Oleh: Dealfrit Kaerasa, SH
Saya memulai tulisan ini teringat sebuah nasihat dari seorang senior advokat ketika masih berproses sebelum terjun ke profesi ini. Saat itu ada yang berpendapat sebaiknya kita tetap tinggal di suatu daerah karena banyak kasus hukum yang bisa ditangani. Senior saya menjawab tegas: banyaknya kasus bukan peluang bagi seorang advokat, melainkan tanda gagalnya penegakan hukum dan lemahnya kebijakan publik yang tidak berpihak pada rakyat.
Wibawa hukum tidak hanya ditentukan oleh kekuatan sanksi, tetapi juga oleh legitimasi moral dan kepercayaan publik. Penegak hukum yang bekerja dengan integritas akan memperlihatkan bahwa hukum bukan sekadar teks normatif, melainkan instrumen keadilan yang hidup. Demikian pula, profesi hukum yang menjunjung etika dan profesionalitas mampu menjadi mitra kritis sekaligus pengawal agar hukum tidak dimanipulasi oleh kepentingan sesaat.
Membangun wibawa hukum berarti membangun peradaban hukum yang adil, manusiawi, dan terpercaya. Oleh karena itu, profesi hukum dan aparat penegak hukum harus senantiasa menjaga integritas, meningkatkan kompetensi, dan menegakkan etika profesi. Hanya dengan demikian hukum benar-benar dapat menjadi panglima yang dihormati, bukan sekadar aturan yang ditakuti.
Profesi hukum dan aparat penegak hukum merupakan pilar utama dalam membangun wibawa hukum di tengah masyarakat. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena memiliki peran yang saling melengkapi. Satu sisi, profesi hukum seperti advokat, notaris, maupun akademisi hukum berfungsi memberikan pemahaman, pendampingan, serta kontribusi pemikiran dalam mengawal tegaknya prinsip keadilan. Di sisi lain, aparat penegak hukum—polisi, jaksa, dan hakim—menjadi garda terdepan dalam memastikan aturan ditegakkan dengan adil, transparan, dan tidak pandang bulu.
Dari sudut pandang terpisah, masing-masing profesi memiliki tanggung jawab yang spesifik: advokat membela hak warga, jaksa menuntut demi kepentingan umum, hakim memutus dengan kearifan, dan polisi menjaga ketertiban. Namun secara terpadu, sinergi antar-profesi ini mutlak diperlukan agar proses penegakan hukum berjalan konsisten, selaras, dan memberikan kepastian bagi masyarakat.
Di Indonesia, penegakan hukum lazim dipahami sebagai penerapan undang-undang atau “law enforcement”. Namun, sebagaimana dikemukakan J.A. Sigler (1981), penegakan hukum sejatinya juga mengandung unsur diskresi yang besar dalam penerapannya.
Pada hakikatnya penegakan hukum merupakan penerapan diskresi, di mana keputusan tidak semata-mata tunduk pada teks undang-undang, melainkan juga pada pertimbangan etika dan kebijaksanaan. Hukum pidana pada praktiknya hanya dapat digunakan secara selektif karena penanggulangan kejahatan menuntut waktu, tenaga, dan sumber daya besar.
Oleh sebab itu, hukum pidana tidak mungkin berdiri sendiri; perlu dukungan pendekatan sosial, moral, dan kelembagaan lain agar tujuan hidup bermasyarakat dapat terjaga.
Penegakan hukum pada dasarnya adalah pelaksanaan kekuasaan yang bersumber dari hukum itu sendiri. Kekuasaan tersebut hanya sah bila dijalankan sesuai fungsi hukum, serta disalurkan dan dibatasi oleh aturan hukum agar tidak berubah menjadi penyalahgunaan wewenang. Karena itu, integritas dan tanggung jawab moral penegak hukum menjadi kunci agar hukum benar-benar hadir sebagai pelindung keadilan, bukan sekadar alat kekuasaan.
Peran Etika Dalam Profesi
Etika, sebagai kajian filsafat moral, telah menjadi perhatian sejak zaman Yunani kuno dan tetap relevan hingga kini. Etika bukan hanya wacana akademik, tetapi juga harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam tugas penegak hukum dan profesi hukum. Tanpa etika, hukum kehilangan jiwa dan hanya menjadi aturan kosong.
Aristoteles dikenal sebagai filsuf pertama yang menempatkan etika sebagai cabang filsafat tersendiri. Ia memandang etika sebagai pedoman menuju hidup yang baik, yakni hidup yang bermakna, menenteramkan, dan bermartabat.
Etika profesi adalah sikap etis yang menjadi bagian integral dari kehidupan seorang profesional. Pada akhirnya, hanya pengemban profesi itu sendiri yang paling tahu apakah tindakannya sesuai dengan tuntutan etika profesinya atau tidak.
Pengembangan profesi sering menghadapi dilema etika yang tidak mudah ditentukan. Penyimpangan perilaku dalam menjalankan profesi dapat menimbulkan dampak negatif yang serius bagi para pencari keadilan.
Profesi hukum sendiri merupakan pekerjaan berbasis keahlian teori dan teknis yang berlandaskan kejujuran. Masyarakat sangat bergantung pada peran profesi ini dalam menegakkan keadilan, sehingga setiap pengemban profesi dituntut memenuhi syarat dan etika tertentu agar mampu menjalankan tugas secara profesional dan bertanggung jawab.
Dengan demikian, penegakan hukum dan profesi hukum adalah dua sisi yang tidak terpisahkan. Keduanya harus berjalan seiring: hukum memberikan legitimasi, sementara profesionalisme dan integritas memastikan pelaksanaannya adil dan terpercaya.
Profesi hukum, baik advokat, hakim, jaksa, maupun aparat kepolisian, adalah pekerjaan yang menuntut keahlian sekaligus kejujuran. Masyarakat menggantungkan harapan besar pada mereka dalam menegakkan keadilan. Karena itu, setiap pengemban profesi dituntut memegang teguh kode etik, bukan hanya menguasai keterampilan teknis.
Tak heran bila profesi di bidang hukum selalu menjadi sorotan. Mereka memiliki aturan etika yang tertulis, tetapi sorotan masyarakat semakin tajam ketika ada perilaku yang menyimpang dari nilai-nilai tersebut. Di sinilah pentingnya menjaga profesionalisme, sebab wibawa hukum tidak hanya ditentukan oleh pasal-pasal, melainkan juga oleh moralitas pelaksananya.
____
*Penulis merupakan praktisi hukum di Maluku Utara