Oleh: Faris Bobero
(Penulis)
Meskipun dikenal dalam sejarah kepulauan rempah dan daerah maritim, Provinsi Maluku Utara masih menjadi ladang bisnis pertambangan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Malut mencatat, dari total Luas Wilayah Malut 145.801,1 Km2, ada 313 Izin Usaha Pertambangan yang menguasai 1.123.403,73 Hektar wilayah.
Kehadiran pertambangan ini pun telah menimbulkan banyak masalah-konflik ruang di daerah lingkar tambang. Di sisi lain, sebagian besar perusahan pertambangan yang merusak lingkungan didukung oleh sektor pendanaan dari pihak bank.
Akademisi Universitas Khairun Ternate Janib Ahmad ketika ditemui dalam Seminar “Peran Sektor Pendanaan dan Kejahatan Korporasi” medio 2017 di Ternate mengatakan, masyarakat terutama nelayan dan petani di Malut sudah harus tahu bagaimana kekuatan sektor pendanaan korporasi perusak lingkungan di Malut dengan kekuatan sektor pendanaan dari pihak bank yang dianggap legal.
“Peran bank itu punya korelasi terhadap pengelolaan sumber daya alam yang eksploitatif yang itu menjadi kejahatan korporasi, terkait informasi yang kita dapat hari ini. Investasi ekonomi yang bersifat korporasi dan eksploitatif itu secara ekonomis tidak menguntungkan, bahkan tidak layak. Sebab, dia (perusahan) menguras sumber daya alam terutama air, dia menguras lingkungan hutan dan ekosistem lain di Malut,” tegas Janib.
Menurutnya, struktur perekonomian Malut dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) bukan dibangun dari sektor pertambangan, melainkan dari tiga sektor yakin pertanian, kehutanan, dan perikanan. Tiga sektor ini kurang lebih 24 persen. Sedangkan pertambangan hanya 8 persen. “Yang harus dipahami, sumbangan pihak ketiga untuk pertambangan itu juga rendah dibandingkan Malut mengelola laut. Kalau kita mengelola laut dengan potensi lestari kita yang begitu tinggi itu, keuntungannya lebih besar dari pada mengelola tambang,”ujarnya.
Sumber BPS Malut tahun 2016 mencatat, lapangan usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan berkotribusi senilai 24,96 persen. Sedangkan bidang Pertambangan dan Penggalian dari tahun 2012 hanya berkisar 5,13 sampai 5,39 di tahun 2016. Artinya, penyumbang terbesar ada pada Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan.
Menurutnya, Malut seharusnya membangun pendapatan dari sektor Pertanian, Kehutanan, dan perikanan. “Pada tahun 2014 konstribusi ekonomi kelautan bagi PDRB Indonesia sekitar 22 persen. Ini lebih besar dibandingkan dengan Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia,” katanya.
Realita yang terjadi, menurut data Walhi Malut; luas wilayah hutan Malut 2.519.623,91 Ha (Profil Kehutanan Maluku Utara 2012) yang di dalamnya terbagi: Luasan Daratan kurang lebih 3.151.277 Ha atau kurang lebih 79,82 persen. Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Kegiatan Pertambangan mencapai 76.800,51 Ha, Hutan Konservasi kurang lebih 218.499 Ha, Hutan Lindung, ± 584.058 Ha, Hutan Produksi ± 1.712.663 Ha, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK – HA) mencapai 565.594 Ha, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK – HT) mencapai 67.684 Ha.
Para Taipan di Malut
Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia yang telah melakukan riset 29 Taipan pemilik 25 kelompok bisnis sawit, pada akhir tahun 2013 mengusai 5,1 juta hektar luasan lahan di Indonesia. Sebagian perusahan dibawa kendali Taipan ini beroperasi di Malut, salah satunya perusahaan Harita Group. Tak sedikit perusahaan ini menimbulkan kerusakan dan konflik ruang.
Ismed Suleman, Direktur Walhi Malut saat itu mengatakan, konflik masyarakat dengan investasi pertambangan terjadi hampir semua wilayah Malut, terutama di Halmahera Tengah dan Timur yang kawasannya ada ANTAM, Weda Bay Nikel dan Harita Group. Di Tidore Kepulauan ada Sanatova yang mengelolah Kelapa Genja. Di Halmahera Utara, ada tambang emas dikelolah PT Nusa Halmahera Mineral. Pulau Obi ada perusahan sawit yang dikelolah Gane Permai Sentosa dan Trimega, serta Pulau Taliabu ada Adidaya Tangguh.
Di Halmahera Tengah, konflik masyarakat dengan pihak perusahaan Manggala Rimba Sejahtera, pemilik industri perkebunan monokultur (Sawit), begitu juga yang terjadi di Halmahera Selatan yang berhadapan dengan GGM dan Korindo.
Baca juga:
TuK Indonesia juga mencatat, PT Korindo Group, perusahan kayu dan kelapa sawit yang beroperasi di Malut mendapat Izin tanpa proses persetujuan dari masyarakat, beroperasi secara ilegal tanpa HGU dan menguasai 10,100 hektar luas lahan meliputi 18 desa di tiga kecamatan, Halmahera Selatan dan berdampak pada 7,000 anggota keluarga (Data per tahun 2014). Tak hanya itu, dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) pun ditolak masyarakat akibat deforestasi dan hilangnya sumber air dan lahan.
Rahmawati Retno Winarni dari TuK Indonesia menegaskan, kejahatan korporasi yang terjadi itu harus diungkap ke publik secara berimbang dengan menyebut sumber pendanaan terhadap perusahan yang merusak lingkungan.
“Media harus menyebut nama bank yang melalukan investasi ke perusahan yang bermasalah soal lingkungan. Sebab, salah satu faktor yang membuat perusahan yang bermasalah itu terus melakukan operasi karena mendapat dukungan pendanaan,” tegas Rahmawati.
Pihak bank tidak ingin berhadapan dengan masalah reputasi mereka, jika nama mereka masuk dalam daftar masalah lingkunan, biasanya mereka, pihak bank akan dengan cepat memperbaiki.
Salah satu bank yang mendanai puluhan perusahaan yakni Maybank. Bank ini sudah ada di Kota Ternate. Perusahaan yang didanai Maybank di antaranya Harita Group, Sime Darby, Albukhari Group, Felda Group, Batu Kawan Group, Genting Group, Triputra Group, Johor Group, Sungai Budi Group dan lainnya.
Meskipun begitu, investasi berkelanjutan oleh lembaga keuangan Indonesia tercatat sangat rendah dibandingkan negara-negara tetangga. Di sisi lain, investasi tak berkelanjutan negara-negara lain membahayakan keberlanjutan Indonesia.
Pandangan bank-bank yang beroperasi di Indonesia atas keuangan berkelanjutan belum sepenuhnya positif, terutama karena belum memahami peluang ekonomi dan risiko yang timbul dari praktik ketidakberlanjutan yang dominan hingga sekarang.
Akibat dari itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan Peraturan OJK Keuangan Berkelanjutan pada Juni 2017 yang penjabarannya perlu kita rebut dan penegakannya dikawal. Sebab, selama ini, masyarakat di pulau-pulau kecil yang menerima dampak pertambangan tidak mengetahui, terkait dengan sumber pendanaan bagi perusahan perusak lingkungan.
Rahmawati bilang, pada era Pemerintahan Presiden Jokowi memperhatikan soal reforma agraria yang belum pernah dilakukan pemerintahan sebelumnya. Namun, investasi para Taipan di Indonesia dengan kerusakan ekologi yang terjadi, maka perlu adanya regulasi untuk membatasi.
Pada wilayah perkebunan sudah dibatasi kurang lebih 100 ribu hektar, namun masih ada pelanggaran. Data yang ditunjukkan TuK dari 25 grop bisnis para Taipan, 18 group di antaranya memiliki lebih dari 100 ribu hektar lahan.
“Olehnya itu, peran media untuk mengangkat lagi, agar semua orang memahami bahwa masih ada masalah itu. Suara masyarakat ini perlu dikasi diangkat ke media, sehingga makin banyak ada perhatian terkait ketimpangan penguasaan lahan,” ujarnya.
Nasib Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Masifnya izin pertambangan tidak sebanding dengan daya dukung wilayah daratan Malut, bahkan terjadi konflik lahan di mana-mana. Aspek pembangunan infratruktur pun cenderung mengabaikan keberlanjutan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, reklamasi di mana-mana. Padahal, wilayah perairan Malut mencapai 100.731,44 Km2. Seharusnya, pemerintah lebih fokus membangun pada sektor kelautan, yang terdapat 395 Pulau di Malut, 64 berpenghuni dan 331 belum dihuni.
Janib Ahmad memaparkan, potensi ekonomi kelautan di Indonesia mencapai USS1,333 triliun pertahun atau 7 kali lipat APBN 2016. “Pada tahun 2014, konstribusi ekonomi kelautan bagi PDRB Indonesia sekitar 22 persen. Ini lebih besar dibandingkan dengan Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia dan Islandia,” jabarnya.
Malut dalam segitiga kakang (the coral triangle ragion) memiliki potensi perikanan yang menguntungkan. Malut juga salah satu wilayah paru-paru bumi, memiliki 600 species karang dari 75 persen jenis terumbu karang, memiliki 3.000 jenis ikan dan menjadi tempat pemijahan dan perkembang biakan bagi populasi ikan terbesar di dunia. “Dengan demikian, tambang bukan menjadi sumber pendapatan utama bagi daerah Maluku Utara,” tegas Janib.
Masalah lain, soal tata kelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Malut masuk penjadwalan ulang penyusunan draf Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulaui Kecil (RZWP3K), landasan dari peraturan ini diatur dalam UU No 27 tahun 2007.
Melihat Malut dengan problem pertambangan dan kerusakan ekologinya, menurut Mananer Kampanye Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Walhi Nasional, Ony Mahardika, RZWP3K belum layak dijalankan di Malut. Ia mendesak, Pemerintah harus melakukan moratorium izin pertambangan.
RZWP3K adalah peluang penataan ruang. Jika dikerjakan dengan benar, maka lebih bagus dari pada RTRW. Sebab, dalam rancangan harus menghargai masyarakat adat, masyarakat setempat, masyarakat nelayan tradisional. Kedua, dia menghargai prinsip partisipasi dan keterlibatan pulbik. “Di situ yang diatur pada pedoman teknis dalam Permen. Bedanya di darat, di laut izinnya adalah izin pengelolaan, jika ada perikanan tangkap, harus berbasis koperasi masyarakat,” kata Ony.
Dalam pasal 5 RZWP3K menjelaskan pengelolalaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan melalui kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam pemanfataan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pada pasal 7 perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus memenuhi 4 syarat perencanaan yakni rencana strategis, rencana zonasi, rencanaan pengelolaan, dan aksi pengelolaan. Jika aspek-aspek ini diabaikan pememerintah, maka, rencana ini gugur.
Ony bilang, selama penyusunan RZWP3K, ada problem pada tahap penyusunan. Di mana, tidak dilibatkan masyarakat atau nelayan kecil yang hidup di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. “Pada tahap konsultasi publik pertama, jelas masyarakat tidak dilibatkan untuk diskusi bahkan menentukan nasib. Mereka, para penyusun RZWP3K, tim yang dibentuk oleh para gubernur ini tiba-tiba mengundang masyarakat nelayan itu rata-rata dikonsultasi publik kedua pada tahap akhir, sebenarnya pada konsultasi publik pertama harusnya melibatkan masyarakat sebab dasar prinsipnya begitu,” ungkap Ony.
Terkait dengan RTRW, ruangnya berbeda secara karakter, objeknya juga berbeda. Makanya, ini harus diatur khusus. Sebab, perbedaan antara wilayah darat adalah RTRW. Sedangkan laut RZWP3K. Sedangkan persoalan di Malut lebih pada RTRW, cenderung belum mengurusi wilayah perairan, dan sangat komplek dengan urusan pertambangan, izin pertambangan, reklamasi dan lainnya, tanpa mempertimbangkan mana kawasan ruang hidup masyarakat, nelayan, yang berpotensi dialih fungsikan untuk pemodal lewat legalitas perizinan.
Olehnya itu, untuk menjalankan RZWP3K di Malut, prinsipnya harus ada pengkajian karakteristik tiap daerah. Karena di dalam UU pesisir dan pedoman teknis RZWP3K, peraturan Menteri kelautan dan Perikanan menyebutkan harus menghargai masyarakat adat dan nelayan tradisional. Artinya, sebelum merencanakan ruang, harus mengkaji semua ini.
Sebab, kajian ini menjadi dasar terbentuknya RZWP3K. “Makanya di poin pertama, setelah pembentukan tim, harus ada kajian. Di tahap pertama, kedua, dan ketiga. Kajian ini menjadi dasar penyusunan RZWP3K. Kalau di dalam UU tersebut tidak ada kajian ini, artinya ia gagal atau cacat administrasi,” ungkapnya.