Daerah yang Punya Istilah ‘Kalah Ganti’ Kini ‘Pecat’ 35 Tenaga Kesehatan

Agusalim Abas, Jurnalis cermat

Oleh: Agusalim Abas
Jurnalis cermat

Kata bijak menulis begini, “Doa paling tulus ada di rumah sakit”. Tentu pesan bijak itu, mendeskripsikan bagaimana suasana pasien yang dirawat dan keluarganya saat berada di rumah sakit. Di balik doa itu juga, ada tenaga medis yang berjuang untuk proses penyembuhan sang pasien.

Dari kata di atas, saya mencoba mengasah kembali nurani saya maupun kita semua untuk melihat proses perjuangan para tenaga medis (Nakes) ini. Kali ini, lokus saya untuk Nakes yang berada di ‘Daerah yang Punya Istilah ‘Kalah Ganti’, yang saya angkat sebagai judul, meminjam status di media sosial teman saya: Daerah yang Punya Istilah “Kalah Ganti” itu, Kini Pecat 35 Tenaga Kesehatan.

Tentu, maksud dari status itu adalah Kabupaten Halmahera Utara, yang kini dipimpin oleh dua orang doktor, yakni Piet Hein Babua sebagai Bupati dan Kasman Hi Ahmad sebagai wakilnya. Keduanya dilantik oleh Gubernur Maluku Utara pada 21 Maret 2025. Kalau dihitung, mereka sudah menjalankan roda pemerintahan selama 118 hari. Sudah melebihi 100 hari kerja. Lalu, apakah sudah terlihat roadmap arah membangun daerah dari kedua doktor ini dari jargon yang mereka bangun: Halut SETARA? Wallahualam.

Selama 118 hari Piet-Kasman memimpin, hingga kini, nampaknya yang muncul di permukaan adalah masalah seperti Kasus di internal PDAM, Gaji atau upah para petugas kebersihan berbulan-bulan belum terbayar, hingga masalah upah para tenaga medis di RSUD Tobelo, yang selama 6 bulan belum dibayar. Ujungnya, pihak manajeman RSUD ‘memecat’ atau tidak lagi memperpanjang kontrak 35 orang nakes. Dampaknya sudah pasti pada pelayanan RSUD itu sendiri. Anehnya, pemecatan 35 tenaga medis ini pun istilah ‘Kalah Ganti’ terus diembuskan.

Baca Juga:  Patologi Politik Anak Muda

Istilah “Kalah Ganti” ini memang menjadi wacana hari-hari di Halmahera Utara sebab, imbas dari pemilu kemarin. Dihembuskan oleh orang-orang yang mengaku simpatisan kedua doktor ini.

Mereka, para oknum yang mengembuskan kata ‘Kalah Ganti’ itu menganggap orang lama yang memegang usaha UMKM seperti pangkalan minyak tanah maupun pekerjaan lainnya, yang dulu dipimpin oleh Bupati sebelumnya harus diganti. Miris.

Kembali ke soal Nakes. Sejak COVID-19 melanda negeri ini. Saya menyaksikan bagaimana petugas kesehatan ini berjuang di garda paling depan. Menyelamatkan setiap nyawa. Berjibaku tanpa mengenal waktu. Termasuk 35 nakes di RSUD Halmahera Utara yang kini harus menerima kenyataan pahit: kontrak mereka tak diperpanjang.

Ironi ini bukan soal hitung-hitungan anggaran belaka. Ini soal penghargaan terhadap dedikasi. Para nakes ini telah mengabdikan waktu, tenaga, dan pikiran mereka untuk menjaga denyut layanan rumah sakit. Mereka hadir saat sistem kekurangan SDM, saat pasien membludak, saat malam terlalu larut untuk mengeluh. Tapi hari ini, mereka ‘dilepas’ begitu saja—tanpa kejelasan masa depan, tanpa apresiasi yang layak.

Memang benar, kontrak kerja memiliki batas waktu. Tapi apakah evaluasi terhadap mereka dilakukan secara transparan? Apakah pemberitahuan penghentian kontrak disampaikan dengan proses yang adil dan manusiawi? Atau mereka hanya sekadar angka dalam daftar penghematan?

Lebih menyakitkan lagi, sebagian dari mereka merasa ‘tidak dihargai’. Mereka menilai keputusan ini sepihak, tanpa ruang dialog. Di tengah tingginya kebutuhan akan layanan kesehatan berkualitas, melepas puluhan nakes tanpa solusi jangka panjang adalah langkah mundur.

Pemerintah daerah dan manajemen RSUD seharusnya lebih bijak. Jika keterbatasan anggaran menjadi alasan, maka mestinya ada komunikasi terbuka dan pencarian solusi alternatif. Bisa jadi, sebagian dari mereka layak untuk dipertahankan atau dialihkan ke skema pembiayaan lain—bukan sekadar ‘diputus’.

Baca Juga:  Nota untuk Donny

Kini, publik bertanya: Apakah jasa para tenaga kesehatan hanya dihitung sebatas masa kontrak? Di mana letak penghargaan terhadap pengabdian mereka?

Jeritan 35 nakes ini bukan hanya tangisan kehilangan pekerjaan, tapi juga panggilan nurani bagi sistem yang kerap abai pada pelayan garis depan. Jika suara mereka diabaikan hari ini, jangan heran jika kepercayaan terhadap keadilan dalam sistem pelayanan publik terus memudar.