Ikatan Pemuda dan Pelajar Fitu (IP2F) Kota Ternate, Maluku Utara menggelar dialog publik dengan tema, “Orang Kampung Bacarita Politik, Jejak Pemikiran Legislator” di Kelurahan Fitu, Ternate Selatan, Kamis, 18 Januari 2024.
Diskusi ini menghadirkan enam orang Calon DPRD Dapil 2: Ternate Selatan-Moti sebagai narasumber. Di antaranya Yahya Alhadad dari Partai Perindo, Erna Rasid perwakilan Partai Gelombang Rakyat (Gelora), Mulyono Dahlan dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Fauji Muhammad perwakilan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Ade Rahman Lamadihami dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Rudi Subuh, caleg Partai Nasdem.
Ketua Koordinator LP2F Anyong Urip mengatakan, kegiatan ini dilakukan agar masyarakat dapat mengetahui sejauh mana gagasan caleg sebagai sebuah konsepsi untuk mewakili kepentingan dalam mendorong agenda perubahan di Ternate Selatan—khususnya di Kelurahan Fitu.
“Kita tahu bersama bahwa paling krusial di Kelurahan Fitu adalah masalah lahan kuburan, petani kangkung banyak kehilangan tanah, masalah sampah yang belum dapat dikelola dengan baik yang dampaknya pada kesehatan dan merusak ekosistem laut,” katanya.
Ia bilang, diskusi seperti ini sangat penting agar masyarakat bisa tahu kemampuan caleg dan tidak salah memilih. Caleg punya kemampuan bagus tak sebatas diukur dengan ucapan, akan tetapi rasa peduli dan tindakan nyata—atau melihat rekam jejaknya.
“Harapan besar kita semua adalah terciptanya demokrasi yang sehat dan terbuka. Yang lebih penting lagi, adalah tolak politik uang, dan masyarakat dapat memilih orang yang serius berjuang untuk rakyat,” tandas Anyong.
Dalam diskusi itu, salah satu caleg yang menjadi pusat perhatian warga adalah Yahya Alhadad dari Partai Perindo nomor urut 3. Mengapa tidak, penjelasannya mendapat tepuk tangan cukup meriah oleh warga yang hadir. Ia menjelaskan masalah utama Kota Ternate, termasuk Kelurahan Fitu adalah masalah manusianya.
“Mengapa saya lebih menekankan soal manusia?” tanyanya di sela-sela diskusi.
Pertama, sambung ia, misalnya, petani kangkung yang tanahnya digusur dan profesi ini sudah terancam punah. Hal ini dikarenakan tanah di Ternate makin sempit dan pengusaha demi meningkatkan bisnisnya mereka melakukan berbagai cara untuk memperoleh lahan—termasuk bekerja sama dengan pemerintah untuk memperoleh status legalitas tanah dan ini yang terjadi di Fitu. Padahal tanah-tanah tersebut adalah warisan leluhur dan secara hukum diakui oleh hukum adat.
Masalah tanah di Kota Ternate ini, bagi ia, juga berkaitan dengan persoalan penataan ruang yang tidak efektif dan karena pemerintah tidak melakukan kajian yang tidak melibatkan aspek sosial- budaya. Pemerintah lebih utamakan ekonomi-politik sehingga yang dikejar adalah pertumbuhan ekonomi daerah.
“Karena tata ruangnya kacau-balau sehingga ketika hujan deras sering terjadi banjir. Misalnya, di Fitu ini daerah ketinggian dan system drainase mestinya dibangun juga sumur serapan. Hampir semua drainase di Ternate tidak ada sumur serapan sehingga saat hujan deras, terutama masyarakat daratan rendah menjadi sasaran banjir,” paparnya.
Kedua, terkait masalah sampah. Pengelolaan sampah secara efektif bukan soal memperbanyak pengangkut sampah (armada sampah roda tiga) di tingkat kelurahan karena justru dijadikan projek yang menguntungkan segelintir orang.
“Bagi saya, yang harus dilakukan adalah melibatkan semua RT, imam, badan SARA, pemuda, ibu PKK di semua kelurahan. Kemudian, anggaran pembelian armada sampah roda tiga digunakan untuk membayar upah mereka,” tuturnya.
Yayo, sapaan akrab pria ini, juga menjelaskan perlu ada pemilahan sampah, baik organik maupun nonorganik agar dapat dikelola atau didaur ulang dan menjadi salah satu pendapatan sampingan ibu-ibu, pemuda dan remaja.
“Contoh misalnya, sampah organik dikelola jadi kompos yang bisa dijual dan menekan pengeluaran petani. Sedangkan botol aqua bisa dijual sebagai air isi ulang, plastik lainnya pun bikin hiasan rumah, bunga dan kreativitas lainnya yang dapat dijual,” jelasnya.
Selain itu, tambah ia, perlu memasukkan kurikulum kesehatan lingkungan di tingkat sekolah dasar. Siswa-siswi Sekolah Dasar diajarkan tentang hidup sehat dan ramah lingkungan. Kalau ini dilakukan, maka, pengelolaan sampah secara efektif dapat diwujudkan. Karena kesadaran ramah lingkungan dibentuk pada anak di tingkat Sekolah Dasar dan ketika orang dewasa membuang sampah pada sembarangan tempat, maka yang menegurnya adalah anak-anak.
Sementara di sektor pendidikan informal, kata Yahya Alhadad, pihak kelurahan dan organisasi pemuda dapat memanfaatkan mahasiswa untuk mengajarkan pendidikan ramah lingkungan di kelurahan. Misalnya memanfaatkan mahasiswa KKS, KKN dan atau menyurat kepada organisasi kemahasiswaan untuk mengajarkan anak-anak tentang pendidikan lingkungan.
Ketiga, Yahya bilang, sebagai caleg, yang paling penting adalah memahami sumber masalah yang dihadapi masyarakat. Untuk memecahkan suatu masalah dibutuhkan riset serius yang kemudian direkomendasikan kepada pemerintah dan tugas dewan adalah mengawalnya hingga diakomodir.
Apabila pemerintah tidak mengakomodir, maka dewan dapat menggunakan hak vetonya dan tidak mengesahkan APBD.
Keempat, para caleg juga harus melakukan pendidikan politik pada masyarakat demi untuk menciptakan pemilih yang cerdas. Tetapi, selama ini yang saya amati justru para caleg mengganggap masyarakat seperti barang murahan yang dapat dibeli suaranya dengan uang senilai dua ratus ribu rupiah.
Baginya, itu merendahkan martabat manusia karena ketika mereka menduduki kursi kekuasaan, maka yang dilakukan adalah mengembalikan biaya pemilu (modal) dan akhirnya kepentingan masyarakat diabaikan.
“Praktek politik seperti ini sangat berbahaya untuk demokrasi kita. Karena politik dipandang sebagai transaksi dagang dan merusak mental generasi kita ke depannya. Merusak dalam artian bahwa politisi kita mengajarkan generasi berwatak korupsi. Inilah mengapa pentingnya meningkatkan kesadaran, perubahan sikap dan perilaku masyarakat manusianya,” ungkap Yahya Alhadad. (RLS)
—–
Editor: Ghalim Umabaihi