News  

Studi FWI: Banjir Akibat Tambang di Teluk Weda Hasilkan Kerugian 371,3 Miliar

Foto udara Desa Lukolamo di Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Desa-desa ini diterjang banjir sejak Sabut, 19-22 Juli 2024. Rumah dan indekos karyawan tambang hingga kebun milik warga diterjang air bah. (Foto: Kominfo Halteng)

Hasil studi Forest Watch Indonesia (FWI) mengemukakan nilai kerugian akibat dampak bencana banjir di kawasan Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara mencapai Rp. 371,3 miliar. Periode banjir ini tercatat sejak 2019-2024.

“Estimasi nilai kerugian ekonomi yang dihitung dalam studi ini merupakan kerugian langsung disebabkan oleh kontak fisik dengan bencana banjir, seperti gedung dan area terendam banjir,” kata Eryana Nurwenda Az-zahra, Divisi Data Base dan Riset FWI, dalam laporan yang dikutip cermat, Minggu, 01 Desember 2024.

Baca: Teluk Weda, Negeri Asri yang Kini Digerus Tambang

Eryana menuturkan, studi ini dilakukan dengan menganalisis dampak banjir terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat di area dengan risiko banjir kategori tinggi dan sangat tinggi. Dalam studi ini, perhitungan estimasi kerugian ekonomi mencakup nilai kerugian unit rumah tangga, lahan pertanian, dan infrastruktur jalan.

Sepanjang tahun 2024, kata dia, area risiko tinggi dan sangat tinggi itu diketahui barada pada wilayah 5 Daerah Aliran Sungai (DAS) Teluk Weda yang luasnya mencapai sekitar 36.693 hektare.

Hasil perhitungan estimasi nilai kerugian ekonomi yang akan ditanggung akibat bencana banjir di wilayah DAS sekitar Teluk Weda kemudian diproyeksikan mencapai sekitar Rp. 371,3 miliar.

“Nilai kerugian tersebut mencakup lahan pertanian sebesar Rp. 7,2 miliar, infrastruktur jalan lokal sebesar Rp. 24,1 miliar dan kerugian unit rumah tangga yang terbesar yaitu Rp. 340 miliar,” ujarnya.

Eryana menjelaskan analisis proyeksi dampak sosial dalam studi ini mencakup jumlah penduduk dan rumah tangga pada area berisiko banjir tinggi. Sedangkan, dampak ekonomi diukur dari luas lahan pertanian dan ruas jalan di area berisiko tinggi.

Baca: Dilema Gen Z Maluku Utara, Antara Kuliah atau Jadi Buruh Tambang

Ia bilang, adapun sekitar 10.449 jiwa di Teluk Weda berisiko tinggi terdampak bahaya banjir. Populasi tersebut tersebar di 12 desa yang berada di dua kecamatan, yaitu Weda Tengah dan Weda Utara.

Di Kecamatan Weda Tengah, penduduk Desa Lelilef Sawai, Waibulan, dan Kulo Jaya berisiko terdampak bahaya banjir paling tinggi, dengan masing-masing penduduk sekitar 1.861 jiwa, 1.851 jiwa, dan 906 jiwa. Kemudian, Kecamatan Weda Utara, Desa Sagea dan Waleh merupakan wilayah dengan risiko penduduk terbanyak yang akan terdampak bahaya banjir, dengan masing-masing jumlahnya sekitar 1.207 jiwa dan 1.021 jiwa.

Selain kerugian material yang dihitung, FWI menyebut bencana banjir di Teluk Weda juga membawa dampak jangka panjang bagi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.

Masyarakat kehilangan rumah dan lahan pertanian sehingga berdampak langsung pada mata pencaharian dan stabilitas ekonomi warga. Kemudian, infrastruktur yang rusak mempersulit akses transportasi dan distribusi barang, yang pada akhirnya menghambat aktivitas ekonomi dan sosial di wilayah tersebut.

“Upaya pemulihan pasca-bencana membutuhkan waktu dan sumber daya yang signifikan, memperberat beban masyarakat yang terdampak dan menurunkan kualitas hidup mereka. Ini menunjukkan urgensi bagi kita semua untuk melakukan langkah-langkah mitigasi guna melindungi keselamatan dan kesejahteraan masyarakat di Teluk Wed,” cetusnya.

Baca: Mereka Ditebas Banjir setelah Tambang Hadir di Teluk Weda

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat Provinsi Maluku Utara saat ini dibebani 127 izin pertambangan dengan luas konsesi 655.581, 43 hektare, juga terdapat 12 titik smelter yang sudah dioperasikan sejak 2021.

Ratusan izin pertambangan tersebut dengan sebaran: Halmahera Tengah 26 izin, Halmahera Timur 26 izin, Halmahera Utara 12 izin, Halmahera Barat 5 izin, Pulau Morotai 4 izin, Halmahera Selatan 22 Izin, Kepulauan Sula 25 izin, dan Pulau Talibu terdapat 7 izin. Sebaran konsesi tambang berksala besar ini dinilai rentan memicu daya rusak alam.

“Izin pertambangan ini tidak hanya terdapat di atas punggung Pulau Halmahera hingga ke pesisir, namun juga terdapat di beberapa pulau kecil seperti di Pulau Gebe, Obi, dan Pulau Pakal di Halmahera Timur,” kata Julfikar Sangaji, Pegiat JATAM di Maluku Utara.

Menurut Julfikar, JATAM mendeteksi adanya aktivitas rantai pasok bahan nikel dari perusahaan lain yang sering diangkut ke industri pengolahan biji nikel milik PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Teluk Weda, Halmahera Tengah, yang kini menguasai konsesi 4.027,67 hektare.

Baca Juga:  Brimob Polda Maluku Utara Lakukan Uji Kelayakan Anggota Gunakan Senpi

“Aktivitas angkutan ore nikel ini menyebabkan tidak hanya persoalan deforestasi, tetapi juga terancamnya daerah kawasan tangkap nelayan di sana. Terbaru, kami menemukan bahwa aktivitas itu terjadi di wilayah Patani dan Halmahera Timur,” ucapnya.

Kehadiran industri PT IWIP yang menjadi sentral pengolahan biji nikel, bagi Julfikar, sejatinya terus mengancam keberlangsungan ekologi warga sekitar di Teluk Weda. Kondisi itu diperparah dengan rencana penambahan konsesi tambang IWIP yang mencapai 15.517 hektare di masa mendatang.