Tambang dan ‘Dunia Hitam’ di Bumi Halmahera

*Oleh Sukarman Kasim

Apa yang bisa diharapkan dari seorang medioker yang hidup dari suapan oligarki?

DUNIA hitam pertambangan dan bencana banjir di bumi Halmahera Tengah akhir-akhir ini menjadi sorotan publik se-antero Maluku Utara. Meneropong Halmahera Tengah dalam kacamata pertambangan, sebuah investasi yang menjadi dapur negara dan pada akhirnya menjadi biang kerok sebuah bencana. Gulungan-gulungan kejahatan itu nyata seperti yang dilansir JATAM (24 Juli 2024) bahwa ada Penaklukan dan Perampokan Halmahera, IWIP sebagai Etalase Kejahatan Strategis  Nasional Negara-Korporasi. 

Masyarakat di lingkar tambang IWIP kini berhadapan dengan dua petaka besar. Ruang hidup mereka di darat dan di laut serta syarat kehidupan yang layak telah dirampas dan diperlakukan sebagai bagian dari medan akumulasi keuangan. Di sisi lain, warga dipaksa menerima konsekuensi dari bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, hingga kehilangan mata pencaharian yang layak bagi kemanusian. Demikian benang merah dari laporan singkat JATAM.

Baca Juga:  Pariwisata dan Budaya Berbasis Ekologi

Dari laporan itu kita bisa belajar bahwa, sejak IWIP meletakkan cakarnya di daratan Halmahera, di situlah cikal bakal kejahatan lingkungan ditancapkan. Banjir di area perusahaan yang menyapu beberapa desa seperti Lokulamo, Woejarna, Kobe, Lelilef dan Kulo jaya di Weda Tengah bukan hanya sekadar bencana, tetapi sebagai sebuah upaya kesengajaan pihak perusahaan yang dapat membongkar tanggul akibat derasnya air hujan. Hal ini dapat membikin genangan air makin menduduki ruang dalam perusahaan, dan warga, lagi-lagi menjadi korban petaka tersebut.

Dinas Sosial mencatat jumlah korban banjir Halmahera Tengah baru-baru ini terdiri dari orang dewasa 159, anak-anak 76, totalnya 235 orang. Nyata adanya dampak dari tangan besi baja ekskavator yang membabakbelur hutan dan pohon di Halmahera lewat izin tangan pemerintah dapat merusak tatanan kehidupan yang meliputi berbagai aspek, baik sumber kehidupan, ekologis, ekonomi, sosial dan kultur masyarakat. Di negara Eropa, sekejam-kejamnya perusahaan, masih bisa rama terhadap lingkungan, beda dengan Indonesia yang jauh dengan perhatian masa depan umat manusia, apalagi PT IWIP.

Kita juga tahu, area Lukolamo sampai dengan Lobe di Halmahera Tengah adalah area rawan banjir sejak dari 2011-2012 sebelum IWIP tancap gas, pertanyaannya ialah, sampai oras ini, adakah drainase dari perusahaan apa tidak? Untuk meminimalisir area rawan banjir sehingga bisa diatasi. Pokok permasalahan bukan hanya sebatas itu, masih ada hal lain yang patut diperhatikan seperti sampah yang juga belum ada TPA dan jalan lintas umum bercampur dengan aktivitas karyawan, padahal sebenarnya di mana perusahan beroperasi jarak jauh perusahan dengan pemukiman warga dengan 1 kilo meter. Ada catatan kelam dalam kajian AMDAL yang tanpa sosialisasi, juga Ruang Tata dan Ruang Wilayah RT/RW yang perlu dibahas bersama.

Baca Juga:  Belas Kasihan dalam Pesta Demokrasi

Perusahaan terbesar yang menjadi proyek nasional dan internasional mestinya dapat menjadi mitra jangka panjang dengan pemerintah guna memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi nasional dan komunitas lokal bukan menjadi biang kerok bencana dan merusak tatanan ekologis masyarakat.

Sebagaimana amanat UU Dasar 1945 pasal 33 ayat 4; Perkonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efeiensi, berkelanjutan, wawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbnagan dan kesatuan ekonomi nasional. Ada penegasan poin wawasan lingkungan yang mestinya dijunjung tinggi sebagai cita cita negara menjaga dan merawat alam. Secara konstitusional pertanyaan diatas wajar dan sah sah saja sesuai dengan amanat UU untuk menciptakan negara kesejahteraan Welfare State bahwa menjadi negara sejahtera adalah visi yang mengiringi kemerdekaan Indonesia.

Selama memasuki beberapa tahun perusahaan raksasa ini beroperasi di Halmahera Tengah, pemerintah Indonesia dan para wakil rakyat seakan menjadikan IWIP alergi kritik tanpa evaluasi, tampak sikap apatis pemerintah dalam sejumlah kasus yang terjadi dalam area perusahaan. Benar adanya kata Markus Haluk, dalam bukunya berjudul Menggugat Freeport, di mana pemerintah membuat kebijakan yang kerap melindungi pihak perusahaan dan mengorbankan rakyatnya. Indonesia hanya membutuhkan kekayaan alam dibanding dengan pengakuan harga diri rakyat Halmahera Tengah. Lebih fatal lagi ketika banjir bandang pada Minggu 21 juli 2024 dan para karyawan sibuk dengan membantu warga sekitar juga menyelamatkan diri, pihak perusahaan malah mengancam para karyawan untuk di-PHK dan dipotong gajinya, padahal sesuai dengan perjanjian bersama antara perusahaan dan karyawan ada cuti emergency yang dapat diakomodir bilamana situasi dan kondisi sedemikian.

Baca Juga:  Menunggu kabinet Ternate Andalan

Sangat ironi, perusahaan tidak mengutamakan keselamatan karyawan malah dapat diperlakukan sedemikian rupa. Potret penggambaran halmahera tengah persis yang dikatakan oleh Roem Topatimasang dalam deskripsi Orang-Orang Kalah, masyarakat kerap menjadi korban tombak bermata trisula yang ditusukkan duet modal dan kekuasaan politik.

Harapan publik, ada evaluasi kritis baik pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten terhadap PT IWIP yang kian mencekik kehidupan masyarakat lingkar tambang. Jangan hanya semata mengurus kepentingan politik disaat momen Pilkada.

Maluku Utara dibaluti oleh korporasi ekstraksi dunia tapi abai dengan kondisi ekologis dan pembangunan sumber daya manusia. Rakyat menantikan sosok gladiator yang menyelamatkan Maluku Utara bukan yang nanti menjual pulau.

Editor: Redaksi