Persiter, Antara Kebanggaan dan Pemalsuan

Foto: Haryanto Teng

Kegagalan terjadi setiap kali. Kegalalan bisa terjadi setiap hari. Yang membuat Anda menjadi lebih baik adalah bagaimana Anda bereaksi terhadap kegagalan itu.” Mia Hamm, Pesepakbola Putri asal Amerika Serikat dan Pemain Terbaik FIFA 2001, 2002.

Kegagalan menjadi sangat pasti, namun apa yang lebih menyakitkan ketimbang mengetahui sebuah capaian dibungkus oleh kecurangan?

Pertanyaan itu melintas di kepala saya ketika mengetahui tim yang sudah saya rindukan itu harus gagal berlaga di partai final Piala Soeratin U-17 Sabtu besok. Ya, Persiter U-17 yang sebelumnya begitu digdaya pada kompetisi usia muda itu digugat oleh dua tim yang pernah dikalahkan Laskar Kie Raha di babak sebelumnya, yakni Tiga Naga dan Persita Tangerang.

Gugatan tersebut menyangkut tindakan manajemen Persiter yang kedapatan melakukan pelanggaran yakni memainkan pemain yang tidak sesuai dengan data yang didaftarkan. Ada empat nama yang diindikasikan melakukan pemalsuan identitas, namun dari keempat nama itu dua nama yang sudah terbukti tak valid.

Berbagai komentar merespons terkait kasus tersebut.

Alih-alih mempertanyakan kinerja manajemen Persiter, para pendukung yang tampaknya tak bisa menerima kenyataan ini, malah sibuk memaki oknum yang dicurigai melaporkan kesalahan manajemen tersebut. Nampaknya, ada yang salah dengan penalaran kita.

Saya yakin ada banyak sekali orang yang merindukan kiprah Persiter di kompetisi Nasional. Menunggu akhir pekan untuk sama-sama melakukan parade menuju stadion Gelora Kie Raha, yang dulu lazim kita saksikan. Kuning-hijau menghiasi jalanan Ternate, perbincangan ihwal kehebatan Rahmat Rivai, kerasnya pertahanan Irwan M Zen, serta lincahnya kaki-kaki para penguasa lapangan tengah seperti Gantar Kan ataupun John Takpor.

Kita punya ingatan yang sama, kita punya kenangan yang sama dan juga berarti punya harapan yang sama-sama kita rawat dari tahun ke tahun sejak 2008 silam. Saya seringkali menulis tentang betapa Persiter menyimpan banyak sekali fragmen dalam hidup, ketika dengan rela menempel kuping pada radio agar bisa mengikuti laporan pandangan mata RRI tatkala Persiter melakukan laga tandang, atau saat-saat mengumpulkan uang jajan agar nanti di akhir pekan bisa dipakai untuk bernyanyi bersama para Superman di tribun timur.

Baca Juga:  Hotel Neraca Golden

Kita, para pendukung Persiter, punya sebuah ingatan kolektif yang mungkin secara diam-diam kita rawat, secara diam-diam kita siram dengan harapan-harapan yang kian hari kian minim, untuk kemudian kita semai dengan nyanyian serta dukungan yang sama seperti satu dekade lalu. Kala berita dari Maluku Utara tidak melulu perang, tidak melulu perkelahian, tapi juga tentang kebanggaan kolektif yang bisa kita ceritakan kelak pada generasi akan datang.

Persiter seharusnya bangkit dengan fragmen-fragmen kebanggaan itu, bukan menikung aturan lantas kemudian bersembunyi di balik ketiak intrik politik tai kucing.

Saya sadar, sepakbola tidak bisa lepas dari politik, sebagaimanapun kampanye Kick Politic Out Of Football terus didengungkan politik tetap bersemayam dalam sepakbola. Seperti orba mengatur sepakbola dengan tangan-tangan militernya, seperti kedekatan Otto Iskandar Dinata dan M.H Thamrin dengan Persib dan Persija, seperti juga Berlusconi dengan AC. Milan-nya. Itu semua bukti bahwa memisahkan jauh-jauh sepakbola dengan politik tak ubahnya menabur garam di lepas pantai Batang Dua. Sia-sia.

Yang perlu kita lakukan adalah bagaimana mengawasi agar tangan-tangan kotor politik tidak bisa leluasa mengatur-ngatur sepakbola seenaknya, dan di situlah peran suporter. Sudah tidak zamannya lagi budaya suporter yang hanya datang nonton lantas diam ketika ada pelanggaran.

Pada 2008 lalu Persiter hilang dengan menyisahkan kebanggaan, seharusnya ia bangkit pun dengan kebanggaan itu. Nama Persiter terlalu istimewa di setiap dada pendukungnya, jangan rusak dengan tindakan yang memalukan.

Para pendukung yang murka karena mengetahui adanya ‘orang dalam’ yang membocorkan kesalahan manajemen adalah mereka yang terlalu takut menerima kenyataan. Buruk rupa cermin dibelah.

Berulang kali saya tulis tentang persoalan sepakbola di negeri ini adalah betapa pewajaran bekerja secara serampangan. Setiap kali Timnas menerima kekalahan selalu muncul narasi pewajaran, entah itu wajar karena para pemain kelelahan, wajar karena kurangnya waktu TC (training center), atau wajar karena usia pemain yang masih muda. Kita seakan-akan terperangkap dalam kerangkeng pewajaran, yang alhasil berdampak pada tumpulnya desakan kepada federasi.

Hal ini pun yang terjadi pada kasus Persiter U-17. Lihat saja di media sosial, banyak sekali yang menganggap pemalsuan identitas itu sejatinya sesuatu yang wajar dan juga menganggap hal itu juga dilakukan oleh tim-tim lain hanya saja mereka lebih rapi, Persiter saja yang ‘soe’ karena dilaporkan ‘orang dalam’.

Baca Juga:  Hotel Forum

Narasi semacam ini bagi saya sangat membahayakan. Walaupun misalnya benar pelanggaran semacam itu dilakukan oleh tim lain apakah lantas menjadikan Persiter tidak bersalah? Jelas tidak. Apakah misalnya pelanggaran ini tidak terbongkar lantas dengan begitu manajemen tidak melakukan kesalahan? Jelas tidak. Sebuah pelanggaran tetaplah pelanggaran, ia tidak menguap ketika tidak ketahuan.

Sebagai daerah yang masih memiliki tim tradisional di tengah terpaan klub kloningan di liga Indonesia kita patut bersyukur, jikan dibandingkan dengan klub-klub macam Bhayangkara FC atau PS TNI yang tak punya akar sejarah yang kuat, ini juga berlaku untuk tim-tim seperti Borneo FC dkk.

Tak pantas jika tim dengan akar sejarah puluhan tahun harus buruk namanya hanya karena urusan pemalsuan identitas.

Yang lebih ironis dari pelanggaran macam begini adalah ia dilakukan melibatkan generasi muda (dan di momentum sumpah pemuda), generasi yang kita harap mengubah segala kebobrokan sistem persepakbolaan dalam negeri. Apa yang kita harapkan dari generasi yang sedari awal dicocoki kecurangan? Anda boleh saja mencibir saya sebagai orang yang ‘sok bersih’ , silakan, saya tak peduli.

Kasus pencurian usia atau pemalsuan identitas macam begini memang tidak terjadi sekali dua kali, nyaris lumrah terjadi pada kompetisi usia muda. Pun tidak hanya terjadi pada lingkup nasional saja, pencurian umur memang menjadi persoalan penting di tataran Internasional.

Pada 2013 lalu misalnya, CONMEBOL atau Konfederasi Sepakbola Amerika Selatan, dibuat geger dengan isu pemalsuan umur dan identitas pada perhelatan turnament U-20. Juan Espinoza, pemain Peru yang waktu didaftarkan dengan nama Max Barrios yang berusia 17 tahun. Pemalsuan identitas itu mendekati kebenaran setelah adanya pengakuan dari sejumlah pihak yang mengatakan Juan Espinoza sebenarnya telah berusia 25 tahun (pada waktu itu).

Menyikapi maraknya tindakan pemalsuan identitas ini FIFA pada 10 tahun belakangan mulai menggunakan metode MRI sebagai upaya meminimalisir pencurian umur. Metode MRI sendiri adalah metode yang digunakan guna mengetahui usia manusia melalui pergelangannya.

Baca Juga:  Hotel Tiara Inn

Dikutip dari laman Fandom Indonesia, penelitian berjudul Age determination by magnetic resonance imaging of the wrist in adolescent male football players karya Jiri Dvorak mengklaim hasil yang positif terkait metode MRI ini, penelitian itu “…menunjukkan hanya 1 dari 136 atau 0.77 % pemain yang celah sandinya sudah menutup sempurna pada usia 16 tahun.”. Artinya, ini bisa digunakan untuk mendeteksi usia biologis pemain.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah kenapa PSSI atau panitia Piala Soeratin tidak menggunakan metode ini, mengingat MRI bukan hal asing di Indonesia. Pada 2013 lalu terdengar kabar pelatih timnas U-19, Indra Sjafri, memulangkan beberapa pemain karena kedapatan melakukan pencurian umur berkat metode MRI.

Persoalannya memang kemudian berada di tataran federasi, apakah mau tegas dalam menindak atau diam-diam membiarkan. Selama ini yang sering kita dengar ketika sebuah klub ketahuan melakukan pencurian usia hanyalah menerima hukuman sekadarnya. Padahal tindakan seperti ini bisa dihukum lebih tegas lagi, sebab ini sudah termasuk pemalsuan identitas. Ada pihak-pihak yang turut terlibat dalam proses pemalsuan ini.

Federasi membutuhkan sebuah sistem yang ideal dalam memvalidasi data dari setiap klub. Jangan menunggu adanya laporan seperti kasus Persiter U-17, yang terjadi ya seperti yang kita lihat, kompetisi sudah hampir selesai pelanggaran baru terkuak.

Kembali ke soal Persiter U-17. Hormat saya setinggi-tingginya kepada pemain yang sudah melangkah jauh hingga final, tetapi otokritik jelas perlu disuarakan agar kita tetap terjaga dalam nalar yang tertib, ketimbang berbusa-busa memaki si pelapor. Rasanya akan lebih ada faedahnya jika kita mempertanyakan kerja pengurus.

Saya rela menunggu bertahun-tahun lagi untuk menyaksikan Persiter berlaga di pentas nasional asal itu tidak dilakukan dengan jalan pintas. Sebab kemenangan akan terasa lebih manis ketika itu dilakukan dengan adil.

Tabik!

—-

Reporter: Rizal Zam
Editor: Faris Bobero

—–
Arsip jalamalut, 28 Oktober 2017, diterbitkan kembali oleh cermat pada 04 Mei 2023.