Ekspansi pertambangan nikel di Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara, telah menyebabkan sejumlah masalah dalam kurun 5 tahun terakhir. Teluk Weda yang dikenal memiliki pemandangan alam indah, kini menghadapi deretan kerusakan lingkungan mulai dari hilangnya tutupan hutan, bencana banjir, sampai kondisi sosial-ekonomi masyarakat sekitar yang terancam.
Sepanjang periode 2016-2024, studi Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat hutan alam Teluk Weda secara berangsur mengalami deforestasi. Pendataan FWI menunjukkan bahwa saat ini luas hutan di Teluk Weda hanya tersisa 102.000 hektar dari semula 109.000 hektar. Menyusutnya area hutan di wilayah itu lantas berujung meningkatkan risiko banjir sering dihadapi warga.
Akibatnya, beberapa desa di Teluk Weda yang mencakup desa Lelilef dan Lukolamo mengalami genangan air hingga dua meter lantaran banjir lebih sering terjadi. Berdasarkan data BPS dan kompilasi pemberitaan media, setidaknya terdapat 19 peristiwa banjir di Halmahera Tengah pada tahun 2019-2024.
Koordinator Divisi Riset dan Data Base FWI Eryana Nurwenda Az-zahra mengatakan, operasi pertambangan nikel dan pengolahannya telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang berdampak buruk bagi masyarakat sekitar. Dia menyebut, dampak yang dihasilkan itu berupa deforestasi, pencemaran sungai dan laut, banjir, serta rusaknya ruang hidup warga.
“Salah satu contoh adalah pencemaran sungai di Desa Sagea dan Kiya, Kecamatan Weda Utara sejak tahun 2023 lalu. Aktivitas pertambangan di hulu sungai diduga menyebabkan perubahan warna air menjadi kuning kecokelatan, dengan sedimen tebal, sehingga masyarakat terpaksa menanggung dampaknya,” kata Eryana dalam diskusi Masa Depan Teluk Weda: Ekspansi Industri Tambang dan Dampak Seosial-Ekonomi, pada Kamis, 21 November 2024.
Mengutip data ESDM 2023, Eryana menyebut saat ini terdapat 13 Izin Usaha Pertambangan (IUP) sedang beroperasi di Teluk Weda. IUP yang didominasi oleh tambang nikel dengan luas konsesi mencapai 59,678.04 hektar ini membentangi kawasan daerah aliran sungai (DAS) seperti Ake Gemaf, Lelilef, Kobe, dan Ake Sagea.
Sementara di sisi lain menurut Eryana, laju pembangunan kawasan industri hilirisasi nikel di Teluk Weda turut mempengaruhi dinamikan perubahan tutupan lahan yang dibagi menjadi tiga kategori, yakni lahan terbangun, lahan terbuka dan hutan alam, “Ada peningkatan luas lahan terbuka yang mengindikasikan aktivitas pertambangan nikel makin intensif. Konsentrasi lahan terbuka ini terlihat pada wilayah-wilayah yang mencakup konsesi pertambangan,” katanya.
Luas lahan terbangun di Teluk Weda meningkat dari 229,25 hektar di tahun 2016 menjadi 1.057,98 hektar di tahun 2024. Kemudian, pada periode yang sama, luas lahan terbuka yang awalnya 8.017,39 kini menjadi 16.015,66 hektar. Sementara bukaan hutan alam dari 109.777,53 hektar menjadi 102.452,44 hektar.
Hasil pendataan FWI juga mengemukakan bahwa kelima DAS di Teluk Weda, Halmahera Tengah, saat ini didominasi oleh area yang rentan terpapar risiko potensi banjir kategori tinggi dengan luas sekitar 32 ribu hektar. Area potensi banjir terkosentrasi pada lahan terbuka akibat akktivitas tambang, sekitar kawasan industri, permukiman warga, hingga lokasi sepanjang sungai.
“Data ini dianalisis berdasarkan anomali curah hujan yang signifikan di wilayah Teluk Weda dalam 5 tahun terakhir. Jadi memang pola curah hujan ini dipengaruhi karena kombinasi dari faktor alam dan aktivitas manusia, termasuk perubahan iklim dan perubahan tutupan lahan,” ucap Eryana.
Dalam laporannya, FWI memproyeksikan sekitar 10.449 jiwa dan 7.129 unit rumah tangga yang tersebar di 12 desa Kecamatan Weda Tengah dan Weda Utara, kawasan Teluk Weda, berisiko tinggi menghadapi dampak sosial-ekonomi akibat banjir.
“Wilayah yang disebutkan ini memang sering mengalami banjir, dan ini menunjukkan urgensi bagi kita semua untuk melakukan langkah-langkah mitigasi guna melindungi keselamatan dan kesejahteraan masyarakat di Teluk Weda,” cetusnya.
Lebih lanjut Eryana menuturkan, bencana banjir Teluk Weda akibat ekspansi pertambangan turut menimbulkan dampak ekonomi dan infrastruktur warga sekitar. Hal ini dapat dilihat dari 777,12 hektar lahan pertanian yang terancam dampak banjir, kemudian sekitar 32,5 kilometer ruas jalan lokal dan jalan setapak yang ikut terdampak.
Tergerus Tambang
Jauh sebelum hilirisasi nikel hadir, masyarakat di wilayah Teluk Weda yang meliputi Kecamatan Weda Utara dan Weda Tengah hidup bertumpuh pada komoditas lokal seperti pala dan cengkeh. Pemandangan hutan lebat dengan pepohonan berdiameter besar yang dihuni keanekaragaman hayati masih sangat mudah dijumpai. Namun, kekayaan itu terhempas seiring datangnya industri pertambangan yang kini melakukan ekspansi secara ugal-ugalan.
“Ada proses panjang bagaimana perusahaan-perusahaan tambang ini mulai masuk dan beroperasi di Teluk Weda. Kami meyakini bahwa saat itu warga memang tidak mendapatkan informasi yang seimbang soal hadirnya pertambangan, karena tidak pernah disosialisasikan oleh pemerintah,” tutur Supriyadi Sawai, warga Desa Sagea dalam diskusi yang sama.
Tanpa diberitahu, Supriyadi bilang, perusahaan tiba-tiba muncul dan mencaplok lahan warga. “Sampai sekarang proses ganti rugi lahan pun tidak pernah dilakukan dan masyarakat merasa dirugikan.”
Belakangan, menurut pengakuan Supriyadi, kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan nikel makin masif memperparah kondisi lingkungan mereka, terlebih saat perusahaan seperti PT Indonesia Weda Industrial Park (IWIP) mulai beroperasi sejak 2018. Perusahaan ini, kata Supriyadi, termasuk paling banyak menyumbang bencana ekologi.
Deretan masalah pascatambang mengokupasi wilayah Teluk Weda mulai bencana banjir, pencemaran sungai dan laut, deforestasi, sampai hilangnya ruang hidup masyarakat, menurut Supriyadi, telah mengubah seluruh aspek kehidupan warga di sana.
“Kami menyadari betul kerusakan ini akan meningkat dan bertambah parah di masa mendatang. Warga sekitar tambang akan terpaksa pindah karena tidak merasa nyaman lagi dengan kondisi kampungnya yang sudah rusak dan terdampak,” ucap pegiat lingkungan Save Sagea tersebut.