Catatan Petualangan ke Selatan Halmahera

Dermaga desa Tabamasa, lautnya tampak bersih dan jernih, 17 Juni 2022. Foto: Sarfan Tidore/cermat

“Tak sempat menghitung berapa jaraknya.

Kapal itu membuat waktu seolah tak bersua

dengan petualangan. Kehidupan serasa

terbelah menjadi dua bagian dan diliputi

kandasnya tata kuasa.”

Pagi itu pancaran fajar menjadi semangat baru dan suasana hati pun terang membaik. Berharap tepat waktunya bersua dengan tempat petualangan sesuai keterangan jadwal keberangkatan.

Saat itu, tepatnya di Pelabuhan Bastiong, Kota Ternate, Maluku Utara, saya memulai tualang lagi ke desa Lemo-Lemo, Gane Barat, di Kabupaten Halmahera Selatan, menumpangi KM. Cahaya Arafa. Kapal ini, dijawalkan bertolak dari Pelabuhan Bastiong ke Gane, pada pukul 08.00 WIT.

Nahasnya, jadwal keberangkatan tertunda. Penumpang berkeluh. Begitu juga dengan suasana hati saya.

Salah satu ABK kapal pun menginformasikan bahwa mesin kapal lagi gangguan teknis hingga mekanik sedang memperbaiki.

Mendengar itu, salah satu penumpang pun mencoba mencairkan suasana. “Kitorang (kita semua) tunggu dan bersabar saja,” ujarnya, sambil mengepulkan asap tembakaunya.

Hingga pukul 17.12 WIT, kapal baru melepas tali dari Pelabuhan Bastiong. Kapal kayu dua lantai ini melaju membelah laut menuju pulau Halmahera bagian selatan.

Dahaga akan keberangkatan akhirnya terbayar. Perasaan bosan pun ditelan senja sore yang elok itu. Senyum bahagia melebar pada setiap penumpang yang ada di depan kapal.

Namun, tampaknya pesisir laut Ternate tak sebahagia para penumpang. Di tengah mobilitas masyarakat dan teduhnya lautan, sampah plastik berserakan mengikuti pergerakan arus menutupi permukaan laut. Tak sekadar lautnya, tetapi kota ini juga mengalami sesak akibat padatnya penduduk dan harga yang harus dibayar adalah alam menjadi korban.

“Kota kecil ini digemari, disukai oleh komunitas dunia karena keindahan dan nilai sejarahnya. Tapi juga membawa duka untuk komunitas biotis di lautan. Secuil fakta ini menambah deretan kandasnya tata kelola lingkungan hidup”.

Baca Juga:  Kisah Yusup, Penjaja Es Cendol di Jalanan Kota Ternate

Bumi telah ditelan malam. Ranjang adalah tempat terbaik merebahkan tubuh meski terganggu dengan bau tak sedap di setiap ruang kapal. Sampah organik maupun non organik berjejeran di sela-sela kapal. Tak ada tempat sampah.

Kapal pun memasuki perairan Halmahera Selatan. Bersandar di dermaga semi permanen di beberapa desa seperti Desa Samo, Moloku, Tokaka, Dolik, Bosu, Saketa, Tabamasa, Papaceda, dan Lemo-Lemo pada 17 Juni, pukul 15.26 WIT.

Warga Papaceda gotong royong mengupas kelapa dan pala, 17 Juni 2022. Foto: Sarfan Tidore/cermat

Sayangnya, saya tak sempat melihat suasana di beberapa desa akibat tertidur pulas hingga tak dapat menghitung jarak tempuhnya.

Istilah yang digunakan orang pada umumnya, desa-desa ini adalah desa tertinggal, terisolasi. Bangunan rumah dan fasilitas desa mengalami jarak cukup tajam dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Nilai gotong-rotong, kerja sama, adat-istiadat sangat dijunjung oleh masyarakat.

Desa Papaceda misalnya, kala tali kapal diikat di dermaga, penduduk desa ramai-ramai membantu aktivitas bongkar muatan. Di pesisir pantai penduduk terlihat gotong-royong mengupas buah kelapa dan pala. Anak-anak dengan riang, gembira, tertawa, bermain sembari mandi laut penuh bahagia tanpa beban. Beda halnya di perkotaan, mandi laut telah dikomersilkan.

Mandi laut menjadi seperti ‘Ritual khusus’ bagi masyarakat kota dalam mengisi waktu senggang. Sekalipun air lautnya tak lagi jernih akibat limba dan sampah rumah tangga. Fenomena ini dapat kita cermati di beberapa tempat wisata di kota Ternate, yakni Jikomalamo, pantai Sulamada, Falajawa menjadi tempat paling banyak dikunjungi orang di saat-saat akhir pekan.

Berbahagialah bagi masyarakat yang menetap di pesisir pantai yang lautnya masih bersih dan alami. Sebab laut yang jernih, bersih dan alami banyak memberi manfaat baik kesehatan maupun ekologis. Menurut beberapa penelitian yang rilis Daily Mail, air laut kaya akan mineral berupa natrium, klorida, sulfat, magnesium dan kalsium. Bahkan air laut digunakan untuk terapi medis yang dikenal thalassotherapy. Ada tiga manfaat mandi air laut:

  1. Meredakan sinusitis
Baca Juga:  Melihat Proses Salat Idulfitri dan Sketsa Toleransi di Kesultanan Ternate

 Mandi dan berenang di laut yang mengandung garam serta mineral dapat menurunkan gejala sinusitis, serta masalah pernapasan. Seorang direktur layanan klinis dari medical charity Allergy di Inggris menyebut mereka yang hidup di pesisir pantai yang sering berenang di laut memiliki sistem pernapasan yang sehat.

“Air laut dinilai dapat membersihkan lapisan saluran udara atau irigasi hidung. Kandungan garam bersifat antiseptik dan membantu mengurangi peradangan pada lapisan sinus.”

  1. Meringankan psoriasis

Berenang di laut yang kaya akan mineral alami telah lama digunakan untuk meringankan gejala psoriasis. Psoriasis adalah penyakit autonium yang menyerang kulit berupa kulit bersisik, kulit kering atau rasa gatal pada kulit. Selain itu, garam dan mineral yang berlimpah di air laut dapat membantu mengatasi peradangan pada kulit.

  1. Sehat Mental

Berenang di laut yang bersih, jernih dan indah sangat menyenangkan. Merasa senang, bahagia dapat membantu melepaskan stres. Seorang ahli biologi kelautan Wallace J. Nicholas menemukan mengapa orang-orang bisa relaksasi dan meditasi ketika berada di atas air laut ataupun saat di bawah laut.

Penyebabnya adalah pengaturan pernapasan selama berenang maupun menyelam. Pola pernapasan itu dapat merangang sistem saraf parasimpatis hingga hormon yang mempengaruhi otak secara positif.

“Tidak heran jika orang desa di pesisir pantai kesehatan fisiknya jauh lebih bugar dan jarang mengidap penyakit berbahaya.”

Selain itu, secara ekologis laut yang sehat menjadi tempat berkembang-biaknya komunitas biotis dan dapat menunjang kebutuhan subsistensi masyarakat pulau. Komunitas masyarakat di Gane Barat dapat langsung mengkonsumsi ikan hasil tangkapan secara alami. Tidak melalui proses penyimpanan yang menggunakan es dan obat-obatan lainnya lalu mengalami perjalanan panjang agar bisa sampai di meja makan.

Baca Juga:  Bakso Idola: Jejak Rasa di Setiap Sendok

Hatab, penduduk desa Lemo-Lemo menuturkan orang-orang yang suka berolahraga sebenarnya cukup mandi dan berenang di laut. Rata-rata pemanah ikan napasnya panjang dan mereka dapat mengatur saluran pernapasan dengan baik. Juga sangat jarang mengidap penyakit asma, sesak napas dan tubuhnya selalu sehat,

“Air laut yang jernih, bersih (terumbu karang, bebatuan, rumput laut) dapat tumbuh dengan subur tentu menjadi tempat bertelurnya ikan-ikan dan kitapun mudah mendapat ikan segar,” kata Hatab.

Hatab mengisahkan, pengalaman makan di sebuah rumah makan di Kota Ternate. Pada saat memesan ikan bakar di rumah makan itu, katanya, kualitas ikannya kurang segar. Ia pun tak dapat melahapnya.

“Kalau di desa, kita dapat langsung memakan ikan hasil tangkapan yang segar. Dijual pun dengan harga murah karena orang desa lebih menghargai nilai kekerabatan, ketimbang ekonomi. Apalagi sebagai orang pesisir, ikan merupakan kebutuhan yang harus tersedia di meja makan setiap hari. Artinya kita harus menjaga laut dari kerusakannya,” ungkapnya.

Ia bilang, meskipun, desanya masih jauh dari pembangunan infrastruktur seperti aspal, listrik, bahkan jaringan komunikasi internet, masyarakat masih hidup bahagia dengan sitem sosial yang ada.

“Yang penting adalah alam kita terjaga, hidup tenang dan damai. Suasana alam yang indah membuat jiwa kita tenang dan damai. Beda halnya dengan kota, suasananya ramai, ribut, bising, makanan tidak segar dan serba mahal,” katanya.

Katanya, orang-orang di kota hanya sibuk bekerja, nyaris tidak ada rasa peduli sekalipun sesama saudara. Desa itu damai, dan kota itu bising. Alam desa adalah tempat kita bersua dengan kerukunan, gotong-royong dan kedamaian paling damai. Sedangkan kota tempat kita bersua dengan kebisingan dan saling sikut karena susah cari makan.


Penulis: Sarfan Tidore

Penulis: Sarfan TidoreEditor: Faris Bobero