News  

Menyalakan Tradisi Malam Lailatul Qadar di Kesultanan Tidore

Sultan Tidore, Husain Sjah, membaca Surah Al-Fatihah dan Surah Al-Qadr sebelum menyalakan obor sebagai petanda datangnya malam Lailatul Qadar. Foto: Nurkholis Lamaau/cermat

Sultan Tidore, Husain Sjah, segera menyalakan beberapa sumbu obor usai melafazkan Surah Al- Fatihah dan Surah Al-Qadr.

Setelah menyalakan beberapa sumbu, obor yang digenggam sang Sultan diserahkan ke perangkat adat lainnya, untuk melanjutkan pembakaran secara bergilir.

Terlihat juga obor-obor yang dinyalakan di beberapa sudut. Mulai dari gerbang hingga halaman kedaton.

Malam itu, Senin (17/4), sejumlah perangkat adat hingga masyarakat biasa, berkumpul di halaman Kedaton Kie Kesultanan Tidore.

Sultan Tidore, Husain Sjah, menyalakan obor sebagai petanda datangnya malam Lailatul Qadar. Foto: Nurkholis Lamaau/cermat

Mereka antusias menyaksikan Suro Guto serta Kolano Uci Sabea, salah satu tradisi yang mengakar lama di Kesultanan Tidore.

Suro Guto adalah bahasa Tidore yang berarti bakar obor. Sedangkan Kolano Uci Sabea adalah sultan turun salat.

Dua tradisi itu sebagai petanda datangnya malam Lailatul Qadar tepat pada 27 Ramadan. Masyarakat Maluku Utara umumnya menyebut malam Ela-ela.

Sesaat kemudian, para Bobato Akhirat yang terdiri dari para imam, tiba di kedaton. Mereka hadir untuk menyampaikan, bahwa Salat Isya dan Tarawih siap dilaksanakan.

Seketika, sultan beserta perangkat adatnya mulai berjalan beriringan, menuju Sigi Kolano atau Masjid Sultan yang tak jauh dari kedaton.

Tiba di masjid, Sultan menempati sisi kanan shaf atau barisan depan. Di belakangnya berjejer para Bobato Dunia dan Bobato Akhirat di sisi kiri.

Jou Jau atau Perdana Menteri Kesultanan Tidore, M. Amin Faruk, menuturkan tradisi ini mulai kental di masa Sultan Syaiffudin (1657-1674).

Obor-obor di halaman Kedaton Kie Kesultanan Tidore. Foto: Nurkholis Lamaau/cermat

Kata Amin, di masa Sultan berjuluk Jou Kota — sultan yang memindahkan ibu kota Kesultanan dari Toloa ke Soasio — itulah tradisi Kolano Uci Sabea diterapkan.

Baca Juga:  Kampanye P4GN, Cara BNN Morotai Serukan Pencegahan Narkoba

“Jadi Kolano Uci Sabea itu dimulai dari awal Ramadan, malam Qunut, malam Lailatul Qadar, serta Salat Idul Fitri dan Idul Adha,” jelas Amin.

Amin adalah salah satu pelaku sejarah yang hidup di masa Sultan Zainal Abidin Sjah (1947-1967), Sultan Djafar Sjah (1999-2012), hingga Sultan Husain Sjah (2012-sekarang).

Ia menjelaskan, Guto merupakan akar kata dari Uto yang berarti tanam. “Artinya, ibadah di malam Lailatul Qadar itu benar-benar diperkuat,” ucapnya.

Sultan Tidore, Husain Sjah, bersama perangkat adat berjalan beriringan dari Kedaton Kie menuju Sigi Kolano atau Masjid Sultan untuk menunaikan ibadah salat Isya dan Tarawih secara berjamaah. Foto: Mansyur Armain

Bagi umat muslim, malam Lailatul Qadar lebih baik dari seribu bulan. “Dulu, orang tua-tua kita, termasuk Aba saya, melaksanakan salat sunnah sampai subuh,” katanya.

Menurutnya, tradisi ini tak pernah fakum. Meski pun sang Sultan mangkat. “Tetap dijalankan oleh perangkat adat yang ada,” tandasnya.

Jou Hukum Soasio Kesultanan Tidore, Ahmad, menambahkan setelah salat Isya, Tarawih dan Witir secara berjamaah, Sultan beserta perangkat melanjutkan ke Makam Sultan Nuku.

“Kami dari perangkat Bobato Dunia serta para imam dari struktur Bobato Akhirat melaksanakan tahlilan di makam Sultan Nuku,” ucapnya.