  Sebagaimana kesepakatan antara Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Menteri Dalam Negeri bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui rapat dengar pendapat, bahwa pemungutan suara pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota serentak nasional jatuh pada hari Rabu, 27 November 2024.  

Konsekuensi dari penundaan pilkada yakni terjadinya kekosongan jabatan kepala daerah di sejumlah daerah baik pada tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Dengan durasi penantian pilkada serentak nasional berkisar satu sampai dua tahun lebih, maka penting untuk menunjuk pejabat kepala daerah dalam rangka menjalankan roda pemerintahan. 

Sebagaimana ketentuan Pasal 201 ayat (9) Undang-Undang 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (selanjutnya UU 10/2016). Bahwa “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5), diangkat pejabat Gubernur, pejabat Bupati, dan pejabat Wali Kota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024”.  

Sistem Pengisian Pejabat Kepala Daerah

Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan. Yang dimaksud dengan kepala daerah diberhentikan karena berakhirnya masa jabatan, tidak dapat melakukan tugas secara berkelanjutan, melanggar sumpah janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, melanggar larangan bagi kepala daerah, melakukan perbuatan tercela, serta yang lainya, UU 23/2014 Pemerintahan Daerah.

Baca Juga:  Demokrasi di Era New Normal

Apabila kepala daerah diberhentikan sementara, maka wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan kewenangan kepala daerah sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan jika tidak ada wakil kepala daerah, Presiden menetapkan pejabat gubernur atas usul Menteri, dan Menteri menetapkan pejabat bupati/wali kota atas usul gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Dan jika kepala daerah telah diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan pengisian jabatan kepala daerah sesuai dengan ketentuan “peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan kepala daerah”.

Dalam rezim UU 10/2016, Pasal 201 ayat (10) dan (11) untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat pejabat yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya. Dan untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Wali Kota, diangkat pejabat yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pasal 19 ayat (1) huruf b dan c, UU 5/2014 Aparatur Sipil Negara, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “jabatan pimpinan tinggi madya” meliputi sekretaris jenderal kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga Negara, sekretaris jenderal lembaga nonstruktural, direktur jenderal deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara. 

Sementara yang dimaksud dengan “jabatan pimpinan tinggi pratama” meliputi direktur, kepala biro, asisten deputi, sekretaris direktorat jenderal, sekretaris direktorat jenderal, sekretaris kepala badan, kepala pusat, inspektur, kepala balai besar, asisten sekretariat daerah provinsi, sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala dinas/kepala badan provinsi, sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan jabatan lain yang setara.

Baca Juga:  Baju Dinas ASN dalam Lintasan Sejarah

Bahwa pengisian pejabat kepala daerah yakni gubernur, bupati, dan Wali Kota karena terjadinya kekosongan kepala daerah baik diberhentikan atau penundaan pilkada maka yang berkewenangan menetapkan pejabat Gubernur adalah Presiden, berdasarkan usul Mendagri. Dan untuk pengisian pejabat Bupati/Wali Kota kewenangan menetapkan berada pada Mendagri berdasarkan usul gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

Oleh sebab itu, baik Presiden atau Mendagri seharusnya menetapkan pejabat berdasarkan usulan Mendagri untuk pejabat Gubernur, serta usulan Gubernur untuk pejabat Bupati/Wali Kota karena ini perintah undang-undang. Namun, ada juga yang memahami bahwa usulan pejabat hanya bersifat rekomendasi dan tidak bersifat wajib untuk ditindak lanjuti, sehingga mengambil opsi lain dari nama yang diusulkan. Akibat dari hal tersebut, sering menimbulkan ketegan antara mendagri dan gubernur.         

Pejabat Kepala Daerah Sarat Kepentingan

Satu dari sekian daerah yang akan diisi oleh pejabat kepala daerah untuk dua tahun ke depan adalah Kabupaten Pulau Morotai. Gubernur Abdul Ghani Kasuba sebagai wakil pemerintah pusat telah mengusulkan kepada Mendagri untuk menetapkan satu nama sebagai pejabat kepala daerah Pulau Morotai yang belakang ini telah diketahui oleh publik nama-nama yang diusulkan. Usulan gubernur pun mendapat respon yang beragam dari masyarakat Morotai ada pro dan kontra dengan nama-nama tersebut. 

Morotai sendiri perna mengalami fase kekosongan kepala daerah masa pemerintahan Rusli Sibua dan Weni Ritha Paraisu, di mana Bupati Rusli Sibua diberhentikan secara permanen dan Wakilnya diberhentikan sementara. 

Dalam kurung waktu sembilan bulan Morotai dipimpin oleh empat pejabat kepala daerah tidak terhitung Weni Ritha Paraisu (menyelesaikan sisa masa jabatan) dan Samsudin Abdul Kadir (Menjabat pasca berakhir periode Rusli dan Weni), yakni Ramli Yaman 8 Juli 2015-28 Oktober 2015, Yahya Hasan 28 Okt 2015-29 Januari 2016, Ramli Yaman 29 Januari 2016-19 Februari 2016, M. Sukur Lila 19 Februari 2016-14 April 2016. 

Baca Juga:  Menjenguk Halmahera

Jika dilihat dari durasi mereka menjabat paling lama tiga bulan dan paling cepat satu bulan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengisian pejabat kepala daerah sangat transaksional dan sarat akan kepentingan politik.  

Bahwa pengisian pejabat kepala daerah Pulau Morotai sarat akan kepentingan, yakni kepentingan sosial dan politik. Pertama, kepentingan sosial. Kepentingan ini muncul dari kalangan masyarakat yang merasa tidak puas dengan kepemimpinan bupati saat ini sehingga dengan keberadaan pemimpin yang baru, mereka menggantungkan harapan agar kepentingannya dapat diakomodir lebih baik.

Kedua, kepentingan politik. Kepentingan ini muncul dari dua arah, yaitu dari bupati definitif saat ini dan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang mengusulkan pejabat kepala daerah. Dalam mengusulkan pejabat kepala daerah, Gubernur sering mengambil pejabat yang berada di lingkungan pemerintah provinsi dengan begitu gubernur muda mengontrol kebijakan pejabat kepala daerah. 

Sementara kepentingan bupati bisa bersifat politik untuk pilkada 2024, dan juga bersifat mengamankan kebijakan yang sedang berjalan sehingga membutuhkan pejabat yang memiliki frekuensi yang sama dalam rangka mempertahan kebijakannya. Mengingat pejabat tidak diwajibkan untuk menjalankan atau mempertahankan setiap kebijakan kepala daerah sebelumnya.

Bahwa usulan yang dipahami bersifat rekomendasi telah membuka ruang penunjukan pejabat kepala daerah penuh transaksional dan sarat akan kepentingan oleh penguasa. Namun, dalam rangka kelancaran pembangunan berkelanjutan sustainable development mendagri dalam menetapkan pejabat harus melakukan pemetaan terlebih dahulu untuk daerah tersebut baik kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya, sehingga dengan begitu pejabat yang akan ditempatkan mampu memahami kultur daerah yang akan dipimpinnya.   

Tarwin Idris

Alumnus Pascasarjana FH Universitas Islam Indonesia dan Dosen Tidak Tetap FH Universitas Muhammadiyah Maluku Utara.