Upaya betonisasi di daerah pesisir, serta pembangunan infrastruktur lainnya berbagai wilayah di Maluku Utara, menyita perhatian sejumlah pengamat, praktisi, hingga akademisi.
Berbagai temuan terkait perencanaan pembangunan yang tidak sesuai dengan realisasi kebijakan, menjadikan pembangunan Maluku Utara berbuntut dalam persoalan panjang.
“Hampir semua infrastruktur di Maluku Utara yang berada di pinggir pantai dan jalur-jalur sungai semuanya dibeton. Sudah tidak ada yang alami. Kejadian banjir rob Desember 2021 kemarin, saat musim hujan air meluap, pasti bencana akan terjadi dan selalu mengancam di sekitar kita,” ujar Syamsuddin Genda, Tim Leader Kotaku OSP Malut.
Suatu perencanaan pembangunan infrastruktur, kata Syamsuddin, perlu didasari dengan data lapangan yang akurat dan memiliki validitas. Hal itu bertujuan mengarahkan pembangunan agar tepat sasaran.
Syamsuddin bilang, melalui Kotaku, pihaknya juga sudah melaksanakan perencanaan tersebut, menurutnya sumber awal dari Kotaku adalah data.
“Membangun infrastruktur apapun harus diawali dengan data,” tegasnya, dalam dialog terbuka di Pandopo Bukit Pelangi, Ternate, Sabtu 12 Februari 2022, yang digelar Society Centre dengan tema ‘Menelisik Kualitas Pembangunan Infrastruktur di Maluku Utara’.
Ketidaksesuaian Dokumen
Ketua Komisi III DPRD Maluku Utara, Zulkifli H. Umar, menilai, dalam laju pembangunan Maluku Utara, masih terdapat sejumlah kelemahan yang kerap terjadi.
Tidak adanya sinkronisasi antara dokumen perencanaan baik rencana jangka panjang, menengah hingga rencana yang disusun oleh SKPD, dapat mempengaruhi pembangunan infrastruktur yang dimaksud.
“Faktanya terkadang apa yang termuat di dalam RPJPD tidak sesuai dengan apa yang ada di RPJMD, dan apa yang termuat di dalam RPJMD itu tidak sesuai dengan yang ada di RKPD. Sehingga terkadang dari segi perencanaan terjadi masalah pada aspek kebijakan,” paparnya.
Ia juga menyoal adanya konsultan atau kontraktor tertentu yang memonopoli pekerjaan, dengan banyaknya pekerjaan tersebut, sehingga tidak fokus dalam pelaksanaan pekerjaan, output-nya adalah kualitas dari pekerjaan pembangunan infrastruktur menjadi menurun.
“Kadang-kadang konsultan memonopoli pekerjaan, karena terlalu banyak pekerjaan mengakibatkan terbengkalai pekerjaan yang lain, sehingga terjadi keterlambatan pekerjaan. Kemudian perencanaan yang tidak utuh, terkadang konsultan merencanakan sesuatu, namun tidak turun ke lapangan,” ungkapnya.
Persoalan lain, diutarakan Dr. Aziz Hasyim, Akademisi Unkhair yang menekankan bahwa kualitas pembangunan infrastruktur yang baik harus berdasarkan juga pada perspektif masyarakat sebagai pengguna infrastruktur.
“Pembangunan bisa dilakukan namun bukan menurut prespektif kita tetapi dilihat dari nilai guna, kebermanfaatan dan kebutuhan masyarakat setempat. Bukan soal konstruksinya saja tetapi fungsionalisasinya, kemudian seberapa jauh nilai infrastruktur berdampak pada perubahan sosial ekonomi masyarakat yang lokasi wilayah tempat tinggalnya, ketika infrastruktur itu dibangun,” hematnya.
Dalam dialog yang sama, Peneliti Society Centre, M. Faizal Banapon, menjelaskan pembangunan infrastruktur yang berkualitas membutuhkan pemerataan tidak terpusat pada suatu wilayah, sehingga masyarakatpun tidak terpusat pada wilayah tertentu karena ingin mendapatkan pelayanan dari infrastruktur yang berkualitas.
Menurut dia, kewajiban tersebut menjadi tugas pemerintah, baik di tingkat kabupaten maupun kota, hingga tingkat provinsi dengan wilayahnya masing-masing.
“Dokumen perencanaan pembangunan yang telah dikaji dari berbagai aspek itu perlu dijadikan dasar pemerintah dalam melakukan pembangunan Maluku Utara ke depan, karena dalam dokumen perencanaan wilayah itu sudah dikaji terkait dengan kebutuhan infrastruktur saat ini dan yang akan datang,” pungkas Faizal.