Lofra Togolobe: Sejarah dari Bawah

Foto penulis

Oleh: Wawan Ilyas*

 

Belakangan ini orang-orang sering datang ke Hiri menikmati sunset Baru Ma Adu, dan wisata alam lainnya seperti Batu Lobang di Tomajiko, Air Biru Mujiu Majiko di Faudu, serta melihat kawanan ikan Hiu yang datang menyapa pesisir di Togolobe. Pelan-pelan, Hiri mulai bertransformasi, menjadi “primadona” pariwisata Kota Ternate.

Di samping kegemaran orang-orang datang ke Hiri, ada satu tempat bersejarah di Togolobe yang tentu pada saat ini belumlah dikenal dan tampak tak terurus sama sekali. Tempat itu bernama Lofra, bekas galian pada masa pendudukan Jepang yang difungsikan sebagai ruang penyelamatan.

Lofra berada paling belakang dari tata spasial berikut ini: Fala Soa (rumah adat) Togolobe-Masjid Togolobe-Jere Togolobe-Lofra. Sepetak kawasan itu bila diperhatikan dan diceritakan secara teratur, bisa jadi menambah nuansa terpandang yang bernilai sejarah, religi dan budaya. Maka bukan suatu kekeliruan bila kawasan spasial di Togolobe yang dilarang menyalakan api pada malam hari ini dikonstruksi sebagai situs wisata sejarah, religi dan budaya di Pulau Hiri.

Dalam satu areal itu, menurut sumber lokal yang saya himpun, Jere Togolobe dicurigai berasal dari seorang Muballig Arab bermarga Albaar generasi pertama yang datang berdakwah ke Pulau Hiri, di samping ada Karamat di Kelurahan Dorari Isa sebagai generasi kedua Muballig Albaar ini di Pulau yang sama.

Dua generasi Muballig Arab dari marga yang sama ini tentu mendapat restu dari Sultan Ternate, sebelum mereka akhirnya meninggalkan jejak pengajaran agama di Pulau Hiri. Jere, dapat dijadikan lokus penelitian situs-situs megalitik, jika ingin memahami tahapan sejarah agama (Islam) dari kaca mata ilmu arkeologi maupun geologi.

Masjid Togolobe, sejatinya merupakan rumah ibadah dimana pada tahun 1945 disemayamkannya jenazah seorang pejuang kemerdekaan, korban World War II (Perang Dunia II) bernama Abdul Basir dari Faudu, sebelum dikebumikan secara militer dan adat di Soa Tomajiko.

Dalam situasi itu, Fala Soa, jadi ruang pengamanan Sultan Djabir Sjah oleh pasukan Hulpthroepen (tentara bantuan dari rakyat) ketika mengasingkan beliau dari incaran tentara Jepang. Bahkan, disinggahi para perwira dan kolonel Angkatan Laut Australia, Amerika dan Belanda tahun 1945 ketika menjemput Sultan Ternate.

Sedangkan Lofra, merupakan galian yang berfungsi melindungi warga dari serangan udara pasukan Jepang. Juga, sebagai ruang “persembunyian”.

Tahun 2024, saya berbincang dengan seorang pelaku sejarah 1945 bernama Alija Tata di Pulau Hiri. Nene Bibi, begitu kami menyapa beliau, bercerita dulu warga Ternate khususnya perempuan pernah diperlakukan secara tidak manusiawi. Orang-orang Jepang sengaja membatasi pasokan logistik dan kebutuhan hari-hari seperti baju. Ketika tiba waktunya, kita mendapati banyak sekali perempuan yang lari menyelamatkan diri dalam kondisi memprihatinkan, bahkan kedapatan ada yang berbusana tak lengkap.

Baca Juga:  Internalisasi Nilai Moral Pada Anak

Nene Bibi bilang orang Ternate banyak mengungsikan diri ke Pulau Hiri pada zaman itu. Itulah mengapa di Hiri ada banyak Lofra yang digali, bahkan kebun di ketinggian tertentu jadi tempat bersembunyi. Di Pulau Hiri, Mereka (perempuan Hiri) ikut dibagikan senjata oleh tentara Sekutu untuk berjaga-jaga.

Nene Bibi mengenang kisah-kisah itu penuh khidmat. Di Tomajiko, Ia diajarkan menembak. Dan saat kali pertama menembak, dirinya terjatuh akibat tarikan proyektil yang tak mampu ia tahan. ” Japang ma oras ge fo sengsara ne”, Jajahan Jepang itu menyakitkan, begitu kira-kira kenang Nene Bibi. Beliau merupakan saksi sejarah tersisa yang menghembuskan nafas terakhir pada awal 2025, dalam usia 104 tahun.

Saat ini, hanya tinggal 1 orang pelaku sejarah 1945 yang masih bisa menceritakan kisah ini di Pulau Hiri. Adalah Ilyas Husen yang kini berusia 95 tahun. Meskipun Lofra banyak digali di Pulau Hiri, namun sisa peninggalan yang masih bisa terlihat jelas itu hanya ada di Togolobe.

Pada lintasan kompleksitas sejarah inilah, keberadaan Lofra saat ini di Togolobe butuh “direvitalisasi”, jika bukan disebut harus mendapat “perhatian khusus”, sebagai warisan sejarah, atau cagar budaya yang “hidup” di Hiri.

Hidup bukan karena bekas lubangnya yang kini tertimbun tanah dan ditumbuhi rerumputan hijau. Bukan juga karena ia berada tepat dibelakang rumah ibadah, melainkan keberadaannya yang tak terurus justru menyimpan segudang cerita revolusioner dan memori masa lalu yang spektakuler bahkan sangat sensitif bagi warga Pulau Hiri.

Pada lubang kecil itu, ada identitas sejarah, ada pengabdian dan loyalitas, ada proses kebangsaan dan jati diri bangsa yang terwarisi melalui waktu. Adalah tugas kita menggali pesan-pesan itu secara visioner untuk masa depan generasi yang sadar akan identitas kesejarahan.

Sejarah dari Bawah

Menulis tentang Lofra, sama halnya membuka jalan, membongkar satu peristiwa besar sebagai fase sejarah bangsa yang merubah struktur sosial, struktur ekonomi dan struktur pendidikan orang Maluku Utara. Dari Lofra, kita boleh menjelaskan sejarah menurut cerita dari bawah, yang orang Inggris bilang; history from below, dimana cerita ini hanya tumbuh melalui ingatan dan memori kolektif warga, dan tidak pernah menjadi perhatian utama pelajaran sejarah di bangku-bangku sekolah formal pasca kemerdekaan Republik Indonesia 1945. Apalagi sekolah-sekolah di Kota Ternate.

Gerakan revolusioner warga lokal di kawasan Pasifik hilang dari peta dan historiografi daerah, apalagi secara nasional. Seolah-olah, kita bukan masyarakat yang bersejarah.

Kita harus ambil contoh dari negeri Paman Sam. David Boder, psikolog dari illinois Institute of Technology Chicago, pada tahun 1946 datang ke daratan Eropa untuk menggali memori langsung dari para korban pengungsian, dampak peristiwa Holocaust yang dilakukan rezim Fasisme Jerman. Suatu pembantaian mengerikan terbesar dalam sejarah manusia. Boder ingin merekam kisah pembantaian, tekanan psikologis yang dialami hingga kondisi pasca perang.

Baca Juga:  Pelajaran dari Tomalou

Bagi saya, langkah yang dilakukan Boder adalah tahap utama untuk mengampanyekan betapa pentingnya sejarah lisan ditengah dominasi kerangka berfikir positivisme yang saat itu menghantui Eropa dan Amerika.

Gerakan-gerakan di luar nalar sejarah formal dan kaku ini berlanjut di Inggris. Tahun 1969, dilakukan sebuah konferensi sejarah di Inggris, dan forum tersebut melahirkan satu wadah yang sangat penting pada 1973 (Baca: Graham Smith, Oral History). Pembentukan wadah ini merespon perkembangan penulisan sejarah yang didominasi pendekatan deterministik kearsipan dan dokumen, sementara ada banyak cerita rakyat melalui oral history (sejarah lisan) yang hidup secara sosiologis bersama masyarakat.

Sejak saat itu, sejarah lisan menjadikan cerita dari bawah sebagai bagian penting dalam metode dan pendekatan penulisan sejarah masyarakat di Inggris. Kemajuan akademik dan keterlibatan banyak praktisi dari pelbagai disiplin ilmu ini bisa ditemukan di situs web Institute of Historical Research, University of London, dengan narasi besar “Making History” (membuat Sejarah). Sejarah masyarakat di Inggris tidak lagi sekedar milik para ahli sejarah, namun menjadi tema bersama yang boleh didiskusikan secara bebas dan masuk akal.

Indonesia sendiri merupakan negara bangsa (nation state), yang masyarakatnya tumbuh dengan budaya lisan. Artinya sebagai bahan sejarah, Indonesia menyimpan kelimpahan cerita dari bawah yang sangat banyak untuk dieksplorasi.

Atas dasar itulah, sejak tahun 1950-an, para sejarawan Indonesia pernah bikin gugatan akademik atas penulisan sejarah Indonesia yang ditulis dengan perspektif Eropasentris. Sejarah nasional Indonesia harus ditulis dengan perspektif orang Indonesia, karena kultur kehidupan di Indonesia sangatlah berbeda dengan kultur yang hidup di Eropa. Maka sejarah lisan harus mendapat tempat integral, dari sekedar melibatkan arsip dan dokumen sebagai satu-satunya kebenaran mempelajari sejarah.

Karl Manheim, filsuf dan sosiolog Jerman, meyakinkan kita melalui studi tentang pengetahuan. Bahwa cerita atau istilah bermakna yang muncul dari bawah dan dirawat secara temurun oleh masyarakat, merupakan kanal utama menjelaskan tentang perubahan sejarah, struktur sosial, politik, maupun kebudayaan.

Dan, dari Manheim, kita butuh menyadari, betapa alpanya kita karena selama berpuluh tahun, kita tak menganggap cerita-cerita berarti dari warga lokal sebagai kekayaan intelektual yang bersejarah. Padahal disitulah gerbang memahami dinamika dan perkembangan sejarah bangsa kita.

Kembali ke Lofra

Bahwa, Pulau Hiri, menyimpan cerita rakyat dari pelbagai genre. Cerita mengenai pengungsian dan heroisme Perang Dunia II, mengenai penyiaran Agama Islam dan peradaban baca tulis Al-Qur’an, mengenai polarisasi adat dan budaya, hingga tentang kekuatan maritim yang ikut membantu Sultan Baabullah dalam mengusir Portugis dari bumi Nusantara.

Baca Juga:  PELAJARAN DARI BINTARO

Saya bukan ingin mengintervensi, namun saya merasa penting menyampaikan bersama tulisan ini. Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, sudah seharusnya Lofra Togolobe diperhatikan oleh otoritas tertentu di Kota Ternate, Maluku Utara. Ini pesan konstitusional yang butuh diseriusi dengan melibatkan sepenuhnya warga lokal di Togolobe, Pulau Hiri.

Dalam hal ini, diperlukan gebrakan kawan-kawan pemuda dan pihak pemerintah setempat agar penggalan bukti Perang Dunia II di Pulau Hiri tersebut dapat dirawat, terlindungi, dan menjadikannya sebagai jejak pewarisan sejarah Nusantara dan pengetahuan berdasar sejarah lisan di bumi Moloku Kie Raha.

Masih banyak generasi Pulau Hiri yang saat ini bersekolah formal di pelbagai tingkatan harus mendapat edukasi sejarah lokal seperti ini, dengan Lofra sebagai kanal pembuka. Ini adalah sejarah konsolidasi perang melalui laut dengan kerja sama Angkatan Laut Sekutu dan loyalitas Sultan di kawasan Pasifik.

Saya membayangkan suatu hari ada agenda besar atas dasar kesamaan memori kolektif sejarah Perang Dunia II, dimana ada kerja sama semua pihak, dari pemerintah, kesultanan Ternate, pihak TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Darat, Pihak Kepolisian daerah bersama masyarakat khususnya di Pulau Hiri.

Kita memperingati perjalanan hidup mati para pendahulu dalam agenda Napak Tilas. Sebuah momentum yang memberi kedudukan tinggi pada nilai, identitas dan jati diri bangsa. Kita mengkonsolidasikan agar sejarah lokal ini diajarkan di sekolah-sekolah di Pulau Hiri. Dan harus dikampanyekan oleh pemerintah kecamatan Pulau Hiri disetiap tiba 17 Agustus, peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia.

Saya belum menemukan agenda pemerintah di kecamatan Hiri yang memberi edukasi pada kesadaran sejarah lokal terhadap generasi khususnya di Pulau Hiri. Dalam memperingati hari kemerdekaan, warga mungkin saja bahagia dengan kegiatan yang pernah ada. Terdapat lomba ini dan itu. Bila dicermati, kegiatan tersebut hanya bersifat seremonial dan setelahnya tak ada lagi keberlanjutan agenda yang mengingatkan kita pada bangsa bersejarah.

Tulisan ini bagian protes saya secara konstruktif. Lofra adalah Sejarah dari Bawah di Pulau Hiri yang perlu diketahui generasi seluas-luasnya.

Saya akhiri tulisan ini dengan mengutip sosiolog Maluku Utara, Herman Usman (2007): “Kitalah yang berhak menentukan maju mundurnya daerah ini, bukan siapa-siapa. Karena itu adalah hak kesejarahan kita”.

Selamat Hari Raya Idul Adha 1446 Hijriah. Mohon maaf lahir batin.

——

*Penulis merupakan lelaki lajang yang aktif dalam gerakan sosial di Pulau Hiri