Falsafah Fagogoru; Sebuah Refleksi atas Krisis Lingkungan di Halmahera Timur

Muhiddin Maulud, Kader HMI Komisariat FKIP UNKHAIR Ternate.

Oleh: Muhiddin Maulud
Kader HMI Komisariat FKIP UNKHAIR Ternate

 “Ketika nilai Ngaku rasai diterapkan, manusia menyadari bahwa merusak alam berarti merusak hubungan sosial. Ketika budi re bahasa dan sopan re hormat dijalankan, alam tidak lagi diperlakukan sebagai objek, melainkan sebagai bagian dari kehidupan yang patut dihormatiHidup yang tidak dipertaruhkan tidak layak dihidupi – Socrates

Pendahuluan

Menjalani hidup dan kehidupan merupakan kehendak manusia sebagai human social—makhluk yang tidak dapat hidup sendiri, melainkan selalu terhubung dengan manusia lain dalam masyarakat. Dalam proses hidup itulah manusia menciptakan kebudayaan. Namun, pada saat yang sama, kebudayaan juga membentuk manusia sesuai dengan lingkungan sosial dan alam tempat ia berpijak. Hubungan manusia dan kebudayaan bersifat timbal balik, saling memengaruhi, dan tidak terpisahkan.

Liliweri (2014) memaknai budaya sebagai gagasan atau ide-ide yang dijalankan dengan penuh kesadaran, bahkan sering kali disertai rasa takut jika tidak ditaati. Dari situlah lahir nilai, norma, kepercayaan, dan bahasa yang menjadi pedoman hidup bersama. Budaya bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan sistem nilai yang mengarahkan manusia dalam bersikap terhadap sesama dan terhadap alam.

Dalam konteks Halmahera Timur, krisis lingkungan yang terjadi hari ini—mulai dari kerusakan hutan, pencemaran air, hingga konflik ruang hidup—tidak bisa dilepaskan dari melemahnya nilai-nilai budaya lokal yang dahulu menjadi penyangga harmoni antara manusia dan alam.

Falsafah Fagogoru ; Sebuah Warisan

Masyarakat Halmahera Timur dikenal memiliki bentang kebudayaan yang kaya dan beragam. Perbedaan adat istiadat, bahasa, dan agama tidak menjadi sekat pemisah, melainkan dirajut oleh nilai-nilai bersama yang diwariskan secara turun-temurun oleh para leluhur. Nilai-nilai moral dan pendidikan karakter itu disampaikan melalui berbagai medium budaya: tindakan nyata, sajak-sajak, syair, pepatah, hingga falsafah hidup.

Baca Juga:  Siaran Terakhir Ichan Loulembah

Salah satu falsafah penting yang hidup dalam masyarakat Halmahera Timur adalah Fagogoru. Falsafah ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan pandangan hidup yang menata hubungan manusia dengan sesama, dengan alam, dan dengan kehidupan sosial secara keseluruhan.

Menurut Oesman (2020), Fagogoru terdiri dari enam kata berantai yang mengandung nilai mendasar kehidupan bermasyarakat. Ngaku rasai berarti pengakuan atas hubungan antar sesama manusia—bahwa setiap orang terikat dalam relasi sosial yang saling membutuhkan. Budi re bahasa bermakna laku dan tutur kata yang terjaga dalam kehidupan bersama. Sementara sopan re hormat menegaskan sikap santun, perilaku etis, serta penghormatan terhadap orang lain.

Nilai-nilai ini pada dasarnya menanamkan kesadaran bahwa hidup tidak dijalani secara serampangan. Ada tanggung jawab moral dalam setiap tindakan, termasuk dalam memperlakukan alam. Ketika nilai falsafah Fagogoru dijalankan, manusia tidak akan mudah merusak lingkungan karena alam dipahami sebagai bagian dari relasi hidup yang harus dihormati.

Memahami Ayat-Ayat Qur’an  Tentang Etika Lingkungan

Dalam ajaran Islam, manusia diposisikan sebagai khalifah fil ardh—pemimpin dan penjaga bumi. Al-Qur’an dengan tegas melarang manusia berbuat kerusakan (fasad) di muka bumi. Larangan ini bukan hanya bersifat teologis, tetapi juga etis dan ekologis.

“oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa yang telah membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan seorang manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampui batas dalam berbuat kerusakan-kerusakan di muka bumi.” ( Al-Ma’idah : 32 ).

Baca Juga:  Masyarakat Desa dan Kekuasaan Media Sosial

Al-Qur’an menekankan prinsip keseimbangan (mizan) dalam penciptaan alam. Segala sesuatu diciptakan dengan ukuran dan keteraturan. Ketika manusia melampaui batas—mengeksploitasi alam tanpa kendali—maka keseimbangan itu runtuh dan dampaknya kembali kepada manusia sendiri.

Etika lingkungan dalam Al-Qur’an mengajarkan sikap tanggung jawab, kesederhanaan, dan penghormatan terhadap ciptaan Tuhan. Nilai-nilai ini sejalan dengan falsafah Fagogoru yang menekankan kesantunan, pengakuan relasi, dan penghormatan dalam kehidupan bersama (Qhardawi, 2001)

Elaborasi Kearifan Lokal dengan Etika Lingkungan

Menghadapi krisis lingkungan di Halmahera Timur, pendekatan teknis dan kebijakan saja tidak cukup. Diperlukan pendekatan kultural yang berakar pada nilai-nilai lokal masyarakat (Sibarani, 2018). Fagogoru dapat menjadi pintu masuk untuk membangun kesadaran ekologis berbasis budaya dan menjadi benteng terakhir ekologi.

kearifan lokal dan etika lingkungan – baik yang bersumber dari budaya maupun agama – dapat memperkuat kesadaran kolektif masyarakat (Keraf, 2015). Ketika nilai Ngaku rasai diterapkan, manusia menyadari bahwa merusak alam berarti merusak hubungan sosial. Ketika budi re bahasa dan sopan re hormat dijalankan, alam tidak lagi diperlakukan sebagai objek, melainkan sebagai bagian dari kehidupan yang patut dihormati.

Pendidikan lingkungan berbasis kearifan lokal menjadi penting, terutama bagi generasi muda, agar mereka tidak tercerabut dari identitas budayanya sendiri di tengah arus modernisasi dan industrialisasi.

Penutup

Krisis lingkungan di Halmahera Timur sesungguhnya merupakan cermin dari krisis nilai yang semakin menganga. Ketika manusia menjauh dari falsafah hidup leluhurnya, relasi harmonis antara manusia dan alam pun runtuh perlahan. Alam tidak lagi dipandang sebagai ruang hidup bersama, melainkan sebagai komoditas yang bisa dieksploitasi tanpa batas. Dalam situasi ini, Fagogoru seharusnya hadir sebagai penuntun moral – sebuah pengingat bahwa hidup bukan semata soal bertahan, tetapi tentang mempertaruhkan nilai, tanggung jawab, dan kesadaran kolektif.

Baca Juga:  Ketika Pikiran Menyerang Diri Sendiri: Self-Harm pada Remaja

Namun realitas hari ini menunjukkan ironi. Falsafah Fagogoru kerap direduksi menjadi sekadar slogan dan simbol budaya, bahkan dijadikan tameng kekuasaan untuk melanggengkan eksploitasi alam. Nilai-nilai luhur yang seharusnya menjaga keseimbangan justru kehilangan daya kritisnya, teredam oleh kepentingan ekonomi dan politik. Ketika falsafah Fagogoru hanya dipajang dalam seremonial, sementara hutan ditebang dan ruang hidup dirampas, maka yang terjadi bukan pelestarian budaya, melainkan pengkhianatan terhadapnya.

Menghidupkan kembali falsafah Fagogoru bukan berarti menolak perubahan dan pembangunan, melainkan menempatkan perubahan dalam bingkai etika, keadilan, dan keberlanjutan (. Seperti dikatakan Socrates, hidup yang tidak dipertaruhkan tidak layak dihidupi. Dalam konteks Halmahera Timur, mempertaruhkan hidup berarti berani mempertaruhkan komitmen untuk menjaga alam sebagai ruang hidup bersama—hari ini dan demi generasi yang akan datang. Tanpa itu, pembangunan hanya akan meninggalkan jejak luka, bukan warisan kehidupan.

Referensi :

  • Keraf, A. Sonny. (2015). Etika Lingkungan dan Kearifan Lokal. Jurnal Filsafat, 25(1), 45–63.
  • Liliweri, Alo. (2014). Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung: Nusa Media. 2014: 18–20
  • Herman Oesman.2020.Fagogoru. Kisah Tiga Negeri. Lefo.id.
  • Qardhawi, Yusuf. (2001). Islam Agama Ramah Lingkungan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
  • Sibarani, R. (2018). Penguatan Kearifan Lokal sebagai Landasan Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Antropologi Indonesia, 39(1), 1–15