Masyarakat Adat, Deforestasi, dan Punahnya Bahasa Ibu

(Catatan untuk Hari Bahasa Ibu Internasional 21 Februari 2025)

Muh Akbar Kurniawan

Oleh: Muh Akbar Kurniawan*

Masih jamak ditemukan pandangan yang terbilang netral dan terkesan mencari aman oleh beberapa ahli bahasa terkait punahnya bahasa ibu. Kepunahan bahasa ibu tidak hanya karena kawin campur antarsuku, migrasi, bencana alam, perang, dan sikap bahasa para penuturnya. Penyebab terakhir ini sering dijadikan sebagai faktor yang paling kuat terhadap punahnya bahasa ibu, umumnya linguis (ahli bahasa) beranggapan bahwa penutur bahasa ibu, dewasa ini menunjukkan sikap negatif terhadap bahasanya, mereka lebih senang bercakap-cakap menggunkan bahasa nasional atau mencampur kode bahasa ibunya dengan bahasa nasional dan bahasa asing (xhenophilia).

Ada yang luput dari pandangan ahli bahasa tersebut, terkait punahnya bahasa ibu, apakah hal itu disengaja sebab beberapa dari mereka tidak ingin bermain api sebagaimana hutan terbakar karenanya, atau pemikiran mereka belum sampai ke arah hubungan bahasa dan lingkungan. Padahal dari 6.800 bahasa yang dituturkan di dunia, 4.800 di antaranya dituturkan di daerah yang memiliki keragaman hayati yang tinggi (Mongabay, 2012). Kurangnya kepekaan dan keberanian sehingga paradigma linguistik tidak muncul ke permukaan menjadi etno-ekolinguistik yang mengungkap bahwa ekosida dapat berujung pada linguisida. Begitu pun jika pemahaman etno-ekolinguistik tidak berpedoman pada konsep lingkungan biologis, maka seorang ahli bahasa tidak akan melihat persolan bahasa dan lingkungan sebagai suatu persoalan yang serius, seorang ahli bahasa perlu melakukan kerja lapangan, menjelelajahi hutan, tinggal bersama masyarakat adat (tradisional), dan observasi-aplikasi pengetahuan etno-ekolinguistik dalam praksis.

Tidak bermaksud mengerdilkan ahli bahasa yang memandang konsep lingkungan bahasa secara metaforis. Pandangan seperti ini muncul setelah merenungkan pemikiran Halliday (dalam Fill dan Mühlhäusler, 2001) yang mengkritisi bagaimana sistem bahasa berpengaruh pada perilaku penggunanya dalam mengelola lingkungan. Kemudian, menguat setelah melakukan penelitian ekolinguistik di Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi. Dari penelitian tersebut terlihat bahwa kawasan hutan yang dihuni oleh Orang Rimba salah satu masyarakat adat sekaligus pemburu-peramu kontemporer yang ada di Indonesia, tidak hanya memaknainya sebagai ruang hidup dan sandaran subsistensi, tetapi melampaui semua itu.

Baca Juga:  Gloria

Orang Rimba maupun masyarakat adat lainnya, memahami bahwa hutan melahirkan kearifan ekologis, kemudian bahasa ibu (B1) merefleksikan kearifan ekologis tersebut.  Sebagai salah satu contoh yang konkret bahwa Orang Rimba mengklasifikasikan hutan ke dalam beberapa bagian, klasifikasi tersebut memunculkan istilah lokal atau etnoleksikon, yang tidak akan kita jumpai dalam bahasa nasional (B2) apatah lagi dalam bahasa asing (B3), mereka menyebut tano teRban, untuk kawasan hutan yang terbentuk karena longsoran, berkontur curam dan dilarang dibuka untuk dijadikan ladang dan kepentingan lainnya. Kemudian, tano peRanaon, untuk kawasan hutan yang begitu lebat, kadang-kadang terdapat pohon bebuahan, berdekatan dengan sumber air, dijadikan sebagai tempat melahirkan bagi Orang Rimba. Hal serupa dijumpai pada Orang Hodana di Sumba Barat, mereka menyebut biji ketapa, untuk kawasan hutan pemali, sebuah kawasan yang tidak dapat dimasuki, apalagi dibuka untuk berbagai kepentingan. Begitu juga dengan pandangan Masyarakat Adat Kajang yang menganalogikan hutan serupa bulu hidung (telingus) manusia yang berfungsi sebagai filter yang mencegah beragam partikel, seperti debu, serbuk sari, dan alergen memasuki paru-paru, sebagaimana dalam bahasa Konjo berbunyi antu boronga akppadaji bulu kakmurua ‘hutan itu ibarat bulu hidung’. Tentu istilah seperti ini tidak hanya memuat istilah lokal, kelas kata, dan artinya, tetapi ada pemaknaan, penjelasan dan ekspresi mendalam yang hanya ditemukan dalam bahasa ibu.

Masyarakat Adat dan Bahasa Ibunya

 Masyarakat adat merupakan sebuah satuan sosial yang berjumlah 0,5 % dari keseluruhan populasi di dunia, namun menjadi pelindung bagi 80% biodiversitas di dunia, tetapi semua kepentingan mereka tidak terakomodasi oleh negara asal mereka, seperti di Indonesia puluhan bahkan ratusan kasus kekerasan fisik, budaya, dan lingkungan yang kita jumpai baik secara langsung maupun melalui pelbagai media berita. Perampasan tanah ulayat dan pengalihfungsian hutan adat dengan dalih pembangunan, pertambangan, proyek pangan, dan proyek energi dalam bingkai Proyek Strategis Nasional (PSN), malah menjadi ancaman bagi bahasa ibu, ekspresi kultural, kepercayaan lokal, dan kelangsungan ekologi.

Baca Juga:  Menyoal Peran Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia

Masyarakat adat memiliki pengetahuan yang luas, istilah-istilah lokal yang mereka sematkan pada nama rupabumi dan spesies biologi tidak sekadar nama dalam bahasa ibu, tetapi memiliki makna dan riwayatnya dapat ditelusuri. Praktik seperti itu dapat dilihat misalnya pada Orang Rimba yang semua penamaan tersebut berdasarkan interaksi mereka dengan ruang hidupnya, seperti meRego (Panthera tigris sumatrae) ‘Merupakan spesies harimau disebut meRego karena binatang tersebut sulit diprediksi keberadaannya, coraknya kadang-kadang berubah-ubah, dan merupakan binatang keramat’, hahanget (belum dikenal) ‘Merupakan spesies kura-kura berawrna hitam pekat, kura-kura tersebut memiliki aroma yang sangat amis, hal ini yang kemudian melatari penamaan tersebut’, kuduk kuya (Nephelium ramboutan-ake) ‘Jenis pohon yang sekerabat dengan rambutan, dinamakan demikian karena kulit pohon tersebut menyerupai tekstur dan warna tengkuk biawak’, seluluy (Cratoxylum sumatranum) ‘Dinamakan demikian karena pohon tersebut jika ditebas kulitnya mudah hancur sebagaimana kata seluluy yang bertalian dengan kata luluh’, tempelanai ‘Kawasan hutan yang ciri tanahnya bergelombang, kawasan ini cukup luas dan ditumbuhi pepohonan dengan ukuran yang bervariasi’, dan tano pasoRon ‘Kawasan ini merupakan hutan yang lebat, ditumbuhi beragam pepohonan berusia ratusan tahun, pasoRon sendiri berarti pondok untuk meletakkan jenazah sebagaimana fungsinya, kawasan tersebut menjadi tempat memakamkan Orang Rimba yang meninggal’.

Kondisi keragaman hayati dan bahasa ibu yang dimiliki oleh masyarakat adat saat ini menuju ke arah kepunahan. Kecendrungan industrialisasi dan eksploitasi sumber daya alam yang menggrogoti secara keseluruhan hutan di Indonesia kian menjadi-jadi, sebut saja di Tanah Papua sebagai benteng terakhir hutan Indonesia terdapat 32 korporasi rakus melakukan deforestasi dengan megaproyek yang izinnya bermasalah (Greenpeace, 2021). Logikanya adalah Indonesia memiliki persoalan dengan 1% orang, dalam hal ini birokrasi dan korporasi yang menguasai 68% tanah, termasuk hutan di dalamnya. Deforestasi untuk beragam kepentingan, seperti yang diungkapkan sebelumnya, telah mengubah lanskap lingkungan, sosial, ekonomi, bahasa, dan budaya, serta kualitas hidup masyarakat adat ke arah yang buruk. Hancurnya hutan memainkan peranan yang penting dalam kepunahan spesies biologi dan bahasa ibu, sebab keduanya memiliki relasi yang erat.

Baca Juga:  Arsitektur di Hutan Halmahera

Bahasa ibu serupa spesies biologi di masa lalu, pernah punah dan akan terus mengalami kepunahan jika intervensi dari luar makin kuat. Apabila spesies biologi menghilang beserta ekosistem pendukungnya, maka keberadaannya tidak akan pernah terlihat lagi oleh masyarakat adat, mau tidak mau istilah lokal terkait spesies biologi tersebut pun menghilang dari bahasa ibu mereka.

Beberapa pernyataan di atas menunjukkan bahwa bahasa ibu dan lingkungan sangat berkaitan. Siapa pun itu, baik ahli bahasa, ahli ekologi, masyarakat adat atau masyarakat umum tidak dapat mempertahankan ekosistem hutan tanpa mempertahankan bahasa ibu. Dokumentasi bahasa bukanlah sebuah penyelamat di tengah tingginya laju deforestasi yang dilakukan korporasi jahat, tetapi pemicu timbulnya kesadaran dalam memelihara keragaman hayati dan keragaman linguistik.

*Penulis adalah Volunteer Sokola Rimba dan Dosen Tetap Yayasan di Universitas Ma’arif Nahdlatul Ulama Kebumen