Ismunandar M. Guntur Marsaoly
(Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Yogyakarta)
Istilah pembangunan adalah cerita peras otak untuk akumulasi uang melalui produksi konsumsi terorganisir. Tidak ada satu istilah yang lebih kuat dalam benak orang selain kata ini, yang sepenuh isinya mengenai hasrat menimbun kekayaan sebanyak-banyaknya, bahkan tanpa batas.
Di Pulau Halmahera, dalam 20 tahun terakhir, perburuan mineral itu mengandalkan mesin penghancur pertambangan yang beroperasi dalam skala besar dan serentak, hampir di sekujur tubuh pulau ini serta pulau-pulau kecil lainnya.
Kita bisa menulis dan mengurut satu-persatu dari sekian ribu kasus tentang pemburukan ruang hidup sejak 20 tahun terakhir ini.
Tiga teluk besar, yakni Kao, Buli, dan Weda sebagai lumbung ikan, khusunya ikan teri, yang sejak lama menghidupi orang-orang Maluku Utara kini tengah menanggung beban kerusakan berat ulah kejahatan ekonomi ekstraksi.
Nelayan dari ketiga teluk ini, kini merasakan akibat pahit berupa penurunan hasil tangkapan, sehingga memaksa mereka berlayar ke perairan yang lebih jauh dengan efek peningkatan biaya melaut yang lebih tinggi. Sebab, keselamatan perairan sekitar pesisir di ketiga teluk itu tidak dijamin sama sekali.
Di Teluk Buli dan Kao, kotoran limbah tambang, lalu lintas tongkang, uap batu bara, dan kapal-kapal tambang beserta ribuan liter oli kotor dibuang ke perairan, berpengaruh buruk pada biota laut yang mengakibatkan jumlah tangkapan nelayan menurun drastis.
Di teluk Weda, racun batu bara memicu kenaikan suhu air laut secara tiba-tiba dari kondisi wajar. Melumpuhkan aktivitas nelayan di sana, sebagimana dilaporkan salah satu hasil riset baru-baru ini.
Laporan Badan Pusat Statistik memberi tahu bahwa jumlah nelayan beserta armadanya menurun drastis sejak ekonomi ekstraksi pertambangan mencekik sekujur tubuh Halmahera dan pulau-pulau kecil lainnya.
Di sebelah selatan, ikan-ikan dari perairan Obi mengalami kesulitan untuk dijual. Karena diduga kuat telah terjangkit logam berat dari lumpur tambang yang mengalir ke laut.
Atau mengenai menurunnya produksi beras di Subaim, Halmahera Timur, sejak tahun 2017 hingga kini akibat endapan lumpur tambang di lahan persawahan. Efek buruknya adalah tak sedikit petani padi basah di situ menukar padi dengan kelapa dalam di area persawahan mereka.
Siapa saja bisa mengurut lebih panjang segala pengrusakan atas cadangan pangan, air, dan energi yang juga ikut kolaps.
Kita sedang mengalami satu babak penghancuran sumber penghidupan penting di kepulauan Halmahera, dalam skala ruang dan waktu yang berkali-kali lipat lebih cepat dibandingkan yang disebabkan oleh operasi perusahaan kayu di masa Orde Baru. Karena pertumbuhan ekonomi melalui pembongkaran daging pulau.
Padahal, integrasi menyeluruh pada moda ekonomi uang pasti berujung pada krisis yang seperti kita tahu, sudah menjadi penyakit reguler sistem ekonomi kapitalistik. Karena logika akumulasi modal dan uangnya yang tak berujung.
Pemusnahan dan genosida atas ruang hidup seperti hutan berakibat pada penurunan debit air tanah dan macetnya fungsi kafilerin pohon-pohon bagi penyimpanan air. Itu berarti ancaman kekeringan menjadi lebih besar.
Kini, terjadi peningkatan suhu udara di Maluku Utara, sehingga banyak sungai yang mengalami menurun volume air secara drastis dalam 20 tahun terakhir ini.
Kritis air kini menimpa beberapa wilayah seperti Pulau Gebe, ditambah banjir yang makin sering menghantam wilayah yang dahulu jauh dari bencana semacam ini. Padahal, keselamatan ruang hidup adalah alas paling pertama bagi penghidupan orang-orang yang menghuninya yang sialnya dianggap normal.
Karena diskursus pembangunan yang bekerja, baik secara halus maupun dengan jalan represi. Karena doktrin kewarganegaraan yang telah menguasai alam bawah sadar hampir semua orang.
George Owwell, seorang fisikawan dan ahli ekonomi mengingatkan bahwa ujung jalan dari kerja cari duit semata melalui mantra pembangunan adalah pemburukan kualitas hidup. Suatu wilayah dengan keberlimpahan layanan alam, bisa berubah menjadi yang paling menderita.
Imbas dari krisis, apabila gerak kapital itu mencapai puncaknya yang ditandai oleh jatuhnya nilai uang, karena penimbunan kekayaan telah melampaui batas kewajaran, sebagimana berulang ulang kali terjadi.
Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan perombakan daging pulau memporak-porandakan alam sebagai ruang hidup bersama. Perburuan bahan mineral sekaligus melumpuhkan cadangan pangan, air, dan energi sebagai syarat penghidupan paling asasi.
Di sisi lain, akumulasi uang pasti berujung krisis karena jatuhnya mata uang oleh akibat akumulasi keuntungan yang terkonsentrasi hanya pada sedikit orang. Di mana, pembangunan punya dua sisi yang sama sama buruknya.
Sulit menemukan satu kesadaran bahwa penghargaan dan perlindungan atas air, hutan, lautan, adalah kunci pertama bagi kesuksesan penghidupan yang mengharuskan kegiatan mencari uang mesti dikontrol, supaya ia tetap ada dalam koridor dan batas-batas yang wajar bagi keselamatan bersama.
Dan itu hanya ada jika dipatuhi protokol perlindungan atas alam secara baik dan ketat. Tentu bukan perkara mudah melakukan perbaikan atas alam jika ia telah terlanjur kolaps.
Kita bisa belajar bagaimana stok pangan Nasional menjadi terancam karena petani terus-terusan mengalami gagal panen akibat kekeringan, banjir yang menggenangi persawahan akibat penggundulan hutan, penipisan unsur hara tanah karena pupuk kimia yang melebihi kadar dengan konsekuensi biaya produksi yang jauh lebih banyak.
Pengurus publik di Maluku Utara tahu persis bagaimana besarnya anggaran bagi perbaikan kerusakan sungai akibat operasi perusahaan kayu dan pertambangan. Di mana, biaya yang dikeluarkan perbaikan sungai jauh lebih besar dari pada royalti yang diberikan perusahaan kepada pemerintah.
Mampukah kita memulihkan kerusakan hutan yang dirusak oleh PT IWIP dan lain-lain dengan efek buruknya yang parmanen dan berantai itu?
Meski pemburukan itu makin meluas, banyak orang masih saja percaya bahwa tempat yang mereka huni suatu ketika akan disulap menjadi lebih maju karena tumpukan uang.
Orang masih berhayal seakan-akan pusat-pusat kehancuran itu akan tumbuh menjadi kota modern dengan suasana yang nyaman, bersih, dan seterusnya, seperti halnya kota-kota di Belanda, Tiongkok, dan lain-lain.
Padahal, Tiongkok, Jepang, dan lain-lain adalah negara yang menerapkan protokol perlindungan lingkungan secara ketat, yang memungkinkan mereka dapat membangun kota yang bersih, nyaman, indah, melalui uang yang diperoleh dari perusahaan-perusahaan mereka yang terkenal kotor yang mereka kirim ke negeri-negeri selatan, termasuk Indonesia. IWIP adalah salah satu dari sekian perusahaan yang terkenal paling jorok di Tiongkok.
Dalam skala Nasional, khayalan membangun kota-kota seperti Jakarta dan lain-lain yang bebas polusi dilakukan dengan cara merusak kampung-kampung yang ruang hidupnya bersih dan sehat bagi produksi dan konsumsi kendaraan listrik di kota-kota tersebut.
Maluku Utara khususnya, dan Pulau Halmahera adalah tumbal bagi kenyaman orang-orang di Jakarta, Surabaya, dan kota-kota lain dari polusi udara akibat pemakaian kendaraan berbahan bakar minyak.
Sementara, kampung-kampung seperti Sagea, Gemaf, Lelilef, dan lain-lain di sepanjang pesisir utara Halmahera Tengah, Pulau Obi di Halmahera Selatan, Kecamatan Maba dan Kota Maba di Halmahera Timur, seperti Lelilef, Gemaf, dan lain-lain dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah oleh perusahaan produsen bahan baku mobil listrik seperti PT. IWIP, Antam, Harita, dan lain-lain. Menyusul kampung-kampung lain yang sedang menunggu waktu untuk menjadi kumuh.
Tak dapat dibayangkan nasib dan keadaan Halmahera dan pulau-pulau lainnya di perairan Maluku Utara dalam 20 sampai 30 tahun mendatang, jika pengrusakan atas pulau ini berjalan terus-menerus.
Kalimantan tidak terlalu besar untuk dihancurkan hampir sepenuh fungsi ekologisnya dalam 40 tahun saja. Demikian juga Halmahera, terlalu kecil untuk menanggung beban sosial dan ekologis dari nafsu pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan pertambangan itu.
Suka atau tidak, alam dengan gramatikanya akan memaksa siapa saja untuk mengoreksi dan memperbaiki cara hidupnya.
Sebagimana raksasa ekonomi seperti Cina, kelabakan mengatasi krisis lingkungan yang mendera mereka sejak 2007 hingga 2017, yang membuat beberapa kota penting di negara tersebut ditetapkan sebagai kota tidak layak huni, karena ekstrimnya polusi udara dan kekeringan akibat kerusakan lingkungan disebabkan uap batu bara.
Melukis Ulang Pengaturan Ruang Menyejarah
Kita tidak bisa membaca Kepulauan Maluku seperti bangunan kubus dan kotak yang terpisah satu dengan yang lain. Pada Pulau Halmahera dan laut Maluku Utara yang utuh dan berhubungan itu, penanda administratif menjadi tidak penting.
Mengapa demikian?
Bahwa perombakan hutan dan perusakan daging Halmahera yang terjadi di Halmahera Tengah melalui IWIP merusak perkebunan warga yang ada di Halmahera bagian timur..
Wilayah Topo Blewing yang masuk dalam konsesi PT.IWIP adalah punggung atau hulu dari beberapa sungai besar yang melintasi kampung-kampung di Halmahera Tengah dan Timur. Dua wilayah administratif yang berbeda ini dalam faktanya diikat oleh jejaring ekologi yang sama.
Sungai Kobe di Halmahera Tengah dan sungai Sangaji di Halmaher Timur berhulu pada wilayah yang sama, di mana kedua sungai itu mempunyai kedudukan panting bagi warga, termasuk juga bisa menjadi ancaman serius bagi warga di kedua wilayah administratif yang berbeda.
Kita bisa mendengar tuturan warga di Maba misalnya, mengenai rontoknya perkebunan dan pertanian mereka atau beberapa kampung di Wasilei Selatan yang semakin sering dihantam banjir akibat luapan Sungai Sangaji dan sungai lainnya yang makin hebat akibat penggundulan hutan di wilayah Halmahera Tengah.
Pada alam yang organik dan integral, tidak ada istilah jauh atau dekat sehingga Halmahera dan semua kepulauan yang ada di Maluku Utara khususnya, harus dilihat sebagai satu kesatuan sosial ekologis menyejarah yang saling berhubungan.
Di setiap kepulauan di Indonesia tak terkecuali Halmahera dan pulau-pulau lainnya di perairan Maluku Utara, jejak-jejak pengaturan ruang menyejarah yang berpijak pada filosofi dan praktek kesatuan ontologis antara manusia dan alam di luar batas-batas administratif negara yang formal, masih bisa kita temukan jejaknya dalam praktek yang dilakukan di beberapa tempat, dan masih bisa dituturkan dengan segar di banyak titik yang tersebar di Kepulauan Halmahera.
Di kampung Kalaodi Tidore misalnya, tradisi penghargaan atas alam khususunya air masih dipraktekkan hingga saat ini.
Di lain tempat, tradisi semacam itu masih dilakukan orang per orang. Beberapa tetua kampung di Maba, Halmahera Timur misalnya, dalam waktu-waktu tertentu masih melakukan ritual arwahan di belantara hutan dengan doa-doa yang disari dari ajaran Islam.
Di Halmahera sebelah selatan juga demikian. Pesta panen dan upacara syukuran masih sering dilakukan, yang kesemuanya adalah bentuk penghargaan dan ekspresi rasa syukur atas karunia layanan alam yang diberikan Tuhan yang Maha Esa.
Di Halmahera Timur, para tetua kampung dahulu biasa mendatangi Gunung Wato-wato sambil membawa siri, pinang, dan sesajian lainnya, baik di Wato-wato kecil dan (yang disimbolisasi sebagai perempuan di wilayah Kecamatan Maba) dan Wato-wato besar (yang disimbolisasi dengan laki-laki di wilayah Subaim).
Di gunung dan hulu sungai yang merupakan punggung dari kampung-kampung itu, upacara syukuran dilaksanakan di sana.
Jejak pengaturan ruang menyejarah itu juga terlihat dari pola pengaturan hutan. Orang o hongana manyawa (warga penghuni hutan Halmahera), di mana terdapat pengaturan hutan bagi hunian, bagi wilayah pertanian perorangan dan milik bersama, yang terutama berisi sagu dan hutan lindung yang tak bisa dieksploitasi sesuka hati.
Di Pulau Ternate dan Tidore, kita mengenal tradisi ritual Koloi Kie dan Lufu Kie atau mengelilingi gunung lewat jalur darat dan laut.
Meskipun selama kuasa orde baru hingga saat ini pengaturan ruang yang apik itu disempitkan maknanya menjadi sekadar ritus dan perayaan recemonial karena kuatnya pengaturan ruang yang bersifat administratif-imajiner, melalui pemberangusan atas peran kelembagaan adat, tetap saja jejak pengaturan itu memiliki energi tersendiri yang dalam praktek dan tuturannya sangat ampuh merekatkan kembali ikatan batin antara orang-orang Maluku Utara dengan ruang hidupnya.
Di puncak Kie Matubu dan Kie Besi. Di perairan Teluk Kao. Di dua Gunung Wato-wato besar dan kecil, jangkar Pulau Mobon, dan Pandara, Gunung Difa, Boki Maruru, dan Gua Lilol, ada jere atau makam keramat yang makin memberi arti atas sakralitas alam Halmahera dan anak-anak pulau lainnya, bahwa bagi adat dan agama, alam itu punya nyawa dan berkat (Barakat).
Berkenaankah kita menjadikan itu semua sumber energi dan kunci bagi ikhtiar pencegahan dan pembalikan kritis sosial dan ekologi yang makin mengerdilkan pulau Halmahera dengan anak-anak pulau lainnya di perairan Maluku utara ini, untuk merebut ulang hak menyejarah kita sebagai penanggung jawab sah atas keselamatan pulau-pulau ini bagi usia kehidupan yang lebih panjang.