Kemerdekaan dan Bayang-Bayang Pemekaran: Tanggapan atas Wacana DOB Sofifi

Foto Penulis

Oleh: Richard Ibrahim*

 

SEMARAK Dirgahayu ke-80 Republik Indonesia di Ternate seperti pesta yang tak berhenti. Di sepanjang jalan, bendera merah putih berkibar berbarengan dengan derap langkah pasukan paski, baik yang lomba maupun gladi bersih. Pasukan TNI dan Polisi dengan seragam lengkap tampak hilir mudik mengatur lalu lintas dan keamanan.

Di gang-gang tiap kompleks dan halaman sekolah, suara tawa dan sorak sorai mengikuti lomba balap karung, mengaitkan keranjang, estafet bola pingpong dan sejenisnya, menggema berpadu ria. Di pusat kota, keramaian bertambah dengan para pedagang yang menjajakan bendera merah putih, umbul-umbul dan pita perayaan.

Senada dengan itu, perdebatan tentang masa depan Maluku Utara (Malut) masih terus bergema. Sejak satu bulan terakhir, wacana tentang pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Sofifi memantik perdebatan terutama di media sosial seperti Facebook. Ada yang berkomentar panjang lewat status, ada yang hanya berceloteh ringan penuh tawa, ada pula yang menanggapi dengan serius. Status Facebook, opini hingga esai mengalir bagai mata lomba Agustusan. Semua bermula dari tulisan Abang Asghar Saleh “Tidore dan Titik Nol” yang ia unggah di halaman Facebook pribadinya pada 20 Juli lalu.

Tulisan tersebut ibarat bendera start sebuah mata lomba, memantik perhatian banyak orang. Tak lama kemudian, dosen Universitas Khairun, Muhammad Tabrani ikut menyodorkan pandangan. Menyusul Saudara M. Ruh memberi tafsir yang khas. Opini dan esai-esai yang lain pun hadir, tersebar di berbagai media online, membentuk semacam arena intelektual yang riuh, tak ubahnya lapangan lomba tarik tambang di bulan Agustus.

Saya hanya menjadikan ketiga penulis di atas sebagai sampel. Bukan semata karena ruang tak cukup untuk menyinggung semua tulisan tentang wacana DOB Sofifi, melainkan juga karena dari merekalah percakapan tentang DOB menemukan simpul awalnya. Ketiga penulis tersebut memperlihatkan dinamika retorika dan argument yang sarat warna.

Baca Juga:  Logika Konyol Merespons Riset

Tulisan Abang Asghar Saleh mengurai narasi historis dan identitas lokal bahwa DOB sebagai bagian dari proyek yang belum selesai, di sisi lain ada Tabrani menyoroti tata kelola dan kapasitas birokrasi lalu menempatkan rasionalitas teknokratis di atas segala pertimbangan emosional, sementara M. Ruh mengambil pendekatan Derrida terhadap motif politik di balik esai Tabrani.

Masing-masing esai tersebut menampilkan argument yang pada permukaannya tampak berbeda, namun semua cenderung memposisikan DOB sebagai problem teknis atau normatif, bukan sebagai konsekuensi kapitalisme periferal daerah.

Dari situlah saya rasa perlu mereka ulang DOB Sofifi lewat tulisan sederhana ini, bukan sekadar mengulang argumen, namun melihat-nya dari pisau analisis ekonomi-politik. Dalam kerangka ekonomi-politik, politik lokal, termasuk DOB, tidak dapat dilepaskan dari basis sosial seperti “siapa menguasai tanah,” “siapa mengakses modal,” “siapa memonopoli distribusi sumber daya,” dan seterusnya. Jika kerangka ini dipakai, maka perdebatan di media sosial perihal DOB Sofifi seperti menonton drama di panggung, tanpa melihat siapa sutradara di balik layar.

Kita membicarakan “apakah Sofifi siap mejadi DOB” tanpa membongkar siapa yang paling diuntungkan seperti kontraktor besar, pengusaha penyedia jasa konstruksi, elit politik yang mengatur tender, atau jaringan keluarga yang memegang izin-izin vital?

Penulis M. Ruh jeli ketika menggunakan pisau Derrida untuk membedah motif politik di balik DOB Sofifi. Dengan dekonstruksi, ia menyikapi wacana resmi (pemerataan pembangunan, dst) yang sebenarnya menyembunyikan kepentingan kuasa elit lokal. Ia menunjukan bahwa setiap narasi besar pembangunan selalu menyimpan celah kontradiksi, retakan makna, dan “yang tak terucapkan.” Namun kelemahannya, dekonstruksi Derrida sejauh ia membongkar lapisan teks dan retorika, kerap berhenti pada level wacana dan gagal menawarkan pijakan material (baca basis sosial) untuk memahami mengapa kontradiksi itu muncul secara historis. Dekonstruksi mengajarkan kita membongkar oposisi biner dan melihat bahwa makna selalu cair dan tidak pernah final.

Baca Juga:  Memotret Jejak Kebangsaan di Pulau Hiri 

Tetapi jika berhenti di sana, kita hanya sibuk membolak-balik kata dan narasi, tanpa menggali apa yang menopang kata-kata tersebut seperti “relasi produksi,” “distribusi surplus,” dan “monopoli akses ke sumber daya.” Dalam kasus wacana DOB Sofifi, pendekatan yang hanya memecah narasi “pembangunan vs kemunduran” tidak akan sampai pada pertanyaan “pembangunan untuk siapa”?

Wacana DOB Sofifi dan Cermin Ekonomi-Politik

Mari kita belajar dari Papua yang memberi cermin yang jernih soal DOB. Sejak 1999, beberapa kabupaten dimekarkan, lalu pada 2008 dan 2012 bertambah. Gelombang terbaru pada 2022 memecah Papua menjadi enam Provinsi: Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pengunungan, Papua Barat Daya. Dari time line tersebut, narasi resmi yang mendorong DOB Papua selalu sama, yakni percepatan pembangunan, pemerataan pelayanan, dan penghargaan terhadap aspirasi rakyat.

Namun, penelitian dan kesaksian lapangan justru menunjukan bahwa dalam banyak kasus, DOB di Papua lebih banyak memperluas jangkauan kekuasaan elit lokal yang dekat dengan Jakarta, memecah basis politik, dan membuka akses eksploitasi sumber daya bagi investor besar.

DOB Papua adalah contoh texbook bagaimana struktur kapitalisme pinggiran bekerja. Negara memfasilitasi fragmentasi administratif bukan semata demi rakyat, tetapi demi mempermudah pengelolaan modal dan kekuasaan di wilayah yang kaya akan sumber daya tapi rawan resistensi.

Data dari LIPI (2009) dan Bappenas (2017) mencatat kemiskinan di banyak DOB Papua tetap di atas 20 persen, jauh melampaui rata-rata nasional. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di sejumlah daerah stagnan, bahkan menurun pada awal pembentukan. Pembangunan infrastruktur memang gencar, tetapi sering tidak berkelanjutan. APD pun kebanyakan bergantung sekitar 90-95 persen pada dana transfer pusat berpotensi menimbulkan kerentanan fiskal serius.

Pada 13 Agustus lalu, di Jawa Tengah, demonstrasi menurunkan Bupati Pati memberi contoh lain tentang rapuhnya legitimasi elit lokal di tengah kekecewaan publik. Pati memang bukan DOB baru, tetapi logika yang sama kerap berlaku ketika elit lebih fokus mengelola kepentingan sendiri, ruang publik akan dipenuhi suara-suara penolakan.

Baca Juga:  Ketika Perempuan di Parlemen Dipandang Sebelah Mata

Pada 15 Januari 2024, Pemkot Tidore dan Polresta Tidore menayangkan teguran tertulis kepada empat perusahaan Galian C di Kali Oba dekat Sofifi: CV MJKT, PT ITK, PT ANG, dan CV SPJ. Tiga di antaranya beroperasi tanpa izin, satu melebihi batas izin yang ada. Padahal wilayah tersebut sudah ditetapkan sebagai zona hijau Kota Sofifi pada 2022 oleh Pemkot Tidore, tetapi perusahaan tetap beraktivitas tanpa sangsi tegas dan proses hukum berjalan lambat (baca haliyora.id, 18/01/2024). Tambahan sorotan juga datang dari wacana rencana tambang emas yang akan beroperasi di Desa Paceda, Kecamatan Oba Tengah, Kota Tidore (baca tandaseru.com, 30/01/2021).

Jadi jika DOB Sofifi disahkan, legitimasi administrasi bisa memperkuat akses terhadap sumber daya alam seperti di Oba tanpa kontrol publik yang memadai. Oleh sebab itu, wacana DOB Sofifi bukan hanya soal pemerintahan lokal yang lebih dekat, tetapi tentang siapa yang mengendalikan rante tambang. Ketika izin tambang ilegal seperti galian C lolos tanpa penegakan hukum tegas, tanda-tanda capture oleh elit lokal dan korporasi sudah terbentang nyata. Potensi DOB bisa jadi pintu masuk baru untuk kapital ekstraktif yang semakin sulit dikendalikan rakyat.

Pelajaran dari Papua, Pati, wacana DOB Sofifi dan sejarah panjang pemekaran di negeri ini mestinya membuat kita lebih waspada bahwa jangan sampai DOB Sofifi menjadi sekadar panggung bagi elit untuk memperbesar kuasa, sementara rakyat hanya menjadi penonton yang sesekali diminta bertepuk tangan. Dalam semangat kemerdekaan yang ke-80 ini, mungkin justru sikap paling patriotik adalah berani bertanya, apakah wacana DOB ini benar-benar untuk rakyat, atau hanya untuk mereka yang sudah berkuasa?!

——

*Penulis merupakan Praktisi K3. Anggota Forum Studi Independensia. Ketua Umum HMI Komisariat FISIP UMMU 2017-2018.

Editor: Ghalim Umabaihi