Dari kejauhan, tampak seorang lelaki dan perempuan tua tengah memotong kangkung. Di samping kiri mereka, ada seorang anak muda sedang membersihkan kangkung–memisahkan yang dimakan ulat dan daun yang menguning dari yang utuh.
Sore itu, Bersama Orin, teman saya, kami menemui mereka di kebun kangkung di Kelurahan Gambesi, Ternate Selatan, Maluku Utara, tepatnya di lapangan Pramuka.
Mereka yang tampak sibuk dengan aktivitasnya, bahkan tak menghiraukan kedatangan kami. Tapi, setelah sadar bahwa kami berada di hadapannya, lelaki tua itu segera menengok dan berdiri menyapa kami. Tak butuh lama, kami langsung minta izin masuk ke kebunnya.
Dan, ketika melihat lebih dekat hamparan lahan yang berukuran satu hektar itu, tampak barisan kangkung yang subur dan hijau. Kebun kangkung tersebut milik Samad.
Lelaki yang berusia 71 tahun itu mengaku sudah lama melakoni pekerjaan tersebut. “Sejak tahun 90-an saya menjadi petani kangkung,” kata Samad saat ditemui, Minggu (19/3/2023).
Kala itu, kata ia, bertepatan dengan kerusuhan antara warga Islam dan Nasrani. Karena takut, ia bermigrasi dari Desa Talaga, Kecamatan Ibu Selatan, Kabupaten Halmahera Barat ke Kota Ternate, Maluku Utara, untuk mengamankan diri.
Ketika di Ternate dan tak mendapatkan pekerjaan tetap, ia mencari akal. Kebetulan di sekitaran Kelurahan Gambesi terdapat satu lahan yang tidak terawat. Ia kemudian meminta izin kepada pihak kepala desa setempat untuk menggarap lahan tersebut. Atas izin kepala desa, Samad menanam kangkung di lahan yang diberikan. Selain kangkung, pun ia tanami beberapa tanaman pandan.
Namun tak seperti petani yang lain, Samad ke kebun setiap sore pukul 16.00 WIT. Pada pagi hari, Samad menjalani aktivitas lain usai sarapan pagi sambil minum teh hangat.
Kakung yang dipotong di sore hari ketika dibawah ke rumah, Samad menaruhnya di bokor berisi air agar tetap subur–daunnya mekar sampai tiba pagi hari untuk siap dijual.
Pekerjaan tersebut ia jalani dengan tekun. Ia mengaku bersyukur, karena hanya dengan ini ia dapat menyambung hidup.
Dengan menjual kangkung ini, dalam sehari ia bisa mendapat Rp 300.00 dan sebulan ia bisa kantongi Rp 9.000.000.
“Dari hasil penjualan kangkung saya bisa membeli tanah, membangun rumah, bisa menyekolahkan tiga orang anak sampai menjadi sarjana. Dan sekarang saya pun juga menyekolahkan cucu saya dari hasil jualan kangkung,” ungkap Samad.
Ia bilang, anak pertamanya kuliah di Jakarta, di Program Studi Informatika. Sementara anak keduanya merampungkan pendidikan SMP dan SMA di Bandung, Jawa Barat. Kemudian melanjutkan kuliah di Universitas Khairun Ternate, Maluku Utara.
“Saa ini anak kedua saya memilih menjadi fotografer,” ujar Samad.
Samad mengaku sayur kangkung yang ia panen diambil oleh dibo–dibo dengan harga Rp. 10.000 per tiga ikat saat dibawa ke pasar. Harga tersebut masih tergolong di bawah.
“Harga di atas ia bisa meraup keuntungan Rp 300.000,” katanya.
Saat menanam kangkung, Samad mengaku harus dirawat dengan pupuk NPK. Pupuk itu dibeli dengan harga Rp 140.000. Tapi kalau dihitung per karung sekaligus dengan harga ojek yang dibawa sampai ke kebun bisa Rp 150.000. Modal awal yang dikeluarkan untuk menanam kangkung sebesar Rp 150.000, dan pemasukan bisa sampai Rp 3.000.000.
Kendati begitu, Samad mengaku sering juga mengalami gagal panen saat musim hujan yang tidak sesuai dengan harapan.
“Hasil panen yang baik itu pada saat musim panas. Kami kadang kewalahan untuk memotong kangkung. Apalagi tidak memiliki karyawan, apa-apa dikerjakan sendiri,” akui Samad.
Usia yang sudah menua tak menyurutkan semangatnya. Samad memiliki impian besar, ke depan bisa membangun perusahaan kangkung sehingga bisa didistribusikan ke kampung halamannya. Karena dengan begitu, tambah ia, masyarakat bisa mendapat keuntungan lebih besar.
——
Penulis: Samsuria Buamona
Editor: Ghalim Umabaihi