Oleh: Katamsi Ginano
JUMAT, 26 Mei 2023, saya sarapan coto Makassar bersama Yusi Pareanom di Restoran Baku Ipar Bintaro.
Sebelum mulai menyesap kuah kental yang mengepul-ngepul meruapkan bau rempah, saya mengontak pemilik resto. Mengabarkan saya sedang bersiap menghajar orkestrasi daging-babat-lidah sapi yang suka dia iklankan.
Saya dan sejumlah kawan dekat sesungguhnya tak asing dengan masakan dari dapur keluarga Ichan.
Perkara kuliner, Ichan selalu membanggakan istrinya, Dessy, perempuan Manado yang memang piawai mengolah bumbu. Setiap kali ada janjian reriungan di kediaman Hamid Basyaib di Jalan Haji Saidi, Jakarta Selatan, menu favorit yang sedapat mungkin harus dia tenteng adalah uta dada cakalang pedas.
Seingat saya, seberapa banyakpun uta dada yang dibawa Ichan selalu dengan segera tandas. Percakapan yang merentang dari politik-ekonomi-sosial-kenegaraan kelas berat hingga remeh-temeh kesukaan salah satu kawan tur sepeda motor di kampungnya, mengalir bersama desis enak-pedas uta dada.
Rumah di Jalan Haji Saidi jadi semacam tempat kami rutin bertemu. Tuan rumah yang selalu ramah (apa boleh buat, kalaupun dia tidak ramah, siapa peduli) menyambut tetamu dengan tangan terbuka. Syaratnya: jangan jadi orang yang menyebalkan. Hak menyebalkan jadi prerogatif dan hanya milik tuan rumah. Ichan, seingat saya, adalah salah satu yang paling setia menghadirkan diri.
Tidak mengherankan rumah itu nyaris menjadi sekretariat/kantor tidak resmi macam-macam kelompok. Mulai dari gabungan partai politik, penggemar science, penggila kuliner, seniman dan penulis, tukang debat ngalor-ngidul, juga barisan pemimpi yang punya banyak ide tetapi terlalu malas untuk mewujudkan.
Dia kerap jadi penggerak rombongan aneka-rupa itu. Hampir selalu dengan telepon pendek, ”Si, bakudapa torang.” Jika tanpa menyebut tempat, artinya hanya satu: di Haji Saidi.
Hari itu, setelah menandaskan coto panas dan dua ketupat, saya putuskan tak berlama-lama menunggu Ichan. Dia pasti sedang sibuk. Setidaknya demikian yang saya tafsir dari respons terburu-burunya di telepon.
Dia dan saya tahu persis akan ada babak berikut. Diisi uta dada ala Dessy (”Dessy menggunakan resep dari Kakek saya,” katanya, setiap kali) atau kuliner entah, tergantung siapa yang menetapkan tempat mana yang dituju.
***
Saya tidak ingat lagi sejak kapan akrab mengenal Ichan. Tapi samar-samar itu dari bertahun lalu ketika dia kembali ke Palu selepas menamatkan SMA.
Satu hari di masa ketika hidup hanya perlu bertanggung jawab terhadap diri sendiri, saya berada di Palu dan mampir di salah satu stasiun radio. Lalu saya mengenal Ichan dan setelah itu terus berkontak. Atau, lebih tepatnya, dia yang rutin mengontak.
Tentang tabiat menjaga dan menautkan hubungan, Ichan selalu penuh keajaiban.
Entah bagaimana dan dengan cara apa dia selalu menemukan alamat dan nomor telepon saya. Ketika saya merasa sudah lama menghilangkan diri dari lingkaran, pindah ke alamat baru dengan nomor telepon baru, tiba-tiba Ichan mengontak. Hanya sekadar menanyakan kabar.
Dia sendiri? Ichan adalah warga semua kelompok. Hasratnya yang meluap-luap terhadap segala hal, radio, organisasi, khususnya HMI–belakangan KAHMI–, dan (tentu saja) politik, membuat dia adalah sosok transparan dan mudah ditemukan.
Dengan kagum saya mengikuti bagaimana dia dengan cepat terus-menerus beradaptasi dengan tetap menjadi Ichan. Menyelesaikan pendidikan SMA tidak di Sulawesi, kembali ke tanah kelahirannya menginisiasi Radio Nebula yang terus bertahan hingga kini, lalu ke Jakarta lagi, jadi anggota DPD RI, keluar dari politik, dan jadi penggiat akal sehat dan kewarasan sembari merintis bisnis sendiri.
Saya takjub melihat rentang minat dan pergaulannya. Dia terlibat dengan kelompok-kelompok sangat variatif, termasuk lembaga pemikir. Maka bercakap-cakap dengan Ichan adalah menjelajahi lapangan yang sangat luas, yang batasnya hanya capek dan ngantuk.
Bersama Hamid Basyaib, sejak periode dia di DPD RI, Ichan adalah salah satu (dari sedikit orang) yang berjasa menarik saya dari sumur kesibukan profesionalis korporasi, kembali ke dunia yang sangat berwarna. Mereka berdua, dengan cara dan gaya masing-masing, menautkan saya dengan banyak kawan dan kontak yang sempat terabaikan.
Perkara luas dan berwarnanya pergaulan Ichan disimpul dengan sederhana oleh Hamid, ”Dia membuat atau turut memoderatori tak kurang dari 60 grup WA.” Saya ikut dalam kurang dari 10 grup itu.
Kedekatan Hamid dan Ichan menempatkan mereka seperti Thomson dan Thompson (Dupont and Dupond) dalam versi cerdas dan sangat dinamis.
Dengan mereka saya dibawa pulang ”ke rumah”, termasuk ke kelompok kecil yang dengan asal-asalan diberi nama GKS (sekumpulan orang yang piawai mencari alasan untuk bisa kerap bertemu dan bertukar cerita sambil makan-minum enak), dimana Ichan disapa ”Don”. Dia tidak pernah menolak atau mengiyakan nick name itu, tapi dengan sopan selalu menyatakan, ”Kita tegak lurus dengan Ka’ Ucha, menaati Ibu TRU, dan mengamini kebijaksanaan Pak Dubes.”
Ka’ Ucha adalah Bursah Zarnubi; Tatat Rahmita Utami adalah Bunda TRU; dan Pak Dubes tak lain Rizal Sukma.
Ichan orang baik, moderat, santun, kaya ide, dan pekerja keras. Kelemahannya adalah, dengan ledakan pikiran dan kreativitas menggebu, dia impulsif dan mudah meloncat dari satu ide ke ide yang lain. Belakangan saya memahami, dia bersikukuh mengkhidmati radio dan politik (lebih tinggi dari praktis) karena hanya di dua ranah inilah ide-idenya mampu diringkus dalam paket ringkas dan segera berdampak.
Dalam banyak hal Ichan bukan orang yang sabar, terutama pada ketidakpahaman dan segala sesuatu yang dia anggap ”bodoh”. Sebaliknya, dalam pertemanan dan hubungan dengan siapapun, kesabaran dan ketelatenannya sungguh mengundang decak. Dia mampu dengan ikhlas dan tulus memahami setiap kawan dan orang yang dia kenal.
Sepanjangan ingatan yang mampu saya gali, saya tidak pernah mendengar dia membicarakan seseorang dengan cara yang buruk. Dia selalu punya pemahfuman luas terhadap baik-buruk seseorang tanpa menciderai pertemanan. ” So bagitu dia. Pahami dan terima saja.” Selalu demikian komentarnya (dan saya tahu itu tulus) ketika ada topik yang menyinggung seseorang.
Pada Ichan saya belajar ilmu ikhlas dan kelapangan hati dalam pertemanan dan hubungan dengan manusia.
***
Jumat, 21 Juli 2023, saya seharusnya bergabung menikmati sajian Aceh otentik di Warung Koetaradja. Tapi hari itu saya masih ribuan kilometer dari Jakarta.
Besoknya, saya mendapat kabar bahwa Ichan yang datang ba’da magrib hanya duduk sebentar, keluar, dan tidak bergabung kembali. Rupanya dia keluar, tidur di mobil, dan akhirnya diantar pulang oleh kawan yang menyusul mengecek dia.
Ichan, sebagaimana kebanyakan aktivis dan orang pintar, punya kekeraskepalaan dan pengabaian terhadap hal-hal yang dianggap remeh. Dan celakanya, gangguan kesehatan buat dia hal minor belaka. Remeh-temeh yang cukup dipikul sambil cengengesan.
Saya tahu kesehatannya kerap diganggu flu. Hanya flu. Sinus yang dia idap bertahun-tahun membuat Ichan mudah meler dan cenderung menjauhi ruangan yang AC-nya terlampau dingin. Termasuk di dalam mobil.
Permusuhannya dengan suhu dingin dulu membuat dia hampir identik dengan jaket. Belakangan, ketika berat badannya terus meningkat, saya kian jarang melihat Ichan mengenakan jaket. Tampaknya tambahan berat badan yang hitungan kilogramnya lebih dari 10 jari tangan cukup mendamaikan dia dengan udara dingin.
Yang tidak berubah adalah kombinasi gaya hidup berbahaya: begadang, merokok, makan enak, dan malas olah raga. Jangan menyingung perkara ini, karena dia hanya akan mendengus sembari mengusap-ngusap perutnya. Case close.
***
Minggu, 30 Juli 2023, saya sedang menyaksikan Yusi Pareanom membahas buku terbarunya di Rumah Cempaka, Depok, ketika kabar itu datang. Waktunya, pukul 11.39 WIB. Selang dua menit, Hamid Basyaib mengkonfirmasi kebenaran warta yang membuat saya gemetar dan berjenak-jenak hanya menatap jalanan di kejauhan.
Bertahun-tahun bekerja di korporasi dengan operasi bisnis berisiko tinggi membuat saya terbiasa tenang menghadapi krisis dan peristiwa-peristiwa tak terduga. Tidak kali ini. Seluruh ketenangan dan kalkulasi akal sehat yang dipelajari dan dipraktekkan sehari-hari seketika buyar.
Satu-satunya yang terpikirkan adalah segera menuju Jalan Kuricang XIX.
Saya tiba ketika rumah Ichan sudah dipenuhi orang. Sebagian besar saya kenal dan banyak yang tidak. Yang saya tahu, mereka adalah orang-orang yang mengenal dekat Ichan, yang dengan spontan saling mengecek apa yang dapat dilakukan.
Sepanjang sore itu saya bergabung dengan sekelompok kecil yang setidaknya lebih 10 tahun terakhir berada di sekitar dan bergaul akrab dengan Ichan. Saya menyerukkan diri ke dalam kerumunan yang tampak santai dan tabah; tapi sungguh (terutama) saya–juga beberapa yang berdiri bersama, yang pengakuannya saya dengar kemudian–tak cukup punya nyali mengakui ada yang mendadak hilang. Seperti kembang yang kemarin mekar dan mendadak ditebas.
Dengan kepala kosong saya melihat orang-orang datang dan pergi. Masih tetap dengan pikiran yang mengembara, bersama beberapa orang mendahului ke Tanah Kusir, menyuai tanah basah yang sedang digali, dan sekali lagi menyaksikan satu per satu orang-orang berdatangan.
Bahkan saat kepergiannya Ichan masih mengumpulkan begitu banyak orang, dari berbagai latar–sebagian besar sosok dan nama penting di negeri ini. Yang setia menunggu hingga tanah merah menjadi gundukan, malam menua, lalu satu per satu beranjak nyaris tanpa suara.
Saya beriringan pulang dengan Hamid Basyaib yang sebelumnya perlahan menjauh dari kerumunan ketika tanah galian mulai dikembalikan ke lubangnya bersama sempurnanya gelap menutup langit Jakarta.
Sepanjang jalan dari Tanah Kusir ke Sentul, saya merasa dunia tiba-tiba sangat hening dan sepi.
***
Karib kami, Muhammad Ichsan Loulembah, berpulang di usia 57 tahun, Minggu 30 Juli 2023.
Dia pergi, tanpa menyampaikan pamit, dan tidak akan kembali. Namun, saya tahu persis, di tiap pertemuan di antara kawan-kawannya yang sudah dan tak henti merindukan dia, selalu ada kursi dan tempat kosong untuk Ichan.
Di kursi kosong itu, besok-lusa dan selamanya, saya berharap dia ada, tersenyum, dan melambaikan tangan. Dia Ichan, sahabat dan saudara yang saya kenal.***