Selama puluhan tahun, perairan di Halmahera Timur hingga Halmahera Tengah, Maluku Utara menjadi surga bagi para nelayan untuk mencari hasil laut. Namun, sejak kehadiran kawasan industri pengolahan nikel PT Indonesia Weda Bay Industri Park (IWIP) di Teluk Weda pada 2018 silam, lalu lalang kapal pengangkut ore nikel bikin ruang tangkap nelayan tradisional kian tergerus. Nelayan pun dibuat menjerit.
“Pak, ibu, tolong kami masyarakat kecil, masyarakat nelayan. Bantu kami menjaga laut kami. Pak, ibu, di sini tempat kami mengais rezeki yang kini telah dilintasi kapal tambang, kapal yang memuat ore, memuat tanah. Pak, ibu, bantu kami, keterlaluan pak, ibu. Ini kapal telah melintas di antara sela-sela Pulau Woto dan daratan Pulau Halmahera. Di sinilah tempat kami mencari hidup,” tutur warga Desa Bicoli, Nasrudin Momole dalam sebuah rekaman video yang diterima cermat, Selasa (21/1/2024).
Video berdurasi 2 menit itu memperlihatkan sebuah kapal tugboat menarik tongkang dari arah Weda menuju Maba. Video itu direkam oleh Nasrudin dengan jarak kurang lebih sekitar 10-15 kilometer dari pesisir pantai Desa Bicoli, Kecamatan Maba Selatan, Haltim, pada Senin (20/1/2025) pagi. Menurutnya, aktivitas kapal-kapal pengangkut ore nikel itu sudah berlangsung berulang kali.
Sebelum IWIP hadir, hampir semua perusahaan tambang di Haltim memasok ore nikelnya ke Kecamatan Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Saat itu, titik jalur lintasan kapal cukup jauh dari kawasan pesisir. “Tapi sekarang kalau mau diukur jarak antara pulau dengan titik lintasan kapal itu tidak sampai 10 kilo. Jadi saat IWIP beroperasi, semua ore yang dari Haltim masuk di IWIP, kapal-kapal melintas lewat situ,” katanya.
Dari amatan Nasrudin, dalam sehari biasanya dua hingga tiga kapal yang melintas di perairan sekitar. “Kalau yang lewat (saat direkam video) itu dari Haltim (menuju Teluk Weda), tapi saya juga belum bisa pastikan itu dari perusahaan (tambang nikel) yang mana,” kata Nasrudin.
Lalu lalang kapal pengangkut ore nikel membuat aktivitas nelayan di Kecamatan Maba Selatan meliputi Desa Gotowasi, Loleolamo, Peteley, Waci, Momole, Kasuba, Bicoli, Sil, dan Sowoli terganggu. Ini membuat hasil tangkapan yang umumnya jenis ikan pelagis seperti cakalang dan julung, menurun. “Dulu, sebelum kapal melintas lewat situ, itu kitorang (kami) punya hasil tangkapan bisa mencapai ton,” katanya.
Bahkan, Nasrudin dan sejumlah nelayan kerap memergoki ABK membersihkan sisa ore di atas tongkang setelah kembali dari IWIP. Tak jarang juga ditemukan bekas oli yang mengambang di permukaan air laut. Peristiwa jaring kapal bagan terkena oli sempat terjadi di antara Pulau Belemsi dan Tanjung Buli atau 5 mil dari Desa Maba Pura, Haltim pada Jumat (17/11/2024) sekitar pukul 20.00 WIT.
“Mereka ini kedapatan setelah bongkar ore, pulangnya dari IWIP menuju Haltim itu, mereka cuci (sisa-sisa) ore di atas kapal dalam perjalanan. Kalau cuci kapal pasti tanah jatuh ke laut, kemudian limbah oli, jadi sangat menganggu,” katanya.
Nasrudin dan sejumlah nelayan sempat mengadukan persoalan ini ke pemerintah desa, Dinas Kelautan dan Perikanan, serta DPRD Haltim pada 2022. Saat itu, para nelayan meminta agar jalur lintasan kapal dirubah. Bahkan, para nelayan sempat menggelar aksi di laut hingga berujung saling baku lempar dengan batu.
“Itu pun tidak ada tanggapan, baik dari pihak perusahaan maupun pemerintah. Tapi dengan kondisi seperti itu kami tetap melaut, karena hanya itu yang menunjang kebutuhan ekonomi kami. Kami meminta tolong, sayangi kami, karena di sinilah tempat kami mengais rezeki,” ucap Nasrudin lirih.

Persoalan yang sama juga terjadi di Halteng. Salah satu warga Desa Banemo, Kecamatan Patani Barat berinisial TA menyebut, ore nikel yang dipasok dari Pulau Gebe dan beberapa wilayah tambang lainnya membuat aktivitas nelayan terganggu. “(Jumlah kapal pengangkut ore nikel) bisa capai puluhan kali dalam sehari semalam,” kata LA.
Para nelayan di Desa Banemo sempat mengeluhkan persoalan itu saat mengikuti pelatihan yang digelar Dinas Kelautan dan Perikanan Halteng. “Orang dari Dinas Perikanan dan Kelautan sampaikan kalau sudah dikoordinasikan ke perusahaan. Tapi sampai sekarang tarada (tidak ada) tanda-tanda pemindahan rute (kapal),” katanya.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Halmahera Tengah, Abdul Rahim Yau mengaku akan berkoordinasi dengan Pj Bupati Halteng, Bahri Sudirman lebih dulu terkait persoalan itu. Sementara itu, panggilan masuk ke nomor ponsel Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Halmahera Timur, Hadijah Talib tak digubris hingga berita tayang.
Dinamisator JATAM Maluku Utara, Julfikar Sangaji mengatakan hampir semua tambang nikel yang beroperasi di Halmahera Timur memasok ore nikel ke PT IWIP menggunakan kapal tongkang. Ketika proses mobilisasi itu, kapal kerap melewati wilayah tangkap nelayan dan membuat aktivitas para nelayan terganggu.
“Seperti lima desa di Maba Selatan, yakni Desa Momole, Kasuba, Bicoli, Sil, dan Sowoli yang nelayannya merasakan langsung bagaimana hilir-mudik kapal bermuatan tanah itu melintasi spot-spot wilayah tangkap nelayan. Ini membuat produktivitas tangkap mereka menurun drastis,” kata Julfikar.
Julfikar memaparkan, kapal-kapal tongkang tersebut umumnya mengangkut ore nikel dari wilayah Wasile dan Teluk Buli, lalu melintasi perairan Maba Selatan hingga ke arah Patani dan berakhir di PT IWIP. Sementara, jalur lintasan kapal tersebut selain sebagai area tangkap nelayan, perairan sekitar dicanangkan sebagai tempat konservasi laut.
“Jadi para nelayan, terutama yang bermukim di desa-desa wilayah Maba Selatan, sebenarnya terusik dengan aktivitas lalu-lalang kapal tongkang ini. Ketika kami bertemu dengan mereka, mereka menyampaikan material tanah atau ore nikel yang diangkut kapal tongkang itu sering jatuh di laut,” katanya.
Selain itu, kata Julfikar, bising suara tugboat yang menarik tongkang juga membuat ikan menjauh, terutama ikan jenis pelagis. Hal ini mengakibatkan jumlah tangkapan nelayan berkurang. “Jadi sikap kami, hentikan seluruh operasi tambang nikel yang menjadi biang kerok dari lenyapnya infrastruktur ekologis, serta hilangnya ruang produksi warga,” pungkasnya.
——
Penulis: Olhis