Bocah, Kambing dan Sampah di Pantai Sasa

Anak-anak saat memungut sampah botol plastik di pantai Sasa. Foto: La Ode Zulmin

Oleh: La Ode Zulmin*

 

Hujan berlangsung selama dua hari, hingga semalaman mengguyur Ternate, tak kunjung reda. Amukkan angin dan badai terdengar dari dalam gedung sekretariat Independensia. Gemuruh ombak di pantai bikin nyali saya ciut.

Minggu malam, 27 Agustus 2023, saya sempat membaca himbauan dari BKGM di grup WhatsApp, soal peringatan angin kencang dan gelombang tinggi. Berkat itu, sesekali saya mengintip dari balik jendela, barangkali tsunami. Bersyukur itu tak terjadi.

Mafhum bila kepanikan cukup besar, karena letak sekretariat Independensia dan pantai hanya 3 meter saja. Untuk sekadar mengalihkan kecemasan saya itu, dua buku gubahan Ki Hajar Dewantara berjudul Pendidikan bagian pertama dan karangan Eko Prasetyo Guru: Mendidik Itu Melawan setia menemani saya hingga terlelap.

Pagi tiba, mentari sudah mulai terik saat saya hendak bergegas membasuh wajah. Dari teras sekretariat Independensia, tampak pemandangan buruk di pantai Kelurahan Sasa, karena dipenuhi sampah-sampah. Sebenarnya, pemandangan seperti itu kerap kali saya saksikan, tapi kali ini, sungguh meresahkan.

Di samping kanan sekretarian Independensia ada muara kali mati. Bila sehabis hujan deras segala tumpukan sampah dari darat beramai-ramai dibawa mampir ke pantai. Mengingat pagi itu, bertepatan dengan air laut surut, berbagai macam sampah-sampah plastik bertumpuk di pantai: botol aqua, kantong plastik, teh botol, teh gelas, aqua botol, dll.

Dari posisi saya berdiri, tampak beberapa bocah tengah berada di atas tumpukkan sampah plastik itu. Saya mulai mengamati aktivitas mereka. Satu orang bocah tengah memikul kantong plastik hitam atau trash bag
(biasa digunakan untuk menampung sampah). Dan dua bocah tengah sibuk memungut dan mengumpul botol bekas kemasan air mineral. Tak lama berselang, saya menghampiri mereka.

Baca Juga:  Surat Tentang “Orang Buangan”

Raut wajah yang masih polos itu tampak lusuh. Rambutnya berantakan. Barangkali saat hendak memungut sampah, ketiga bocah itu tak sempat membasuh wajah. Dari kantong mata mereka, tampak jelas baru bangun dari tidur.

Sampah berserakan di sepanjang pantai Sasa, Ternate Selatan, Kota Ternate. Foto: La Ode Zulmin

Silva, bocah laki-laki yang masih duduk di bangku kelas satu SD, bertugas mengisi botol-botol ke dalam trash bag Sementara, Evan dan Sukma bertugas memungut botol plastik, masih duduk di bangku kelas lima SD.

“Botol ini kami kumpul untuk dijual,” kata Silva menjawab pertanyaan saya.

Sebelum dijual, botol-botol plastik bekas itu mereka cuci hingga bersih. Biasanya, botol-botol yang dijual digunakan untuk tempat air es isi ulang oleh pemilik kios.

Di Ternate, air es isi ulang ini sangat laris. Sepengetahuan saya, minuman air es isi ulang ini, banyak dikonsumsi oleh mahasiswa. Harga sebotol ari es isi ulang, hanya Rp 1000, membuat minuman ini laris. Air es isi ulas tersebut biasa dicampur dengan extra-jos, kukubima, susu saset, dan bubuk kemasan semacamnya.

Meskipun harganya sangat murah, air es isi ulang ini tak menutup kemungkinan menjadi dalam dari timbulnya penyakit. Sebab, penggunaan botol bekas air mineral sekali pakai bisa saja mengancam kesehatan. Kendati begitu, sejauh ini, saya belum tahu, apakah sudah ada penelitian soal konsumsi air es isi ulang atau tidak. Yang pasti botol bekas yang dijual itu, sebagian dikumpul di tumpukkan sampah.

Dari pengakuan para bocah yang mengumpul botol bekas kemasan air mineral itu, ternyata tak sembarang mengumpul botol bekas, kecuali yang berukuran sedang. Selain itu mereka juga memilah botol mana yang boleh dipakai dan dijual.

“Tak semua botol bekas kemasan air mineral kami pungut, kecuali botol yang lumayan bersih. Ini agar memudahkan saat proses pembersihannya dan siap dijual kios-kios,” jelas Evan sambil memungut botol-botol plastik itu.

Baca Juga:  Opini: Taufik Madjid, Harapan Baru Masyarakat

Biasanya, kata Evan, kalau dijual tiga botol bekas dihargai Rp 1000, uangnya untuk beli jajan dan makanan untuk sehari. Kalau sehari bisa mengumpul botol plastik puluhan hingga ratusan, maka mereka juga bisa merima uang lebih banyak lagi.

“Kadang, sehari bisa dapat uang Rp 30-50 ribu. Bahkan pernah terjual sampai Rp100 ribu per hari,” terang Evan.

Di atas tumpukkan sampah yang merusak pesona pantai, tiga bocah menaruh harapan dan mengais rejeki. Botol plastik yang terkumpul saat saya hampiri mereka, sudah lumayan banyak. Satu karung bekas beras 50 kg, satu trash bag, dan satu tas kantong berwarna merah.

Tindakan ketiga bocah itu, memang sedikit mengurangi sampah: botol plastik, dan bisa menjadi sumber pendapatan mereka. Tapi sayangnya, tak semua botol plastik bisa dipungut, hanya sebagian saja, yang sedikit bersih.

Kalau begitu, sampah-sampah plastik yang lain masih tetap berserakan dan menumpuk di Pantai Sasa. Begitu menyedihkan.

Di atas tumpukkan sampah itu, selain para bocah, sekawanan kambing pun tak mau ketinggalan momen untuk bertandang dan mengais makanan. Bahkan tak segan-segan mengarahkan mulutnya ke tumpukkan sampah plastik.

Kambing-kambing tak tahu sampah plastik itu berbahaya, yang bila ditelan bakal mengkoyak-koyak lambungnya. Segerombol kambing itu, tetap tenang dan santai menyantap sampah plastik.

Kenyataan yang begitu memprihatinkan. Selain kambing yang menjadi korban, pun lingkungan Pantai Sasa ini bakal menjadi tempat paling kumuh di kota Ternate bila sampah dari darat tetap berserakan.

Kendati begitu, tak sedikit orang-orang di pesisir pantai yang sering masih acuh dan tetap buang sampah ke laut. Padahal, untuk menjaga kelestarian pesisir pantai, mestinya kesadaran akan buang sampah pada tempatnya harus ditingkatkan. Bila tidak maka kota Ternate, bakal menjadi kota andalan sampah.

Baca Juga:  Epistemologi Buruh

Di pantai Kelurahan Gambesi dan Sasa sebagai bukti ketidakseriusan pemerintah terhadap masalah sampah. Tak ada inovasi dan inisiatif untuk mengurangi sampah-sampah dari darat yang tersalurkan ke Pantai Sasa.

Kambing saat mencari makan di tumpukan sampah di pantai Sasa. Foto: La Ode Zulmin

Memang, soal sampah di Kota Ternate ini, tak kunjung ada akhirnya. Beberapa hari lalu, menjelang perayaan hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-78, Kota Ternate sempat heboh. Tak lain karena soal sampah yang disoroti Prilly Latuconsina ketika bertandang ke pulau ini. Ia terkejut melihat sampah di Kota Ternate berserakan di selokan. Berkat foto yang diposting di Instastory pribadinya, nyaris semua media online dan cetak lokal Maluku Utara, mengabarkan beritanya.

Berita yang tersiar bikin ketar-ketir pemerintah Kota Ternate. Betapa tidak, selain media lokal Maluku Utara, pun postingan Prilly, seorang aktris dengan followers Instagram 53,9 juta bisa mempengaruhi para lovers dan hatersnya. Bahkan bisa sampai ke pemerintah pusat. Dan akan dinilai oleh masyarakat maya, bagaimana keseriusan pemerintah Kota Ternate terhadap pengelolaan dan penanganan sampah, yang hingga saat ini tak ada tindakkan. Bahkan sejak dulu pun soal sampah masih tetap sama dan semakin bertambah, dan hanya menjadi wacana penanganan.

———

*Penulis adalah penghuni Perpustakaan Independensia di depan bibir pantai Sasa, Kecamatan Ternate Selatan