Gong Tampari Aku

Gambar dan nama seseorang itu ternyata sama dengan yang disebutkan MC, Gol A Gong. Tentu aku sangat gembira bercampur bangga, bisa duduk bersebelahan dan bincang akrab dengan sang duta. Foto: Istimewa

*Zainuddin M. Arie

 

AKU bersicepat ke selatan kota, menumpang di boncengan motor, di bawah rerintik bersisa. Tiba di lantai dua gedung pemerintah itu, aulanya masih terkunci. Seorang gadis manis duduk dekat pintu, tempat panitia kemaren mendaftar ulang peserta lomba. Dia tersenyum, aku mendekatinya, berbasa-basi dan berkenalan. Ternyata, Ning, demikian dia kusapa, salah seorang peserta lomba menulis yang setengah jam lalu tiba dan menunggu saat perlombaan pada Rabu, Juli 2024 itu.

Ternyata Allah menggesakanku hadir di gedung masih sepi ini karena keberuntungan sudah menungguku. Sebagai penggemar kegiatan tulis-menulis, keberuntungan itu sangat berarti karena Allah SWT “mengutus” salah seorang pengemban amanah surah “al-Alaq” akan hadir ke tengah-tengah remaja Ternate yang amat antusias.

Harus menunggu lama, setelah masuki ruang berpenyejuk tinggi dan duduk di deretan terdepan yang apik disiapkan panitia. Lebih satu jam kemudian, lomba menulis yang dihelas Dispersik Kota Ternate hari itu pun dimulai. Tiga juri yang saya kenal duduk di kiri depan panggung. Sibuk mengaduk-aduk berkas peserta lomba yang disiapkan panitia. Saya menyimak satu demi satu peserta tampil mempresentasikan karya esaynya. Rata-rata adalah siswa SLTA juga SLTP. Lainnya adalah mahasiswa juga sarjana. Sayangnya presentasinya lebih pada membacakan tulisan yang sama persis dengan naskahnya. Pembacaannya hanya boleh beberapa menit dan kemudian para juri memberikan komentar sekitar fokus masalah yang dipilih, gaya dan cara penyampaian, sejuml;ah data dan referensi yang digunakan hingga EYD yang perlu diperhatikan. Bahkan ada pula penulisan yang lebih bergaya tulisan (cerpen) ketimbang esay. Walau dicecar para juri, peserta tetap pantang pulang. Presentase peserta dan tanggapan juri masih terus berlangsung.

****

Lebih tiga jam sudah. Lalu perlahan suasana berubah agak berisik. Kali ini banyak yang datang. Semula aku tak sadar, mengapa begitu banyak remaja, siswa dan mahasiswa, guru dan orang-orang lain memenuhi ruang. Mereka menunggu sesuatu ataukah menunggu seseorang? Aku baru sadar, ternyata hari rabu itu para pemenang lomba bercerita, baca puisi dan lomba menulis esai akan diumumkan. Selain itu akan hadir pula seorang tamu jauh dimata yang diculik panitia yang ditunggu.

Suasana berisik lagi. Kali ini lebih lagi. Orang-orang berdiri, menoleh ke belakang. Aku masih mengamati peserta di panggung. Lalu seorang lelaki bertubuh lebih besar dan lebih tinggi dariku, berkulit terang, berambut gondrong di dahi, jaket warna krem membungkus tubuhnya yang penuh. Dia menuju kursi deretan depan yang dipersilahkan panitia di seberang tempat dudukku. Dia akan duduk di sana, tapi kulihat dia batal duduk di situ, dia malah menuju kursi bersebelahan denganku. Meletakkan badannya sambil tersenyum sangat ramah kepadaku. Aku menyambutnya sembari agak berdiri, menyilahkannya duduk lalu kuulurkan tangan, dia menyambut, kami berjabat tangan sangat erat, dan senyum makin melebar. Sangat akrab dan seperti pernah kenal jauh sebelumnya. Sungguh kesan amat harum itu mengurangi jenuhku yang hanya duduk-duduk saja sejak pagi. Aku lupa telah menghabiskan hampir empat jam di sini sejak kehadiranku pagi tadi.

Baca Juga:  Menghidupkan Kembali Bahasa Ibu di Kampung Sendiri

MC menyampaikan selamat datang dan menyebutkan satu nama. Saya melihat tamu yang kini duduk di sampingku, sambil sekilas membaca backdropp di depan. Gambar dan nama seseorang itu ternyata sama dengan yang disebutkan MC, Gol A Gong. Tentu aku sangat gembira bercampur bangga, bisa duduk bersebelahan dan bincang akrab dengan sang duta. Meski terputus-putus, tapi bincang kami sekitar menulis, penerbitan, dan buku berlangsung akrab. Aku bilang, dulu sekita sebelum tahun 70-an di lingkungan kami, dunia tulis menulis hanya “dikuasai” oleh orang tua (dewasa), yakni guru dan wartawan. Hal mana sangat berbeda dengan saat ini. Anak-anak digesakan agar terampil menulis, melalui berbagai kegiatan literasi yang marak.

Mendengar itu, dengan senyum tipis, Gong bilang, mungkin dulu rasa percaya diri belum tumbuh di kalangan anak-anak dan remaja kita. Aku mencernanya, lalu aku bilang, aku pernah takut menulis surat kepada ibuku. Tapi saat aku menulis surat, kuhabiskan dua belas halaman kertas surat bergaris dengan tulisan tanganku yang rapat dan padat. Gong bilang, memang dulu anak-anak takut menulis surat. Jadi rasa percaya diri sangat dibutuhkan seseorang (pemula) agar bisa menyusun kata dan kalimat menjadi baris-baris tulisan. Bagiku menulis mesti dibiasakan, bukan sekedar “diajarkan” secara teoritis. Orang Ternate bilang, “doto se biasa, poha biasa ua”, secara bebas ungkapan padat ini dapat diartikan, bahwa belajar (atau pembelajaran secara teoritis) tak dapat mengungguli kebiasaan atau pembiasaan.

Usai kegiatan lomba menulis, kelihatannya acara akan berganti ke acara lain yang ditunggu. Panitia sibuk membereskan panggung. Menempatkan meja dan dua kursi di panggung. Menyiapkan alat pelantang dan dua microphone. Kursi-kursi di belakang kami telah dipadati peserta. Tak ada kursi kosong. Wajah wajah antusias memenuhi ruang. Jumlah panitia bertambah dan terlihat sibuk di belakang, di panggung dan samping panggung. Bacaritaku dengan Gong pun mulai terganggu. Kelihatannya persiapan ke acara berikut masih lama. Aku mesti menyelesaikan tugas utamaku, salat duhur.

Setelah makan dan salat duhur di lantai bawah, Aku kembali menemani tamu di deretan kursi terdepan. Sudah ada ibu kadis Perpustakaan dan Kearsipan Kota Ternate bersama beberapa orang pegawai lainnya. Dua buku menarik berada di meja. Kelihatannya buku-buku ini akan jadi souvenir untuk tamu kita. Kedua buku itu, yang pertama berjudul “Portugis dan Spanyol di Maluku” (M. Adnan Amal, 2010) yang menguraikan sejarah sepak terjang orang-orang Eropa itu di Maluku berkaitan dengan perniagaan rempah (cengkeh), monopoli dan berhadapan dengan para sultan dan buku lainnya “Kawasan Laut Pulau” (A. Malik Ibrahim, 2019) mengetengahkan pembangunan kawasan negeri kepulauan dalam beberapa pendekatan, yakni pendekatan etnis, pendekatan kebudayaan dominan, pendekatan kepulauan dan pendekatan tipologi sosial.

Baca Juga:  Al Hujurat, Berita, dan Opini

Aku ingat dalam tas ada buku kumpulan puisiku, “Ngoko Kudiho Talalu Susa” (jalan pulang amatlah rumit) yang terbit tahun lalu. Lalu terbersit pikiranku akan membagikan buku ini kepada Gol A. Gong sebagai tanda persahabatan, sebagai oleh-oleh kecil bidang sastra dari Maluku Utara, juga sebagai tanda kegembiraan dan terimakasih atas kehadirannya. Lalu penyerahan itu pun terjadilah. Langsung di tempat duduk yang bersebelahan, diabadikan dalam foto. Ternyata satu buku tersebut mengalami dua kali penyerahannya. Sekali terjadi ditempat duduk kami pada deretan terdepan yang bersebelahan dan sekali lagi diserahkan secara “resmi” di panggung terhormat dan disaksikan oleh ibu Safia M. Nur, selaku Ka. Dispersip Kota Ternate, seluruh peserta, juri, guru pendamping, orang tua siswa dan panitia.

Sumringah, Gong jejaki pentas, disambut tepuk tangan meriah hampir satu menit. Medley aplaus itu meluapkan kegembiraan anak-anak Ternate menerima seorang pegiat literasi yang telah menelorkan 126 buku dan akan berbagi pengalaman dan menanamkan motivasi suksesnya. Mereka penuh minat, wajah-wajah menunjukkan kesungguhan dan menanti dorongan.

Di pentas Gong berhadapan dengan Eni Umasugi, MC yang tersenyum menyapanya. Satu tanya ringan dilontarkan Eni, mengapa Gong senang datang ke Ternate? Sejenak jeda. Gong menatapnya, mikir ringkas, cepat. Lalu jawaban ringan pun meluncur singkat : “papeda”, kata lelaki yang pernah menjuarai cabang olah raga bulutangkis pada PON beberapa tahun lalu. Jawaban papeda itu mengundang reaksi tawa senang para hadirin ke arah lelaki yang pada tayangan slide terlihat bangga, foto Gong muda menggenggam raket.
Rupanya bubur sagu kenyal kental dengan kuah ikan segar ini telah menggodanya sejak dicicipinya di Ambon beberapa tahun sebelumnya. Sehingga ibu Ka Dispersip pun harus mengajak pendiri komunitas kesenian Rumah Dunia ini ke salah satu restoran di kota ini. Ah, ternyata pupeda, hehehe.

Sang Penyandang disabilitas (maaf) ini ternyata memiliki tangan yang sangat panjang, sehingga dengan raket yang digenggamnya, Heri meraih berbagai kejuaraan di daerahnya, semisal Juara kedua se Banten, tingkat SLTA, 16 besar se Jawa Barat, tingkat SLTA, 1981 lawan-lawannya adalah atlet bertangan dua.
Selain itu, dalam skala nasional, Ketua Umum Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Indonesia ini juga adalah Juara se Indonesia pada POR Penyandang cacat di Surabaya, 1985. Sedangkan di manca Negara, anak dari dua orang guru (ayah dan ibunya) ini pernah meraih Juara se Asia Pasifik di Jepang, 1989 untuk ganda dan beregu. Pada kategori Single ia meraih juara 3. Juara se Asia Pasifik di Jepang, 1989 untuk double dan beregu. Luar biasa!

Baca Juga:  Pembangunan di Maluku Utara Masih Minim Kualitas

Dengan demikian potret seorang Heri Hendrayana Harris ini, seolah mengikuti kapasitas dan kompetensi para Duta Baca Indonesia (DBI) pendahulunya yang tak hanya menguasai satu bidang tapi terjun pula di bidang lainnya. Sebut saja nama-nama seperti Tantowi Yahya (2005-2010), pembawa acara, musikus, pengusaha dan politikus (digadang-gadang sebagai anggota kabinet Prabowo-Gibran). Andi F. Noya (2011-2015), Presenter tv pada program Kick Andy yang terkenal. kemudian seorang perempuan cantik dan cerdas Najwa Shihab (2016-2021) pembaca acara berita, pengasuh program “Mata Najwa” yang kondang di teve.

Dari perjalanan prestasinya, dapat ditarik benang merah dari membaca, menulis, bicara menjadi duta bahasa dan dibidang olah raja sebagai atlet nasional. Selain itu jagoan yang pernah terjun dari ketinggian pohon ini pun terlibat dalam film “Balada Si Roy” kegemaran remaja yang diangkat dari buku yang ditulisnya.

Dunia literasi nasional kurang melihatnya sebagai atlet, padahal mental seorang juara di lapangan bulutangkis dengan tubuh yang sehat, kuat dan berdaya tahan (stamina) merupakan salah satu syarat fisik sebagai pembaca, penulis dan pembicara yang harus mengunjungi berbagai pelosok di tanah air. Sungguh menguras tenaga fisik dan kemampuan fikir.

Tentu saja pesan kehadiran seorang Gol A Gong, adalah terus menghunjamkan keyakinan, akan urgensi babaca, bacarita, batulis, dan tentu saja badengar yang sarat “rasai”. Sarat penghayatan berlatar budaya Ternate sebagai penanda keberadaan pelaku literasi kini dan nanti. Aku bersyukur ke hadirat Allah SWT dan berterimakasih kepada Dispersip, telah diundang pada kegiatan ini.

Dispersip yang memiliki kapasitas formal dan koloksi buku-buku berbagai penulis dan kalangan pembaca, tentu kagiatan ini merupakan transformasi positif yang sangat membanggakan dan menjanjikan perubahan pada cara pandang semua kalangan masyarakat terhadap eksistensi suatu perpustakaan di kota.

Acara bincang bersama sang tamu pun berakhir. Dalam keriuhan “bafoto-foto” dan “babakudasi”, sejenak aku terhenyak. Terdiam. Sekilas merenung. Rupanya aku kurang bersyukur atas keadaanku yang lengkap. Ternyata aku tak berkemampuan sebagaimana yang telah dilakukan oleh sang duta ini. Sungguh, Gong menamparku amat keras. Amat keras agar ikut serta menggegas anak-anak muda Ternate, lebih galakkan literasi, tidak sebagai sebuah kegiatan belajar, tetapi sebagai realisasi keyakinan akan perintah surah “al-Alaq”. Salam hormat dari kaki Gamalama.

Kumaha, damang, A!


Zainuddin M. Arie atau Ayah Ari merupakan sastrawan Maluku Utara. Dari tangannya, sastra tak hanya menyublim pesona fiktif orang dewasa, tetapi juga anak-anak.