Mafia Minyak Tanah dan Kejahatan Struktural

Penulis, Sarfan Tidore. Foto: Istimewa

Oleh: Sarfan Tidore*

 

Tepat pukul 13.01 WIT saya membuka group watshap dan menemukan sebuah foto dua orang lelaki. Kedua lelaki ini berdiri di atas trotoar, di depan Kepolisian Resort Kepulauan Sula (Polres Sula). Saya cukup kenal dekat dengan satu orang dari kedua lelaki ini. Ia mengenakan kemeja putih, celana hitam, sepatu hitam, di depannya berdiri sebuah pohon mangga dan tangannya memegang sebuah megafon atau pengirim suara.

Rasman Buamona namanya. Sapaan akrabnya bang Mendes. Dari ekspresi wajahnya, kelihatannya Ia (Mendes) sedang mengirim suara protes, mengirim kata-kata kritis atas kritiknya terhadap problem sosial agar setidaknya dapat mengetuk nalar publik yang tengah hanyut dalam bayang gelap kekuasaan yang ternoda.

Seorangnya lagi mengenakan kemeja kotak-kotak, topi hitam, celana jeans hitam dan kedua tangannya memegang sebuah poster bersegi empat berwarna putih bertuliskan: LAWAN MAFIA MINYAK TANAH. Kalimat tersebut terdapat sebuah kata yang cukup mengusik nalar saya, yaitu kata MAFIA menggunakan warna merah. Warna merah bagi saya adalah sebuah peringatan, penegasan, resistensi bahwa saat ini ada jaringan bisnis mafia sedang menggurita di Kabupaten Sula.

Sedangkan kata MINYAK TANAH (berwarna hitam) dan dilingkari warna merah. Artinya, kondisi distribusi minyak tanah di sana lagi bermasalah. Sedang terjadi kelangkaan minyak tanah di sana. Ada kesulitan, ada jeritan, ada penderitaan cukup mendalam yang di alami oleh masyarakat kecil—petani dan nelayan di pedesaan.

Bisa dibayangkan bagaimana rasanya para nelayan yang melaut, lalu ketika kembali ke rumah dengan perut kosong dan di saat bersamaan kompor mereka kehabisan minyak tanah. Begitu dengan petani, bekerja seharian di lahan kebun, memanjat kelapa dan pada saat di rumah mengalami nasib yang sama—kehabisan minyak tanah dan tak ada makanan.

Baca Juga:  Sahril dan Lakon Jurnalis Jihad

Kebiasaan minum teh atau menyeruput kopi hitam pekat di sore hari sembari menarik rokok dan menanti tenggelamnya senja setelah seharian berkelahi dengan rutinitas di laut maupun di lahan kebun dibatalkan oleh ketiadaan minyak tanah. Ada perasaan marah, geram dan luapan emosi bisa saja menimbulkan “konflik” rumah tangga. Serangkaian peristiwa yang jarang terpikirkan tapi dampak buruknya tak bisa dihindari.

Desember selalu saja menjadi bulan “maut” bagi masyarakat. Ada patologi yang sedang menyebar. Penyakit ini dibebankan pada pundak masyarakat kecil. Ketika penyakit ini (kelangkaan minyak tanah) menyerang, masyarakat dijauhi makanan. Di tengah situasi yang begitu mencekik kehidupan masyarakat, suara-suara kritis dari kampus, mahasiswa, aktivis macet di bawah kekuasaan yang dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap pelaku kejahatan (mafia minyak tanah).

Bahkan institusi hukum yang tugasnya menindak tegas para mafia tersebut pun tumpul, lemah sahwat, impoten, tak berdaya. Subcomandante Marcos (2003:151) mengatakan dalam kekuasaan, cermin memantulkan bayangan ganda: apa yang diucapkan dan apa yang dikerjakan. […] Permukaan melapuk dan bernoda. Mereka tak lagi mampu membalikkan kenyataan—nafsu menimbun minyak tanah, menimbun kapital uang sulit dibendungi.

Namun mereka berusaha membuat hal ini terbukti tidak benar; mereka mengontrol dan menundukkannya di bawah kendali kekuatan tersembunyi. Sekarang dengan mudah mereka berupaya membuat bayangan kontradiktif itu tampak “alami”, “jelas”, yang tak usah dipertanyakan lagi.

Namun hal ini tidak berlaku bagi seorang Rasman Buamona, ketika publik bungkam, melalui kritik kritisnya ia berupaya membongkar kejahatan Mafia Minyak Tanah yang sedang berlangsung masif.

Dalam sebuah artikelnya bertajuk: Mafia BBM, laman malutpost.com, Rasman Buamona mengungkapkan: ada tiga pangkalan gaib yang mendapatkan jatah 15 ton perbulan. Ada juga pangkalan transit yang diduga menyelundupkan minyak tanah ratusan ton keluar dari Kabupaten Kepulauan Sula. Namun, ada pertanyaannya yang begitu menguras pikiran dan saya berupaya untuk meneropong menggunakan lensa nalar.

Baca Juga:  Mengapa Angka 4 Dihindari dan Dianggap Angka Sial?

Begini bunyi pertanyaannya, apakah PT. AMT Sanana Lestari, Diskoperindag, DPR dan aparat penegak hukum tidak tahu? Omong kosong kalau pihak-pihak ini tidak tahu. Apakah ada oknum-oknum penegak hukum yang terlibat dan bermain? Jawaban atas pertanyaan ini hanya para pelaku Mafia dan penguasa yang tahu, katanya. Pertanyaan tersebut membawa saya pada satu kesimpulan bahwa Mafia Minyak Tanah melibatkan kejahatan struktural. Ada konspirasi Mafia Minyak Tanah dengan penguasa dan oknum-oknum penegak hukum.

Menurut Giddens, kejahatan struktural terjadi sebagai hasil dari kegagalan atau distorsi dalam sistem sosial, ekonomi, dan politik yang menguntungkan beberapa kelompok sementara merugikan kelompok lain atau masyarakat. Ketidaksetaraan ekonomi yang tinggi, ketidakadilan sosial, dan ketimpangan kekuasaan adalah faktor-faktor yang berkontribusi terhadap munculnya kejahatan struktural.

Mafia Minyak Tanah melibatkan kejahatan korporat, ketidakadilan dalam sistem hukum, diskriminasi sistemik terhadap masyarakat kecil dan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pemahaman yang menegaskan bahwa pentingnya memahami dan mengeksplorasi akar penyebabnya.

Dalam rangka mengatasi Mafia Minyak Tanah, Giddens menekankan pentingnya perubahan struktural yang lebih luas.
Dan yang dibutuhkan adalah pendekatan secara holistik. Yaitu perubahan struktural yang melibatkan tindakan untuk mengurangi ketidaksetaraan sosial, mengatasi ketidakadilan, dan memperbaiki sistem yang mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan. Langkah-langkah seperti reformasi kebijakan sosial, penguatan regulasi, peningkatan transparansi, dan partisipasi publik dapat membantu mengurangi Mafia Minyak Tanah terjadi.

—–

*Penulis merupakan pemuda asala Desa Kabau Laut, Kepulauan Sula, yang kini sebagai owner Komune Coffe di Ternate, Maluku Utara.