Together: Tr3ble Winners, Hal-hal Kecil yang Menentukan Dalam Sepakbola

Film dokumenter Together Treble Winners. doc: netflix

Oleh:
Setya Yudha Indraswara*

 

Saya baru selesai menonton documentary-nya Manchester City, Together : Tr3ble Winners, di salah satu platform streaming. Meskipun City buat saya adalah klub rival, mata ini tak kuasa ikut berkaca-kaca saat menyaksikan sang kapten, Ilkay Gundogan, mengangkat trophy UEFA Champion League. Sebuah piala yang sudah demikian lama mereka kejar. Dan berkali-kali gagal.

Tapi sekalinya berhasil, City tak tanggung-tanggung. Mereka sapu bersih : Juara Premier League, FA Cup, UEFA Champion League. Ya, treble winners. Sebagaimana pernah dilakukan Manchester United dengan Class of 92-nya, saat masih bersama Sir Alex Ferguson. City malah menyempurnakannya dengan sekaligus memenangi UEFA Super Cup dan FIFA Club World Cup di tahun 2023 itu.

Rentang enam episode dalam documentary tersebut cukup jelas menggambarkan bagaimana sebuah tim sepakbola mengalami naik-turun. Kekalahan menyakitkan, kemenangan yang susah-payah, dan kekecewaan mendalam. Juga bagaimana mereka, manager-pemain-pelatih-staf klub-dll, dapat menjadi satu kesatuan untuk saling menguatkan.

Hal ini sangat terlihat saat Pep Guardiola, sang manager yang jenius, memberikan team talk beberapa saat sebelum malam final di Istanbul yang bersejarah itu. Tanpa diduga, yang dimintanya maju bukanlah sang kapten atau salah satu pemain superstar-nya (catatan : hampir semua pemain City adalah superstar), tapi Jorge Guiterrez. Jorge adalah chef, alias juru masak klub.

Pep menunjukkan, jelas sekali, pencapaian City bukan semata-mata bergantung pada sebelas pemain yang bertarung di lapangan. Juru masak, kit man (petugas kostum & sepatu), fisioterapis (juru pijat), staf kantor, dan semua orang yang hampir tak pernah terlihat atau dikenal, semuanya memiliki peran dalam keberhasilan klub.

Saya, dan mungkin sebagian dari Anda, sebagai penonton/penggemar, seringkali melihat sepakbola hanya pada pemain, pelatih/manager, atau taktik permainan saja. Sesekali perhatian beralih pada fanatisme supporter, memaki wasit -dan federasi-, atau rame-rame mencaci dan memboikot kostum Timnas.

Baca Juga:  Piala Dunia 2022: Skill Neymar dan Konsekuensi Luka di Ternate

Kita (baca: saya) seringkali luput melihat dari sisi dan detail yang lain. Ya, sebagai salah satu orang yang mengaku fan Liverpool, tentu saya akan mengamini kata-kata Bill Shankly, football is more than a matter of life and death. Demikian penting dan besarnya. Tapi ada kalanya hal-hal kecil itulah yang dapat menentukan seberapa besar performance dan pencapaian.

Bahkan di pembukaan documentary ini, yang ditunjukkan adalah bagaimana Troy Hawke menyapa (dan mengomentari) setiap pemain dan staf saat pertama datang ke fasilitas training City. Troy adalah professional greeter. Tugasnya sekadar menyambut tamu. Terlihat remeh sepertinya, tapi City bersedia melakukannya. Dan membayarnya dengan -tentu- tidak murah.

Detail kecil macam begini yang seringkali luput dari perhatian. Atau bisa jadi tak pernah diperhatikan. Tapi sebagaimana petuah lama, the devil is in the details, hal sekecil apapun seringkali malah menentukan.

Bagaimana menurut Anda?

*penulis lahir di Blitar, sekolah di Malang, tinggal di Jakarta, saat ini bekerja di Halmahera.