Oleh: Subhan Hi Ali Dodego
Saat ini kita telah memasuki era revoluasi industri yang ditandai dengan teknologi digital. Hal ini tercermin dari jumlah pengguna internet di Indonesia yang terus meningkat setiap tahun. Pada Maret 2021, jumlahnya mencapai 212,2 juta atau 77,9% dari total jumlah penduduk Indonesia (Media Indonesia, 2021).
Disisi lain, perkembangan teknologi yang begitu cepat tidak dibarengi dengan kemampuan literasi digital masyarakat. Padahal, teknologi diharapkan menjadi peluang kini menjadi momok dan tantangan tersendiri bagi masyarakat. Tantangan tersebut seperti banyaknya penyebaran berita bohong (hoaks), penipuan secara online, ujaran kebencian (hate speech), perundungan siber, prostitusi online, pengaruh paham radikalisme dan sebagainya.
Hal ini nampaknya sejalan dengan pendapat pakar seperti Nicholas Carr (2011) dan Daniel Goleman (2013), bahwa dunia media sosial itu ibarat pisau bermata dua, di satu sisi dapat memberi manfaat yang sangat besar bagi orang-orang yang dapat menggunakannya dengan baik. Tetapi pada sisi yang lain dapat menyebabkan bahaya atau dampak buruk bagi orang-orang yang tidak mampu memanfaatkannya dengan baik, tepat dan benar.
Sehingga sangat dibutuhkan kemampuan literasi digital di era modern saat ini. Literasi digital dapat dipahami sebagai pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari (Atmazaki dkk, 2017).
Hasil survei tentang tingkat literasi digital di Indonesia belum merata. Hal ini terlihat dalam laporan Status Literasi Digital di Indonesia 2021 yang dirilis Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Katadata Insight Center (KIC). Menurut laporan tersebut, indeks literasi digital nasional pada 2021 berada di level 3,49 dari skala 1-5. Artinya secara umum tingkat literasi digital masyarakat Indonesia berada di level “sedang”. Jika dirinci di skala provinsi, DI Yogyakarta memiliki indeks literasi digital tertinggi dengan skor 3,71. Semakin besar skornya, maka literasi digital di provinsi tersebut diasumsikan semakin baik. Sementara itu ada 14 provinsi lain yang indeks literasi digitalnya berada di bawah rata-rata nasional. Posisi terendah ditempati Maluku Utara dengan skor 3,18 (Kominfo dan Katadata Insight Center, 2022).
Data di atas menunjukan bahwa Maluku Utara secara umum menduduki provinsi paling rendah tingkat literasi digital di Indonesia. Artinya bahwa indeks literasi digital kita paling buruk dan berada di bawah Papua dan Maluku. Hal ini menjadi tamparan, cambuk dan juga evaluasi untuk melakukan perbaikan dalam aspek pembangunan informasi dan teknologi Maluku Utara. Lantas apa yang menjadi ukurannnya sehingga Maluku utara menduduki peringkat paling bawah dalam aspek literasi?
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku Utara masih memiliki 79 desa/kelurahan yang tidak memiliki sinyal telepon seluler pada tahun 2020. Jumlah tersebut setara dengan 6,6% dari 1.199 desa/kelurahan yang ada di Maluku Utara. Sebanyak 525 desa/kelurahan (43,8%) di Maluku Utara juga memiliki sinyal telepon seluler yang lemah. Hanya 407 desa/kelurahan (33,9%) desa/kelurahan di provinsi tersebut yang memiliki sinyal kuat. Sementara, hanya 188 desa/kelurahan (15,7%) yang memiliki sinyal sangat kuat.
Senada dengan hal di atas, dalam laporan Status Literasi Digital di Indonesia 2021 dilansir dari (databoks.katadata.co.id, 2022) mengungkapkan bahwa indeks literasi digital diukur melalui empat pilar indikator yaitu: pertama, digital skills (kecakapan digital). Yaitu, kemampuan individu dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan piranti lunak teknologi informasi-komunikasi (TIK) serta sistem operasi digital dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, digital ethicsh (etika digital). Yaitu kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan, dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquette) dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, digital safety (keamanan digital). Yaitu, kemampuan individu dalam mengenali, mempolakan, menerapkan, menganalisis, menimbang dan meningkatkan kesadaran pelindungan data pribadi dan keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari. Keempat, digital culture (budaya digital). Yaitu kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan, nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari dan digitalisasi kebudayaan melalui pemanfaatan TIK.
Dari hasil penelitian dan laporan tersebut membuktikan bahwa Maluku utara merupakan salah satu provinsi yang memiliki tingkat literasi digital paling rendah di Indonesia. Tetapi, sebetulnya Maluku Utara memiliki peluang yang sangat besar dalam menciptakan literasi digital. Tentu untuk mewujudkan cita-cita itu tidak instan, butuh sinergi dan kolaborasi dari seluruh elemen terutama para pemangku kebijakan daerah Maluku Utara.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Muhadjir Effendy mengafirmasikan bahwa sebagai bangsa yang besar, Indonesia harus mampu mengembangkan budaya literasi sebagai prasyarat kecakapan hidup abad ke-21 melalui pendidikan yang terintegrasi, mulai dari keluarga, sekolah, sampai dengan masyarakat. Penguasaan enam literasi dasar yang disepakati oleh World Economic Forum pada tahun 2015 menjadi sangat penting tidak hanya bagi peserta didik, tetapi juga bagi orang tua dan seluruh warga masyarakat. Enam literasi dasar tersebut mencakup literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan (Rullie Nasrullah, dkk).
Dari pelbagai permasalahan di atas berikut ini penulis kemukakan beberapa alternatif solusi untuk perbaikan dan peningkatkan literasi digital di Maluku Utara. Pertama, kebijakan akses internet di Maluku Utara. Pemerintah daerah harus membuat regulasi yang berkaitan dengan literasi di Maluku Utara. Selain itu, desa, kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten yang belum memiliki jaringan internet dan sinyal telepon seluler harus segera diwujudkan dengan mendirikan jaringan internet di daerah-daerah yang belum menikmati akses jaringan internet.
Kedua, literasi digital di sekolah. Literasi digital di sekolah dilakukan dengan melibatkan siswa, pendidik dan orang tua. Literasi di sekolah harus dipraktikkan dan dijadikan sebagai budaya lingkungan sekolah. Salah satunya yaitu literasi diintegrasikan ke dalam kegiatan belajar mengajar yang melibatkan pendidik di dalam dan luar kelas. Selain itu, agar tercipta budaya literasi di sekolah harus melibatkan partisipasi publik seperti pegiat literasi, orang tua, tokoh masyarakat, para ahli, dan sebagainya.
Ketiga, literasi digital dalam keluarga. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat. Dalam konteks pendidikan keluarga menjadi lingkungan belajar pertama seorang anak. Oleh karena itu, penguasaan literasi sebagai kemampuan dalam mencari informasi yang baik dan benar harus ditingkatkan dalam keluarga. Untuk meningkatkan kemampuan literasi dalam keluarga hal-hal yang harus disediakan yaitu penyediaan bahan bacaan, mainan yang bersifat edukatif, memanfaatkan fasilitas di rumah untuk tampilan-tampilan literasi, media teknologi informasi kegiatan baca tulis, bahan bacaan seperti koran atau majalah, mengoptimalkan penggunaan jaringan internet untuk mengakses sumber-sumber belajar, melaksanakan kegiatan literasi dalam keluarga bersama masyarakat dan melibatkan orang tua dalam kegiatan literasi di sekolah.
Keempat, literasi digital di masyarakat. Literasi masyarakat adalah kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mencari berita, informasi yang terpercaya. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mewujudkan literasi masyarakat yaitu: menyediakan modul-modul pelatihan masyarakat, pelatihan oleh komunitas penulis atau penerbit, keterlibatan perguruan tinggi dalam literasi masyarakat, menyediakan sumber bahan bacaan masyarakat seperti museum, perpustakaan umum, galeri seni dan budaya, penyediaan koleksi bahan bacaan dengan berbagai jenis tema di perpustakaan umum atau daerah, pemanfaatan akses internet untuk menjangkau bahan belajar daring.
Menyediakan pojok baca di ruang publik, seperti terimal, halte, stasiun, bandara, di kantor pelayanan masyarakat, seperti bank, kantor pajak, rumah sakit, melaksanaan kampanye literasi untuk menyebarluaskan informasi dan kegiatan literasi kepada masyarakat, mengelola fasilitas umum yang kaya literasi, menyebarluaskan informasi mengenai sumber belajar daring, membentuk komunitas literasi yang melibatkan masyarakat luas, mengintegrasikan kegiatan literasi dalam berbagai kegiatan masyarakat, mengalokasikan anggaran khusus dalam dana desa/daerah untuk menjalankan kegiatan literasi dan kerja sama antarpusat belajar di masyarakat, seperti Taman Belajar Masyarakat (TBM) atau Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
Daftar Pustaka
Atmazaki dkk, Panduan Gerakan Literasi Nasional, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017.
Carr, Nicholas. The Shallow. Terj. Rudi Atmoko. Bandung: Mizan, 2011.
Goleman, Daniel. Focus. America: Harper, 2013.
Rullie Nasrullah dkk, Materi Pendukung Literasi Digital, Jakarta: Kemndikbud Jakarta, 2017.
Badan Pusat Statistik (BPS) Malut 2021.
https://www.kominfo.go.id/
https://mediaindonesia.com/infografis/458504/literasi-digital-dan-tantangan-menuju-masyarakat digital diakses pada 15 Oktober 2022, pukul:23:14 WIB.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/05/masih-ada-79-desa-maluku-utara tanpa sinyal-ponsel-pada-2020 diakses pada 17 Oktober 2022, pukul:16:54 WIB.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/07/13/ini-provinsi-dengan-literasi-digital terbaik nasional-pada-202, diakses pada 17 Oktober 2022 pukul 17:43 WIB.
TENTANG PENULIS
Subhan Hi Ali Dodego, sapaan akrab Uban lahir pada 10 Mei 1995 di Desa Galao, Loloda Halmahera Utara, berasal dari keluarga Petani. Alumni IAIN Ternate ini sekarang melanjutkan studi di Program Magister Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama kuliah Subhan sudah menggeluti dunia tulis menulis, mengikuti pelatihan menulis, kompetisi menulis di tingkat lokal, regional dan nasional. Baginya, menulis tidak hanya sekadar keinginan tetapi menjadi nafas kehidupan. Saat ini selain fokus kuliah, Subhan juga aktif di Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI). Penulis juga aktif menulis dan mempublikasikan karyanya di media cetak (koran) dan online, menulis jurnal ilmiah, dan sudah berhasil menerbitkan enam buah buku bergenre pemikiran Islam, Bunga Rampai, Antologi, Pengembangan Diri dan Motivasi.
Jika ingin bersahabat silakan menghubungi nomor Hp penulis 082348631295.
—
Artikel ini dalam rangka mengikuti Lomba Menulis Esai dan Opini untuk Mahasiswa dan Umum oleh Dinas Kearsipan dan Perpustakan Maluku Utara pada Festival Literasi.