News  

KPK Didesak Buka Tabir Mafia Tambang di Maluku Utara, Begini Proses WIUP dan IUP

Direktur LBH Limau Tidore, M. Sanusi Taran. Foto: Istimewa

Persoalan izin usaha pertambangan Maluku Utara menjadi sorotan pelbagai pihak. Terutama ketika KPK melakukan OTT mantan Gubernur Maluku Utara AGK, yang dalam prosesnya penyidikannya muncul dugaan Isu Suap Tambang sehingga menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi, praktisi dan pemerhati tambang Maluku Utara.

Masalah tersebut termasuk mendapat sorotan dari LBH Limau Tidore, Maluku Utara. Direktur LBH Limau Tidore, M. Sanusi Taran mengatakan, dari masalah tersebut, membuat publik atau masyarakat perlu tahu tentang proses pertambangan. Terutama tahapannya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

“Dengan begitu, publik bisa kontrol kerja pejabat-kerja pejabat daerah dan negara. Termasuk dapat mengontrol penegak hukum seperti KPK yang saat ini tangani kasus suap surat izin usaha pertambangan di Maluku Utara,” jelas Sanusi, melalui rilis kepada cermat, Rabu, 30 Oktober 2024.

Sanusi menjelaskan, pertambangan dan kewenangannya tidak terlepas dari riwayat atau sejarah regulasi Pemberian Kewenangan Perizinan Pertambangan dari tahun ke tahun, dimulai sejak 1960 saat Indonesische Wijnwet dicabut dan diganti dengan UU No. 37 Prp/1960. Kemudian dicabut dan diganti peraturan khusus tentang pertambangan yaitu UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.

“Ini dalam pelaksanaan dan pengaturan usaha pertambangannya didasarkan atas penggolongan jenis bahan galian. Uuntuk bahan galian a (strategis) kewenangannya pemerintah pusat. Bahan galian c (non-strategis dan non-vital) kewenangannya pemerintah daerah. Sedangkan untuk bahan galian b (vital), tergantung ada atau tidaknya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat atau pelaksanaan penguasaan negara atas bahan galian tersebut,” paparnya.

Istilah izin tambang pada masa ini, kata ia, dikenal dengan “Kuasa Pertambangan”. Karena istilah konsesi sebelumnya dianggap memberikan hak yang terlalu luas dan kuat bagi pemegang konsesi.

“Bahwa pada saat berlakunya UU No. 41/1999 tentang Pemerintah Daerah terjadi pelimpahan wewenang yang luas kepada pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus pertambangan berdasarkan prinsip otonomi”. Ini dengan tujuan agar pemerintah daerah dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pertambangan dengan penerimaan dari pajak, retribusi dan iuran-iuran lainnya,” terangnya.

Baca Juga:  Tingkatkan Pelayanan, Polresta Tidore Luncurkan Program Simantap

Namun kemudian, sambung Sanusi, dirubah dengan UU No 9/2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang meliputi pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah, kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Selanjutnya diperkuat dengan UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang memberi kewenangan yang cukup luas kepada pemerintah daerah baik gubernur maupun bupati/walikota. Ini teknisnya diatur dalam Permen ESDM RI No. 25/2018 tentang pengusahaan pertambangan mineral dan batubara. Kewenangan tersebut berbentuk perizinan yang ditentukan berdasarkan batas-batas wilayah”.

“Sehingga kemudian istilah Kuasa Pertambangan diganti dengan tiga bentuk perizinan yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Teknisnya diatur dalam Permen ESDM RI No. 50/2018,” papar Sanusi.

Namun kemudian berlaku UU No. 3/2020 tentang Perubahan atas UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang teknisnya diatur dalam Permen ESDM RI No. 11 Tahun 2019, tentang Perubahan Kedua Atas Permen ESDM RI No. 25/2018. Di mana kewenangan pemerintah daerah ditarik semua ke pemerintah pusat mulai dari IUP, IPR, IUPK, SIPB, Izin Penugasan, Izin Pengangkutan dan Penjualan, IUJP dan IUP untuk penjualan.

Walaupun semua kewenangan pemerintah daerah ditarik semua dalam perizinan tambang, kata ia, pemerintah daerah masih bisa mengurus perizinan pertambangan apabila pemerintah pusat mendelegasikan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

“Apalagi ketika diberlakukannya UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja. Ini teknisnya diatur dalam Permen ESDM RI No. 17/2020 tentang Perubahan Ketiga atas Permen ESDM RI No. 25/2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Bidang energi dan sumber daya mineral dimasukan ke dalam penyederhanaan perizinan berusaha dengan kemudahan dan persyaratan investasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat,” ungkapnya.

Baca Juga:  Proyek Penataan Kawasan Kuliner di Ternate Masuk Tahap Lelang

Sanusi berharap, masyarakat, pemerhati, praktisi, akademisi, dan LSM, tambang Maluku Utara dapat memahami makna dan arti serta seberapa penting nilai sebuah rekomendasi WIUP dan IUP. Terutama bagi masa depan masyarakat Maluku Utara dengan segala penyalahgunaannya oleh para pemangku kepentingan dalam birokrasi pemerintah daerah (dinas terkait). Karena ini patut diduga diback up oleh para oligarki untuk merampok kekayaan alam Maluku Utara (mafia pertambangan) yang merugikan kita semua

“Hal ini sebagaimana kita ketahui berjalannya proses persidangan Tipikor oleh JPU KPK. Di mana, dalam dakwaannya terdapat adanya dugaan suap pertambangan tentang penerbitan surat rekomendasi atau usulan WIUP. Pada tahun 2021 sebanyak 13 Rekom dan pada tahun 2022 sebanyak 44 rekom dengan total sebanyak 57 Rekomendasi WIUP di Maluku Utara. Karena itu kita perlu melihat urgensinya sebuah penerbitan surat rekomendasi atau usulan WIUP (belum menjadi izin) dengan Keputusan IUP (telah menjadi izin) di Maluku Utara oleh Kementrian ESDM,” katanya.

Sanusi minta Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili proses hukum Tindak Pidana suap tambang agar menseriusi dugaan suap tambang sebagai masa depan masyarakat Maluku Utara. “Karena kalau penyidik KPK dan JPU KPK dapat menemukan adanya dugaan suap pada WIUP yang belum ada nilai perizinannya bagaimana dengan Proses IUP yang sudah berjalan di Maluku Utara,” katanya.

Sementara, Muhlis Ibrahim, menjelaskan proses permohonan usulan WIUP dari kajian teknis dan administrasi sampai pada penerbitan rekomendasi yang berakhir pada Blok Lelang Nasional adalah murni pekerjaan Pemerintah Daerah melalui dinas terkait dan Kementrian ESDM. Selain dapat dibatalkan juga tidak ada ruang intervensi atau melibatkan pihak pemohon yang mengusulkan WIUP sampai pada Hasil Lelang WIUP tersebut. Hal ini Pemohon WIUP juga tidak ada jaminan (garansi) serta kepastian untuk dapat memenangkan lelang WIUP tersebut.

Baca Juga:  Pria asal Loloda Ditemukan Meninggal Dunia di Ternate

“Sehingga Pemohon WIUP yang mendapatkan rekomendasi WIUP dari pemerintah daerah dapat dianggap hanya sebagai bagian dari pihak yang mempromosikan wilayah potensial tambang di daerah. Yang sudah pasti karena rekomendasi WIUP bukan wilayah perizinan atau mendapatkan izin pertambangan, melainkan hanya sekadar mengusulkan wilayah tambang, yang tentunya belum ada nilai atau tidak ada nilai ekonomisnya berdasarkan regulasi yang berlaku saat ini karena hanya sebagai rekomendasi usulan pemerintah daerah terkait dengan WIUP sehingga berbeda halnya bila dibandingkan dengan IUP,” paparnya.

Sedangkan IUP, menurut Muhlis, berdasarkan regulasi UU No. 3/2020 tentang Perubahan atas UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diberikan kepada Pihak (Badan Usaha, Koperasi, BUMD/BUMN dan Perseorangan lainnya). Ini mengikuti proses lelang WIUP dan keluar sebagai Pemenang Lelang WIUP pada Blok Lelang Nasional. Setiap WIUP yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM berdasarkan hasil lelang dapat diterbitkan satu IUP atau beberapa IUP kepada Pihak Pemenang Lelang. Dan ini sudah masuk pada perizinan atau mendapatkan Izin Usaha Pertambangan yang tentunya bernilai tinggi.

“Karena, IUP Mineral Logam itu sendiri sudah pasti memiliki nilai Deposite Ore Mineral Logam dan merupakan salah satu usaha Bonafit Para Oligarki melalui kaki tangan birokrasinya di daerah yang diduga menyalahgunakan kewenangan terhadap SDA daerah yang dimiliki,” tutupnya.

Penulis: Tim cermatEditor: Ghalim Umabaihi