Wawan Ilyas
Pemuda Pulau Hiri
Belum juga dimulai, Piala Dunia 2022 sudah memakan korban jiwa. Surat kabar “The Guardian” mencatat 1.200 buruh migran meninggal di Qatar (Tempo.co, 2022). Para buruh yang didatangkan dari pelbagai negara itu dipekerjakan membangun infrastruktur Piala Dunia Qatar. Waktu kerja yang monoton dan kelemahan pemerintah Qatar memproteksi keselamatan kerja buruh bertahun-tahun menjadi “sisi lain” kemegahan Doha, dan kota-kota lainnya di Qatar.
Warga dunia dipaksa mengakui dan takjub atas kemegahan Qatar yang dibangun dari fondasi penindasan dan ketidakadilan. Beginilah sepak bola, kerap membuat pipi orang-orang memerah membasah, serta dunia yang bergolak. Bukan hanya karena semangat, kerja keras dan kesuksesan pemain bertarung di lapangan hijau membawa nama bangsa dan negara menimbulkan rasa haru suporter, melainkan terjadi karena momen-momen tragis di luar lapangan.
Dalam sejarahnya sepak bola di Eropa, Afrika, Amerika hingga daratan Asia, tak jarang ditemui kejadian tak diinginkan yang merugikan banyak pihak. Terbaru di Asia, kita dibuat sedih, geram dan kesal atas Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 131 orang di Malang. 131 orang adalah korban kegagapan penanganan pihak keamanan yang tidak proporsional menembakkan gas air mata ke arah penonton. Walhasil, ribuan orang berlari melindungi diri, berdesakan, sesak napas, terjatuh, terinjak-injak dan akhirnya nyawa melayang mengantarkan badai kesedihan melanda Indonesia, juga dunia.
Belum juga usai masalah ini, kini sepak bola dunia kembali menorehkan catatan buruk di luar stadion dengan kematian 1.200 buruh pembuat infrastruktur sepak bola dunia di Qatar. Lagi-lagi terjadi di Asia. Asia adalah pasar. Pasar suporter Piala Dunia. Pasar politik. Pasar kebudayaan. Pasar SDA. Pasar industri garmen dan padat karya. Pasar ekonomi, hingga pasar operasi perusahaan multi-nasional yang, di sisi lainnya ikut merugikan warga kecil dalam relasi produksi dan reproduksi bahan mentah maupun barang jadi. Kerugian ini paling dialami para buruh sebagai tenaga kerja untuk memproduksi permintaan pasar global. Tenaga mereka diperas, jam kerja diperlama setiap harinya dan upah yang murah.
Padahal, Indonesia bukan negara kontestan Piala Dunia. Namun, Indonesia dalam beberapa perhelatan Piala Dunia sejak tahun 2002 di Japan dan Korea Selatan, Indonesia termasuk negara kunci penentuan keberhasilan iven 4 tahunan ini. Betapa tidak, banyak cabang perusahaan global di bidang padat karya ini yang memproduksi sepatu maupun jersey timnas kontestan Piala Dunia di Indonesia. Tahun 2002, Indonesia terdaftar berpartisipasi terbanyak dalam produksi kelengkapan seperti sepatu bermerek yang dipakai banyak pemain. Timnas Inggris pada Piala Dunia 2006 pernah mendapat porsi produksi jersey mereka di Indonesia (Baca Tulisannya Sunardi: Piala Dunia 2018; Gocehan Lionel Messi dan Luka Buruh Garmen Indonesia).
Sisi lain sepak bola menyimpan hegemoni, penindasan dan eksploitasi. Tetapi, suporter sepakbola tidak pernah berkurang dan hasrat menyaksikan pertandingan yang menjagokan sosok-sosok pemain ikonik tak pernah pudar. Bagaimana caranya agar jersey Brazil dan Argentina bernomor punggung “10” tidak lagi dipakai anak-anak dan orang tua Indonesia? Bagaimana cara sehingga CR7 tidak mendapat pendukungnya di Indonesia? Bagaimana cara sehingga Ronaldo sang legenda Brazil tidak dikenal di Indonesia? Sesungguhnya itu tidak mungkin.
Hasrat Sepak Bola
Hasrat warga dunia, termasuk Indonesia, tak bisa dibendung. Melarang menjadi sesuatu yang tidak mungkin sekali. Di dalam ketidakmungkinan itulah, sebetulnya penindasan dan eksploitasi terjadi bersama “rantai pasokan global” (global supply chain). Menurut Jean Baudrillard, pemikir postmodern yang juga merevisi gagasan Karl Marx, kapitalisme berkembang karena hasrat (desire) manusia mengonsumsi barang-barang produksi. Hasrat anak-anak diseantero dunia memakai jersey dan bendera pendukung masing-masing membuka kran pertumbuhan kapitalisme modern. Di sini, sepak bola memuat “life style” secara global. Jersey tak lagi menjadi nilai guna (use value), melainkan nilai tukar (excange value). Pakai jersey untuk bergabung sesama pendukung, merayakan Piala Dunia, atau foto bersama pacar/istri/anak/saudara pakai jersey, bukan sekedar kebutuhan menutup tubuh. Nobar di cafe atau halaman luas pakai jersey lebih asyik dari pada sendiri dalam kamar.
Tidak pakai jersey atau tidak memasang bendera fans berarti tidak “keren” atau tidak “partisipatif” banget. Begitu kira-kira fenomena warga ketika datang Piala Dunia. Tetapi kadang ini berlapis canda dan guyonan. Karena hasrat itu, maka meluaslah permintaan pasar. Jika permintaan demikian, maka produksi harus diperbanyak. Konsekuensinya, para buruh yang bekerja dibawah tekanan terus tereksploitasi demi untuk memproduksi permintaan pasar. Mereka harus bekerja hingga diluar jam kerja. Siklus ini berjalan mengikuti seberapa banyak hasrat masyarakat dunia untuk mengonsumsi hasil produksi, entah jersey, entah sepatu, entah handphone, entah bola, entah bendera, entah apa saja yang berkaitan dengan sepakbola. Wabil khusus, Piala Dunia.
Sepak bola bukan sekedar hobi dan skill, tetapi tentang politik, kebudayaan, ekonomi, bahkan mengandung “kejahatan” sistemik. Kasus meninggalnya para buruh di Qatar dan korban Kanjuruhan di Indonesia mengonfirmasi perkara ini. Tak ada aturan sepak bola yang menginginkan peristiwa seperti itu. Tetapi, sepak bola memuat banyak jejaring, banyak kekuatan, banyak peralatan dan banyak peraturan di luar lapangan hijau, sesara struktur maupun kultur. Itulah mengapa, setiap fans di mana pun di dunia ini dianjurkan tidak berlebihan dalam menyikapi, menyaksikan pertandingan sepak bola. Kita hanya berusaha untuk tidak dirugikan baik struktur maupun kultur.
Skill Neymar dan Konsekuensi-konsekuensi di Ternate
Baru saja, ayah saya menelpon. Beliau minta supaya pemuda Tomajiko “cari akal” beli “voucher” siaran Piala Dunia seharga Rp800.000. Jika tidak, mungkin di kampung saya, Tomajiko, Pulau Hiri, beliau tidak bisa menyaksikan momen dunia di Qatar itu. Dari sini saja kita bisa tahu bagaimana kapitalisme merambah di ruang media virtual. Lagi-lagi mengenai hasrat, dan saya tidak bisa melarang itu. Bagaimana dengan anda? Saya tahu, pasti banyak ibu/istri yang harus mengeluarkan tabungan untuk memenuhi kebutuhan suami atau anak mereka dalam menyambut piala dunia: beli jersey, beli bendera atau apalah begitu.
Betapa tidak, sekarang ini Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Neymar Jr, Karim Benzema dan banyak pemain bintang sudah menatap Qatar, tempat meninggalnya 1.200 orang itu. Dunia menunggu kaki mereka mengolah bola, melepaskan tendakan dan mempertunjukkan selebrasi. Di Ternate, Maluku Utara, antusiasme warga tak terbendung sama sekali. Beranda Facebook penuh gambar pemain dunia hingga kata-kata lelucon yang bernada ejekan. Seperti “meme” yang menjatuhkan derajat bintang pemai dunia. Pemain diolok-olek lewat media virtual. Pun, di halaman, di pohon, di pinggiran jalan, penuh dengan bendera negara kontestan Piala Dunia. Situasi di Maluku Utara makin “panas” ketika Timnas Italia tidak lolos ke Qatar. Para pendukung Italia bahkan memposting dan melakukan segala macam cara untuk meloloskan mereka dari “fakta sosial” serangan netizen.
Globalisasi membawa ikon dunia hingga ke desa-desa. Antusias dan hasrat warga Maluku Utara disetiap momen ini bahkan ikut merenggung nyawa. Pada Piala Dunia tahun 2006 di Jerman, Argentina kalah tapi seorang pendukungnya di Ternate Utara tewas laka lantas pada malam kekalahan itu. Menurut warga setempat, almarhum adalah pendukung fanatik Argentina. Ia kecewa karena tim kebanggaannya gagal melaju ke putaran final. Tahun 2010 ketika kaki-kaki lincah merumput di Afrika Selatan, seorang tetuah pendukung Argentina di Pulau Hiri menghantam pendukung timnas Jerman hingga keluar darah dari hitung. Tentu pembaca sudah tahu penyebabnya apa.
Pada tahun 2014 perhelatan Piala Dunia di Brazil, saya saksikan sendiri dua orang yang mabuk berkelahi di Kelurahan Sangaji Utara, Kota Ternate. Yang satu pakai jersey Italia, satunya lagi pakai jersey Brazil. Perkelahian disebabkan oleh pawai pendukung Brazil lalu dilerai oleh lelaki pengagum Italia. Jalanan jadi kacau karena harus “baku pele”. Pada malam yang sama, seorang fans Brazil mencoba atraksi angkat roda depan sepeda motornya. Ia terpelanting ke aspal, gigi depannya patah dan keluar darah.
Yang lebih sedih lagi, pada tahun 2018 Piala Dunia di Rusia, seorang warga di Ternate tewas karena laka lantas saat pawai untuk kemenangan Brazil. Suatu pelajaran berharga untuk semua pendukung negara-negara konstestan Piala Dunia di Ternate, juga di daerah lainnya di Maluku Utara yang punya animo yang sama. Piala Dunia telah membuktikan ke kita terjadi penindasan, eksploitasi hingga kematian warga. Para buruh meninggal, warga berkelahi hingga ada yang tewas karena pawai.
Semoga Skill Neymar dan Lionel Messi dalam mengecoh pertahanan lawan dalam Piala Dunia 2022 tidak membuat luka baru bagi kita semua. Kita semua bertanggungjawab supaya konsekuensi-konsekuesi perkelahian hingga kematian di jalanan tidak terjadi lagi. Jangan berlebihan dalam ucap maupun tindak. Sepak bola adalah perdamaian.