News  

Akademisi Unkhair Nilai Polda Malut Berlebihan Respons Aksi Masyarakat Adat Haltim

Akademisi Fakultas Hukum Unkhair Ternate, Muhammad Tabrani. Foto: Istimewa

Akademisi Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Muhammad Tabrani, mengkritik tindakan Polda Maluku Utara yang dinilai berlebihan dalam merespons aksi masyarakat adat yang menolak aktivitas pertambangan PT. Position di Halmahera Timur.

“Saya menilai respons Polda terhadap aksi masyarakat adat di Haltim terlalu berlebihan. Seharusnya penanganan masalah ini lebih melibatkan stakeholders terkait, terutama pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi,” ujar Tabrani, Rabu, 21 Mei 2025.

Tabrani bilang, melibatkan pemerintah sangat penting, karena masalah ini menyangkut stabilitas keamanan lokal dan potensi konflik sosial yang tidak bisa hanya diserahkan kepada Polri. Menurutnya, hal ini seharusnya menjadi urusan pemerintahan umum yang diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, yang mencakup kewenangan Pemerintah Kabupaten Haltim dan Provinsi Maluku Utara.

Instansi-instansi ini harus dilibatkan, apalagi karena isu yang diangkat berkaitan dengan hak asal-usul atau adat masyarakat yang melakukan aksi. Tidak semua persoalan harus diselesaikan dengan pendekatan represif dari kepolisian, karena itu bisa menimbulkan luka di hati masyarakat adat.

“Masalah ini adalah dampak dari belum terselesaikannya akar permasalahan, yakni tidak adanya titik temu antara kawasan hutan adat masyarakat dan kepentingan industri ekstraktif di Haltim,” jelasnya.

Tabrani juga mengingatkan bahwa para pendemo adalah masyarakat adat setempat yang, sebagai petani dan pemburu hutan, sering kali membawa peralatan seperti parang, panah, atau tombak. Menurutnya, jika Polda langsung merespons dengan menerapkan UU Darurat terkait penggunaan senjata tajam tanpa izin, maka hampir semua petani di Halmahera, bahkan di seluruh Maluku Utara, berpotensi terkena sanksi dan dijebloskan ke penjara.

“Saya berharap Polda dapat merespons masalah ini dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan dengan perspektif yang lebih luas,” tambahnya.

Baca Juga:  Kemerdekaan, Luka dan Perjuangan Orang Hiri

Tabrani juga menyoroti ancaman pidana terhadap para pendemo yang dijerat dengan Pasal 162 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, yang mengatur larangan menghalangi kegiatan usaha pertambangan.

Praktisi hukum tersebut menekankan bahwa hal ini harus ditangani secara bijak dan hati-hati oleh Polda. Ia merujuk pada banyak yurisprudensi Mahkamah Agung yang memutuskan bahwa aksi demonstrasi di lokasi tambang tidak selalu dapat dianggap sebagai tindakan yang menghalangi atau merintangi aktivitas pertambangan. Selama aksi dilakukan secara damai dan tidak menghentikan operasional yang merugikan secara materiil, maka demonstrasi tersebut dilindungi oleh UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

“Saya kira Polda sebaiknya menggunakan pendekatan yang lebih humanis dan presisi, ketimbang langsung mengambil langkah represif seperti penangkapan. Terlebih lagi, dari foto-foto yang beredar, terlihat para pendemo diletakkan di lantai seperti pelaku pencurian ayam atau perampokan. Itu sangat tidak enak dilihat dan melukai hati masyarakat adat,” kata Tabrani.

Tabrani menyarankan agar pihak penasihat hukum dan pihak terkait mengadukan Polda Maluku Utara kepada instansi-instansi terkait, seperti Kompolnas, Komnas HAM, serta stakeholder lainnya, agar masalah ini mendapat perhatian dan pengawasan bersama.

“Anggota Polda bukan malaikat, mereka adalah manusia biasa yang juga bisa memiliki bias dalam melihat persoalan. Publik tidak bisa 100 persen percaya pada setiap pernyataan dari Humas Polda. Harus ada sorotan, kritik, dan masukan jika langkah-langkah yang diambil dirasa tidak proporsional dan profesional,” pungkasnya.