Modal, Moral dan Media (Gramsci-2)

Foto penulis

Oleh: Taufiq Fredrik Pasiak*

 

DALAM dua periode—sekitar sepuluh tahun—saya pernah dipercaya menjabat sebagai Ketua Bidang Hubungan Antar Agama dari sebuah institusi agama resmi. Saya juga aktif sebagai pengurus di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan terlibat langsung dalam berbagai forum kerja sama antaragama. Itu memberi saya ruang berharga untuk bergaul, berdialog, dan menyelami cara pikir para tokoh agama dari berbagai latar.

Dari dekat saya menyaksikan kebijaksanaan spiritual yang mengagumkan, tapi juga celah kompromi yang kerap terjadi ketika agama berhadapan dengan kepentingan kekuasaan dan modal.

Dalam sejumlah situasi, saya melihat bagaimana sebagian tokoh agama mengambil peran ambigu—menjadi penerang moral, sekaligus legitimasi simbolik bagi agenda yang sarat kepentingan politik dan ekonomi. Bukan dalam bentuk vulgar, tapi dengan balutan narasi kebaikan, pembangunan, atau istilah seperti “kemaslahatan umat”.

Hemat saya, ini bukan penyimpangan individu belaka, tetapi bagian dari pola sosial yang lebih dalam: koalisi diam-diam antara moralitas, kapital, dan popularitas.

Tulisan ini tidak bermaksud menyederhanakan peran agama atau menggeneralisasi tokoh-tokoh agama, melainkan menggambarkan bagaimana kekuasaan dapat menyusup ke dalam wilayah paling suci sekalipun.

Triumvirat Digital Hegemonik (TDH) adalah istilah yang saya gunakan untuk menjelaskan pola baru dalam cara kekuasaan bekerja di zaman media sosial.

Terinspirasi dari pemikiran Antonio Gramsci—yang menyebut bahwa kekuasaan tak hanya menindas lewat kekuatan, tapi juga membentuk cara orang berpikir dan merasa—saya melihat bahwa di Indonesia, pola itu muncul lewat persekutuan tiga kekuatan besar: pemilik modal, tokoh agama, dan media sosial (termasuk selebritas digital). Mereka tidak membuat koalisi resmi, tapi bergerak dalam alur yang saling memperkuat.

Modal menentukan arah dan kepentingan, moralitas agama memberi pembenaran, dan media sosial menyebarkannya dalam bentuk yang bisa disukai dan dibagikan. Mereka tidak memaksa rakyat dengan ancaman, tapi justru membuat orang percaya, mencintai, bahkan membela sistem yang sebenarnya sedang menindasnya. Menurut saya, inilah bentuk kekuasaan paling halus sekaligus paling dalam: membentuk kesadaran dari dalam pikiran orang.

Pendekatan saya terhadap teori Gramsci tidak berhenti pada struktur sosial, tetapi saya lanjutkan sampai ke struktur neurologis manusia. Dalam Neurosains dan Psikologi Politik, kekuasaan yang berhasil bukan hanya yang menguasai institusi, tetapi yang mampu mengatur cara manusia menafsirkan dunia dan dirinya sendiri. Salah satu wilayah otak yang memainkan peran penting dalam proses ini adalah precuneus, pusat integrasi antara pikiran, identitas diri, dan persepsi sosial.

Baca Juga:  Epistemologi Buruh

Secara anatomis, precuneus terletak di lobus parietal medial dan berfungsi sebagai pusat integrasi informasi yang berkaitan dengan persepsi, ingatan episodik, dan imajinasi mental. Saat seseorang melihat tokoh agama, selebritas, atau pemimpin politik, otaknya tidak sekadar menilai informasi, tetapi juga mencocokkan dengan citra ideal dalam dirinya—siapa yang patut diikuti, siapa yang dianggap tulus, siapa yang mewakili “kita”.

Hemat saya, di sinilah hegemonik itu bekerja secara biologis: bukan lagi hanya pada struktur luar, tapi pada lapisan terdalam identitas dan afeksi. Ini dimensi paling berbahaya dari Triumvirat Digital Hegemonik: ia membentuk kesetiaan bukan dengan paksa, tapi dengan rasa memiliki.

Struktur sosial Indonesia membuat TDH bekerja jauh lebih efektif. Mayoritas masyarakat kita memeluk agama bukan hanya sebagai sistem keyakinan, tapi sebagai identitas sosial yang kuat—dan kerap kali tak bisa diganggu gugat. Dalam banyak kasus, kepercayaan tidak dibangun melalui proses reflektif, melainkan diwariskan secara utuh dan diterima sebagai kebenaran final.

Sebagian besar umat tunduk pada tokoh agama secara doktriner, bahkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan politik dan ekonomi. Ketika seorang pemuka agama bicara, banyak yang tidak mendengar apa yang dikatakan, tetapi “siapa yang bicara”.

Hemat saya, kondisi seperti ini menciptakan celah besar bagi moralitas untuk dibajak oleh kepentingan—dan ketika moralitas sudah dikuasai, maka dua pilar lain dari triumvirat, yaitu modal dan media, akan mengalir dengan mudah tanpa resistensi.

Karena pengaruh agama di Indonesia begitu mendalam, maka keyakinan terhadap tokoh agama tidak berhenti pada kesetiaan intelektual, melainkan sudah masuk ke alam bawah sadar kolektif. Ia bukan lagi sekadar ajaran, tapi menjadi kerangka berpikir dan merasakan—sebuah “realitas batin” yang sulit disentuh oleh logika kritis.

Baca Juga:  Penyaluran DID Bukan Ajang Dagang Politis

Dalam situasi seperti ini, Triumvirat Digital Hegemonik bekerja dengan sangat mudah. Modal tidak perlu menjelaskan diri; cukup bersandar pada restu simbolik dari pemuka agama. Media tidak perlu menggiring opini; cukup mengamplifikasi suara yang dianggap suci.

Jangan heran jika dalam hampir semua persoalan besar di negeri ini—dari politik elektoral hingga kebijakan ekonomi—agama selalu muncul sebagai variabel kunci. Dan lebih dari itu, tokoh agama pun belajar ‘bermain-main’ di ruang tersebut, dengan dalih maslahat, stabilitas, atau bahkan wahyu. Sejauh pengetahuan saya, di titik inilah kita harus mulai menggugat: bukan agamanya, tapi bagaimana kekuasaan menyusup lewat bentuk paling suci dari kepercayaan publik.

Dalam praktiknya, pola kerja TDH bisa kita lihat dengan terang dalam relasi antara politisi dan tokoh agama. Hampir setiap musim politik, para tokoh politik menyambangi pesantren, menghadiri haul ulama, atau mendadak tampil bersarung dan bersalaman dengan para kiai.

Tak jarang, mereka memberikan bantuan besar kepada institusi-institusi keagamaan, membangun asrama, atau menjanjikan dana hibah dalam jumlah fantastis. Beberapa bahkan secara terbuka mengakui memiliki penasihat spiritual, seolah-olah kebijakan publik dan keputusan strategis negara tidak cukup jika tidak dikonsultasikan kepada figur yang dianggap memiliki kedekatan dengan Tuhan.

Hemat saya, ini bukan sekadar strategi politik elektoral. Ini adalah bagian dari pola hegemoni baru—di mana legitimasi tidak lagi datang dari ide, data, atau rekam jejak, melainkan dari afeksi kolektif yang dibentuk lewat simbol-simbol religius. Dalam lanskap ini, pesantren tak hanya menjadi pusat pendidikan, tapi juga situs penting dalam arsitektur kuasa.

Setiap hari, media sosial memperkuat cengkeraman TDH, tanpa terasa, tanpa paksaan. Pesan-pesan agama, politik, dan ekonomi bercampur menjadi satu aliran konten yang terus mengalir ke dalam gawai kita.

Banyak tokoh agama kini aktif memproduksi konten—dari ceramah singkat, tanya-jawab keislaman, sampai video yang dikemas lucu dan menyentuh. Ada yang tampil di TikTok dengan backsound mellow, ada yang berdakwah sambil mereview produk, bahkan ada yang membaca ayat sambil mempromosikan program pemerintah.

Baca Juga:  Hukum Sebagai Konsep Langit Biru

Di tengah semua itu, rasa hormat bercampur hiburan, keyakinan bercampur dagangan, dan agama menjadi bagian dari strategi pemasaran sosial. Selebgram berhijab bicara soal keikhlasan dan investasi, ustaz kondang mengunggah foto bersama tokoh politik menjelang pemilu. Semua ini tampak biasa, tapi hemat saya, di sinilah kekuasaan bekerja paling halus: ia tidak memerintah, tapi mengajak. Tidak memaksa, tapi membuat kita merasa rela.

Konten-konten ini membentuk persepsi dan perasaan kita—seolah yang berkuasa memang layak didukung, karena didampingi oleh orang-orang yang tampak saleh dan tulus. Bagi kelas bawah, legitimasi datang dari kebutuhan hidup dan rasa aman. Bagi kelas menengah, dari rasa eksklusivitas dan moral publik. Triumvirat ini menjangkau keduanya dengan bahasa berbeda, tapi efek yang sama: persetujuan.

Masalahnya, kuasa yang paling berbahaya bukan yang menindas terang-terangan, tapi yang membuat kita percaya sedang dicintai. Ketika modal datang membawa proyek, tokoh agama menyambut dengan doa, dan media mengemasnya jadi cerita inspiratif—maka resistensi nyaris mustahil. Kita seolah ikut bahagia menyambut sesuatu yang mungkin sedang menghapus masa depan kita sendiri.

Triumvirat Digital Hegemonik tidak bekerja lewat senjata atau sensor, tapi lewat keakraban dan kepercayaan. Ia tumbuh di ruang yang tidak kita curigai: di antara kalimat motivasi, di balik senyum penceramah, di tengah video pendek yang kita like dan share tanpa pikir panjang.

Sependek pengetahuan saya, satu-satunya cara menghadapi ini bukan dengan paranoia, tapi dengan keberanian membaca ulang kenyataan. Kita tidak sedang krisis teori, tapi krisis keberanian berpikir. Dan barangkali, tugas kaum intelektual hari ini adalah membantu masyarakat keluar dari pelukan kekuasaan yang terlalu lembut untuk ditolak.

Kita membutuhkan lebih banyak intelektual organik—yang membangun ruang-ruang literasi, percakapan kritis, dan spiritualitas yang membebaskan di tengah derasnya banjir konten.

—–

Penulis merupakan Ilmuwan Otak, Dekan FK UPN Veteran Jakarta