Oleh
Muhammad Tabrani Mutalib
Dosen Universitas Khairun
Conditio praecedens adimpleri debet prius quam sequatur effectus (sesuatu harus dibuat jelas sebelum ada pelaksanaan apapun)
Postulat latin diatas mengandung makna suatu proses hukum harus dibuat jelas terlebih dahulu sebelum dapat dilaksanakan, sebab proses penegakan hukum merupakan usaha yang sulit sehingga pelaksanaan (eksekusi) tidak lain sebagai penghargaan terhadap usaha yang sulit itu (processus legis est gravis vexatio, execution legis coronat opus). Atas dasat itu, eksekusi atau pelaksanaan putusan pengadilan ialah bagian yang sangat penting dari suatu sistem penegakan hukum yang terpadu (integrated justice system).
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai standar aturan main penegakan hukum pidana materil (the rule of the game) mengatur bahwa jaksa merupakan salah satu komponen penting catur wangsa penegak hukum selain hakim, penasihat hukum, dan polisi dalam sistem peradilan pidana (integrated criminal justice system), yang salah satu tugasnya yaitu melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Dengan demikian, pelaksanaan putusan yang dilakukan jaksa selaku eksekutor wajib mematuhi hukum acara pidana (criminal prosedure) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 KUHAP bahwa peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam UU ini. Itulah asas legalitas dalam hukum acara sebagai dasar peradilan pidana di Indonesia. Oleh karena itu, segala upaya penegakan hukum termasuk juga pelaksanaan/eksekusi putusan pengadilan oleh jaksa harus menempuh cara-cara yang baik dan benar berdasarkan norma hukum (the right of due process) sebagaimana bunyi adagium linea recta semper praefertur transversali (jalan yang benar selalu dipilih untuk menyelesaikan perkara).
“Petikan” atau “Salinan” Putusan
Ketentuan Pasal 270 KUHAP tegas mengatur pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa yang untuk itu panitera mengirimkan “salinan putusan” kepadanya. Adapun mengenai waktu pelaksanaannya, ketentuan Pasal 197 ayat (3) KUHAP menyatakan “putusan dilaksanakan dengan segera menurut undang-undang ini”, tanpa penjelasan mengenai arti kata “segera” sehingga apabila Pasal 197 ayat (3) KUHAP dihubungkan dengan Pasal 270 KUHAP, maka kata “segera” berarti segera setelah menerima salinan putusan dari panitera pengadilan. dasar hukum eksekusi jaksa itu juga sejalan dengan Surat Edaran Kejaksaan Agung Nomor B-128/E/3/1995 tentang Tugas dan Tanggung Jawab Jaksa selaku eksekutor Putusan Pengadilan. Untuk kepentingan itu, Panitera pengadilan wajib menyediakan “salinan putusan” paling lambat 14 hari kerja sejak putusan diucapkan hakim kepada jaksa dan terdakwa. Sedangkan “petikan putusan” diberikan kepada terdakwa, penuntut umum dan Rutan/Lapas segera setelah Putusan diucapkan sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perubahan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor Tahun 2010 tentang Penyampaian Salinan dan Petikan Putusan. Dalam ketentuan tersebut, tidak diatur apakah setelah menerima “petikan putusan” Jaksa selaku eksekutor kemudian berwenang mengeksekusi putusan atas dasar petikan.
Maka, dengan tidak terdapatnya norma hukum lebih teknis yang mengatur eksekusi berdasarkan “petikan putusan”, maka perintah eksekusi tetap wajib merujuk ketentuan Pasal 270 KUHAP sesuai asas “hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah” (lex superior derogate legi inferiori) yang secara expressis verbis memberikan pedoman bahwa eksekusi putusan oleh jaksa hanya dapat dilakukan setelah menerima “salinan putusan” dari panitera pengadilan, bukan “petikan putusan” yang hanya berisi extract (sari, kutipan) dari putusan dan juga hanya memuat beberapa komponen dari 12 komponen wajib yang dapat berimplikasi sah-tidaknya suatu putusan pengadilan sebagaimana dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Pengaturan itu tidak sekedar teks tanpa makna belaka, melainkan dirumuskan dengan maksud agar proses pelaksanaan putusan tidak mengandung anasir cacat hukum (illegal) dan dapat menimbulkan masalah dikemudian hari. hal ini terkait dengan perseoalan interpretasi hukum yang tepat sebelum eksekusi dilakukan sesuai dengan adagium hukum bahwa penafsiran harus dibuat sedemikain rupa agar dapat membantu pelaksanaanya (sie interpretandum est ut verba accipiantur cum effectu).
Legalitas Eksekusi
Setiap proses hukum membutuhkan pelaksanaan (favorabiliores sunt executiones aliis processibus quibuscunque) sehingga jaksa selaku eksekutor wajib tunduk dan patuh atas ketentuan criminal prosedure yang berlaku. Bila jaksa dalam melakukan eksekusi terhadap seseorang di luar dari ketentuan KUHAP atau tidak memiliki dasar hukum kuat dari aspek yuridis hukum acara (undue process), maka hal itu sudah pasti akan menimbulkan masalah pelanggaran prinsip due process of law. Mengapa demikian? Karena basis filosofis criminal prosedure yang berlaku universal di dunia ialah adannya perlindungan hukum bagi mereka yang sedang menghadapi suatu proses hukum agar hak-hak hukumnya tetap dijamin oleh alat-alat negara yang mengadilinya, sehingga KUHAP tidak lain adalah suatu cara untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan menghalalkan segala cara.
Namun seringkali dalam praktek, tindakan eksekusi illegal oleh jaksa justru tidak diawasi atau malah dibenarkan secara diam-diam oleh hakim pengawas di pengadilan, padahal kewajiban pengawasan pelaksanaan putusan dilakukan oleh Pengadilan yang mengadili perkara tersebut guna memperoleh kepastian hukum atas pelaksanaan putusan pengadilan telah dilaksanakan sebagaimana mestinya. Untuk itu, Pasal 278 KUHAP tegas mewajibkan jaksa untuk mengirimkan tembusan berita cara pelaksanaan putusan dan panitera mencatatnya dalam resgister pengawasan, agar dapat dilakukan pengawasan.
Bahkan hasil pengawasan wajib dilaporkan oleh hakim pengawas kepada ketua pengadilan secara berkala. Dengan tidak bekerjanya sistem pengawasan dan pengamatan pelakasanaan putusan oleh pengadilan membuktikan bahwa pada faktanya seringkali pengadilan tidak cukup awas, bahkan justru menjadi turut serta ikut melegalkan tindakan illegal yang dilakukan oleh jaksa selaku eksekutor putusan. Dengan demikian, terdapat ungkapan hukum yang menyatakan applicatio est vita regulae (pelaksanaan merupakan kehidupan dari hukum), sehingga jika jaksa dalam menjalankan tugasnya tidak menghidupkan hukum yang tertulis justru malah membunuh kehidupan hukum itu sendiri, maka praktik pelaksanaan putusan yang “ugal-ugalan” seperti itu tidak lain hanyalah miscarriage of justice atau bagian suatu proses peradilan sesat karena tindakan melanggar hukum sejatinya bukanlah penegakan hukum yang adil (unlawful legal action is not legal justice at all). Sekian*