Oleh: Zainuddin M. Arie*
Setelah menunggu selama tiga tahun lebih, saya baru bisa tandang ke kampung ini. Beberapa orang yang pernah berkunjung ke sini membicarakan kenyamanan dan pemandangan menarik saat berada di sini. Hal ini bikin saya penasaran, marah dan kecewa karena tak bisa dan tak diajak ke kampong ini. Lalu ada semacam dendam, bahwa suatu saat nanti saya akan berada di sini. Kampung yang diceritakan oleh mereka sambil menonjolkan kelebihannya agar saya tersakiti, karena belum pernah datang ke sini. Duh!
Kayu Bakar di Salooi
Sore yang tenang, setelah waktu shalat Ashar. Di teras Folila, rumah literasi di Kalaodi ini, saya sedang asyik menikmati hijau punggung Tagafura, sepotong Maitara dan ujung Ternate yang berderet bersela biru laut di sisi barat. Sungguh pemandangan menakjubkan view dari ketinggian Tidore bagian timur ini.
Tak sengaja saya mengarahkan pandangan ke bawah, saya melihat perempuan-perempuan pulang dari kebun. Sejenak pemandangan ini menyita perhatian. Perempuan pulang dari kebun memang suatu rutinitas. Dan mereka menyandang salooi di punggung pun biasa. Bahkan kayu bakar di dalam salooi itu memang tak istimewa. Tapi kesadaran saya akan kayu bakar dan BBM-lah yang menyentak kesadaran itu.

Pulang dari kebun, perempuan-perempuan Kalaodi ini membawa potongan-potongan dahan dan reranting kering dari pohon mati, akan dijadikan kayu bakar, untuk keperluan memasak di dapur dan keperluan lain di dapur.
Menggunakan dahan dan reranting kering yang ditemukan, di hutan memberi cadangan energi bila minyak tanah belum tersedia. Atau bahkan kayu bakar merupakan sumber utama energi tanpa kompor minyak.
Saat emak-emak di Jakarta antre gas LPG pada awal bulan Februari 2025 karena langkanya “gas melon” ini, perempuan-perempuan Kalaodi melangkah santai memanggul “LPG” di salooi mereka, pulang dari hutan tanpa harus antre berjam-jam di bawah terik. Membawa pulang kayu bakar merupakan kerja tetap saat dibutuhkan, bahkan hampir setiap hari ole-ole untuk dapur adalah dahan dan reranting kering.
Sangat natural tanpa harus tunduk kepada kebijakan yang bikin sakit hati atau ulah pedagang gas yang bikin kaum perempuan seolah terjajah padahal negara ini memiliki SDAnya sendiri, dan diamanatkan oleh Undang-Undang agar digunakan demi kemakmuran rakyat.
Tentu saja mereka, terutama ema-emak yang sangat akrab dengan dan dapur bertungku batu, tungku tanah (juga besi) yang membutuhkan kayu bakar, maka dahan dan reranting kering dari hutan, dan pohonan mati, tak bisa dihapus dari daftar kebutuhan dapur sehari-hari.
Hutan Gundul?
Muncul sedikit kecemasan, bahwa tradisi menggunakan kayu bakar akan menyebabkan hutan gundul, karena pohon-pohon ditebang untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar. Pada kenyataannya, emak-emak atau masyarakat kaum agraris ini tidak sembarangan menebang pohon yang masih muda/hidup dan apalagi produktif. Mereka memiliki sumpah (sasi) tertentu yang melarang menebang hutan secara sembarangan. Boboso (larangan/pantangan) ini berlaku secara turun temurun dan tak boleh dilanggar karena akan berlaku sangsi adat, yang diterapkan dan diberlakukan. Larangan “sasi” dan atau “boboso” ini telah menjadi benteng bagi pelestarian hutan dan lingkungan sehingga tanah-tanah warisan para tetua, moyang dan leluhur tetap lestari dan berdampak sangat menguntungkan bagi kehidupan dari generasi ke generasi.
Masyarakat pun memiliki kecerdasan dan kebiasaan kultural dalam memenuhi kebutuhan kayu bakar dalam jumlah lebih saat dibutuhkan. Biasanya mereka memilih pohon yang sudah tak produkstif. Misalnya pada masyarakat petani kelapa. Dalam memenuhi kebutuhan kayu bakar, mereka akan menyeleksi pohon-pohon kelapa yang tidak lagi produktif yang buahnya kurang dan buahnya berukuran kecil, akan sulit dipanjat lagi karena terlalu tinggi dalam usia pohon yang sangat tua juga agar pohon tak roboh oleh terpaan angin dan dikhawatirkan memakan korban. Menebang pohon yang sudah terlalu tua akan memberi ruang untuk penanaman pohon kelapa pengganti. Begitulah kearifan mereka – yang cuma tamatan SD atau SMP – dalam melestarikan lingkungan alam jauh berbeda dengan kita yang bertimbun gelar tapi sangat kotor dan busuk dalam perilaku perusakan lingkungan dan alam.
Tentu hal ini sangat kontras dengan penebangan dan pembongkaran hutan yang sangat destruktif demi memburu butiran emas dan atau tetesan sumber-sumber minyak bumi. Bagi daerah-daerah yang pernah merasakan masa-masa aktifnya industry perkayuan di masa lalu, tentu mereka tak lupa akan bencana banjir yang menimpa kampong mereka setelah sekian tahun kemudian. Suatu penderitaan yang terjadi setelah industri kayu hengkang.
Di kelurahan yang terletak pada ketinggian 700 mdpl ini, dapur-dapur pun sudah menggunakan kompor minyak tanah bahkan kompor gas pun telah digunakan, namun dalam penggunaan BBM, mereka lebih hemat karena dicadangkan oleh kayu bakar dari hutan. Artinya hutan tak bisa dipisahkan dari hidup mereka yang agraris dan natural. Relasi manusia dengan hutan (baca:alam) inilah yang mentradisikan penghormatan dan pengkhidmatan pada alam. Suatu akhlak yang menyebabkan perilaku “menjaga alam, alam menjaga”
Kayu bakar ada karena hutan terjaga, karena alam lestari.
Demikianlah alam memberi manusia, karena manusia merawatnya; ini filosofi dan tradisi Orang Kalaodi, Tidore Timur, yang mereka jaga dan diekspresikan dalam upacara Pacagoya, suatu upacara syukur atas nikmat Allah SWT yang telah ditradisikan sejak para tetua Kalaodi.
Mari, baronda ke Kalaodi!
Kalaodi, 8 Februari 2025
—
*Penulis adalah budayawan, bermukim di Kota Ternate, Maluku Utara.