Negara Boneka dan Pemimpin Masa Depan

Mulkin Apal. Desain: Tim cermat

Oleh: Mulkin Apal*

 

Manusia hidup sangatlah membutuhkan alam sebagai sumber keberlangsungan hidup. Manakala sumber daya alam menipis, maka kehidupan pun tidak seimbang—kualitas dan harapan hidup mengalami kemerosotan.

Sehingga kehidupan manusia baik individu, kelompok masyarakat maupun kehidupan bernegara diperlukan suatu upaya kearifan sikap maupun tindakan etis agar tidak merusak alam. Bahwa alam dan manusia adalah satu kesatuan yang hidup; suatu rantai kehidupan yang menghidupkan.

Kehadiran pertambangan begitu massif di Maluku Utara seperti emas, nikel dan lainnya, sebagai penduduk pribumi, kita perlu menyadari betul akan kekayaan alam yang kita miliki. Artinya bahwa, pengelolaan sumber daya alam tidak semata utamakan aspek ekonomi dan mengabaikan aspek lingkungan serta sosial-budaya. Adalah harapan bersama, menjaga dan melestarikan alam, sama berartinya menjaga keberlangsungan kualitas hidup manusia di bumi.

Kualitas hidup yang menjadi harapan kita kini justru layu di tengah pesatnya pertumbuhan industrialis. Masifnya industri pertambangan di Maluku Utara (daratan Halmahera) adalah contoh nyata menjadi faktor pemicu ketimpangan sosial, ekonomi dan ancaman kerusakan lingkungan.

Kekayaan alam yang dikelola perusahan-perusahan asing ini, hanya akan dapat menguntungkan pihak-pihak tertentu terutama swasta dan pejabat publik, baik—pusat maupun daerah.

Situasi ini sejalan dengan pandangan para kalangan Marxisme bahwa pada suatu periode tertentu ketika kekayaan alam dikuasai oleh kapitalisme maka rakyat akan menjadi budak di negerinya sendiri dan terjun bebas dalam jurang kemiskinan. Hal tersebut disebabkan terjadinya eksploitasi besar-besaran sumber daya alam dan tenaga kerja demi untuk menimbun kapital.

Kendati demikian, pemerintah pusat maupun daerah, bukan malah mengupayakan menekan kemiskinan—bahkan menggunakan regulasi untuk menekan masyarakat lingkar tambang (rakyat kecil) sebagai pemilik tanah.

Baca Juga:  Kekerasan dan Wujud Eksploitasi Jurnalis

Hal ini terlihat nyata bahwa pemerintah justru memperkuat posisi pihak tambang dan melemahkan rakyatnya sendiri. Ini yang disebut Machiavelli, menghalalkan segala cara—termasuk regulasi. UU Cipta Kerja dan UU Minerba adalah ancaman sekaligus tantangan nyata masa depan rakyat Indonesia.

Bahkan masyarakat ditakut-takuti, mendapat perlakuan represif, teror oleh aparat negara jika hak kepemilikan tanah tak mau diambil alih dan bila ada resistensi. Meskipun kekuatan represif dan teror aparat negara menakutkan. Akan tetapi, hal yang jauh lebih menakutkan adalah bencana ekologis. Sebab dampaknya meluas; di semua dimensi kehidupan dan berkepanjangan. Pemerintah negara ini bahkan tak pernah memikirkannya—memikirkan masa depan rakyatnya.

Ambisi Pembangunan kendaraan listrik membuat semakin masifnya proyek pertambangan nikel di Maluku Utara justru menghadirkan ketimpangan. Profesi nelayan turut menjadi tantangan yang dihadapi utamanya akibat industri ekstraktif di Maluku Utara.

Kabupaten Halmahera Timur dalam kurun waktu 2004-2018 terjadi penurunan profesi nelayan dari 8.587 menjadi 3.532 (dikutip laman walhi.or.id). Kerusakan lingkungan di daerah pesisir akibat industri tambang nikel menjadi salah satu faktor penurunan jumlah nelayan di Maluku Utara.

Situasi saat ini, yang sudah terjadi dan bila kita tidak belajar dari pengalaman, Indonesia—Maluku Utara akan bernasib jauh lebih buruk ke depannya. Sumber daya alam dan sektor ekonomi dikuasi, dikendalikan oleh negara asing.

Sementara rakyatnya hidup melarat—hanya dapat merasakan dan menikmati kemiskinan, penderitaan serta kerusakan lingkungan. Dan “kita, Indonesia” akhirnya menjadi “negara boneka”. Gejala ini sudah cukup terasa sekarang, misalnya IWIP menguasai sebagian daratan Halmahera Tengah dan Harita Group di Desa Kawasi, Pulau Obi adalah hasil kerja sama dengan perusahan asal China (Lygend, dikutip laman jatam.org).

Baca Juga:  Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini

Oleh sebab itu, bagi saya, kita perlu belajar dari Kuba, di masa kepemimpinan Fidel Castro. Sebab, Kuba adalah satu dari sekian negara yang getol menentang, menolak hegemoni negara super power seperti Amerika Serikat dan berupaya bangkit dari keterpurukannya. Fidel Castro akhirnya sukses membawa negaranya meraih prestasi terbaik dunia di bidang kesehatan—bahkan mengalahkan Amerika Serikat.

Ini menjadi alasan dan bukti mengapa Castro begitu dicintai—bahkan dipuja oleh rakyat Kuba. Fasilitas dan pelayanan kesehatan terbaik di dunia digambarkan dalam sebuah film dokumenter “Sicko” karya Michael Moore.

Saat berkunjung ke Kuba, Moore dibuat kaget melihat fasilitas layanan kesehatan yang jauh lebih baik dibandingkan negaranya, Amerika Serikat. Seperti dilansir dari berdikari online, kesehatan memang menjadi prioritas kunci pemerintahan Castro.

Pada titik ini, pertanyaan yang perlu diajukan dalam potret kondisi kekinian dan untuk meneropong masa depan adalah, bisakah Indonesia melepaskan diri dari hegemoni Tiongkok? Tentu, dan sudah pasti bukan hal mudah. Saya kira seruan Marx terhadap kaum buruh bisa dijadikan contoh, alarm, pengingat dalam merakit dan membangkitkan ledakan solidaritas sosial di seluruh lapisan masyarakat.

Perangkat-perangkat dasar sebagai basis kekuatan untuk menandingi hegemoni negara super power adalah pranata sosial, budaya dan agama—atas kekuatan resistensi. Dan pemimpin negara adalah aktor utama—harapan besar kita adalah adanya pemimpin yang mampu dan benar-benar lahir dari rahim intelektual organik ala Antonio Gramsci di masa depan seperti misalnya, Sukarno, Fidel Castro, Che Guevara, Mahatma Gandhi dsb. Semoga.

———

*Penulis adalah Pengurus Himpunan Pelajar Mahasiswa Kabau
(HPMK)