News  

Tambang di Halmahera Tengah Dinilai Mengancam Gua Bokimoruru hingga Satwa Endemik

Area Gua Bokimoruru. Foto: Sofyan A. Togubu

Aktivitas tambang  yang saat ini berlangsung di sekitar Desa Sagea, Kecamatan Weda Utara, Halmahera Tengah, dinilai mengancam Goa Bokimoruru dan satwa endemik yang berada di wilayah tersebut.

Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Maluku Utara, Abdul Kadir Arif mengatakan, saat ini yang bisa dilakukan adalah tetap semangat melakukan konservasi. Karena menurutnya, terlebih, geopark itu bukan sekadar destinasi, melainkan juga tata ruang dan pengelolaan kawasan.

“Nah, selama ini orang melihatnya destinasi, padahal prinsip dasar geopark itu adalah konservasi, edukasi dan sirkuler ekonomi terbentuk. Di aspek ekonomi inilah, porsi peran Dinas Pariwisata. Saya melihatnya pada awal soal konservasi dan edukasi. Mengingat, torang, Halmahera atau secara umum, bukan lagi wilayah yang aman dari sisi konservasi. Taman nasional saja bisa diganggu apalagi yang bukan,” kata Kadir Arif, Kamis, 15 Januari 2024.

Ia menyebut Gua Bokimoruru sangat dekat dengan aktivitas tambang. Apalagi, sesuai hasil pemantauan, timnya melihat ada ancaman sangat tinggi, bahkan bukan hanya rusak tapi hilang.

“Dari luar aktivitas Bokimoruru, ada pembukaan lahan pada kawasan tambang. Padahal di atas Bokimoruru ada pertanian warga. Gua itu terpelihara oleh iklim di luar ketika vegetasi di atas gua masih bagus dan masih hijau, otomatis yang di dalam gua ikut terawat,” jelasnya.

“Dua hal ini, eksokarst dan endokarst betul-betul sejalan. Untuk kasus Bokimoruru, makanya di beberapa pernyataan saya dan tim kemarin, bukan gua kering, tetapi basah, vegetasi sangat terpengaruh bagaimana keberlanjutan tahun ke tahun,” katanya.

Secara geologis, bagi ia, Bokimoruru  sangat unik, fasenya beda dengan gunung api. Dalam Gua Bokimoruru ini, menurutnya ada material gunung api, juga dijumpai lima leveling tingkat goa yang menyerupai tangga tersusun.

Baca Juga:  Seorang Tukang Ojek di Ternate Ditangkap Polisi Lantaran Bawa Kabur Cengkih Milik Nenek Ade

“Ketika kita masuk akan menemukan beberapa level. Nah, level ini belum kami selesaikan karena memang, pertama soal alat. Kedua, cuaca di luar kemarin, kalau kita masuk, kita akan anyor (hanyut). Uniknya, selain itu ada material pasir, kita seolah-olah ada di pantai,” ujarnya.

Dedi Arif mengaku, hasil penelusurannya juga ditemukan banyak satwa di Gua Bokimoruru.

“Kita temukan (orang Ternate bilang) hewan kaki seribu, ukurannya sangat besar dibanding dengan yang umumnya, laba-laba yang ukuran besar, pun kalajengking dan kelelawar. Bahkan ada tulang kelelawar ter-karstifikasi jadi tulang membentuk batuan, ini sangat unik. Kelelawar itu sudah berapa juta tahun di situ,” katanya.

Lebih jauh, Dedi berharap, pengelolaan tempat wisata bisa batasi ruang bagi orang yang masuk sampai batas di mana. Karena kalau tidak, bisa menghilangkan rekam sejarah.

“Ancaman ke guanya. Saya berpikir akan bisa hilang dan rusak. Artinya, dia tidak bisa berkembang secara biasa dan hilang karena memang aktivitas penambangan. Kita nggak tahu ini overlay. Makanya kita usulkan, warisan ini, terutama kepada teman-teman di dinas ESDM bisa melihat, apakah posisi ini overlay atau tidak,” tanya Dedi.

Sesuai informasi yang pihaknya terima, Weda Utara, terutama Desa Sagea dan Kiya, akan menjadi satu skala prioritas wisata. Karena itu, ia berharap itu betul-betul menjadi skala prioritas sehingga tidak semua tempat harus ditambang. Ada tempat atau ruang yang disisakan, bagian dari jasa lingkungan yang lain selain ekonomi. ”Kalau semua ditambang, kita sayangkan juga, bukan berarti tidak ada ekonomi,” akuinya.

Terpisah, Akademisi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Masri Santuli, yang juga sebagai warga Sagea ini melihat, perubahan alam lingkungan sekitar gua Bokimoruru bukan hanya terjadi di akhir-akhir ini.

Baca Juga:  Pemprov Malut Siap Dorong Regulasi Pemertahanan Bahasa Daerah

“Tetapi mulai tahun 2013-2014, bahkan 2020 sampai 2024. Memang bentangan alam bahkan lanskap letak geografis daerah, seperti di Desa Gemaf, Desa Sagea itu lanskap perubahan baik biodiversity maupun masyarakat itu terjadi,” katanya.

Misalkan, tambah ia, di Weda Utara itu, bukan hanya gua Bokimoruru, tetapi ada juga Danau Talaga Labaeon, di samping sebagai daerah pegunungan. Sementara, aktivitas tambang punya konsesi di belakang Danau Telaga dan Bokimoruru itu sangat berefek.

“Hujan satu sampai dua hari, tetap banjir. Apalagi daerah Sagea itu disebutkan daerah DAS. Daerah aliran sungai banyak di belakang Sagea di Goa Bokimuru,” jelasnya.

Ancaman pengrusakan lingkungan tersebut makin marak ketika aktivitas tambang. Terutama dalam melakukan pembongkaran, yang berdampak pada mulai dari perkebunan lahan masyarakat hingga membabat hutan secara masif.

“Ini terjadi di belakang Akejira, bahkan di belakang Gua Bokimoruru sekitar Weda Tengah,” terangnya.

Sementara itu, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara, Faisal Ratuela menegaskan, pengembangan kawasan perusahan yang mengembangkan nikel di Halmahera Tengah khususnya di wilayah sekitar Bokimoruru cepat atau lambat akan berdampak pada populasi satwa burung endemik di hutan Halmahera Tengah.

“Terutama berada di sekitar Gua Bokimoruru. Saya kira, selain burung Bidadari Halmahera dan jenis burung Kakatua Putih itu akan terjadi penurunan habitat hidupnya karena memang. Pertama, bukaan kawasan pertambangan nikel ini akan berdampak pada hilangnya ruang hidup mereka. Burung akan terganggu sehingga mencari tempat yang lebih aman,” kata Faisal.

Selain itu, kata Faisal, ke depan akan terjadi perdagangan satwa makin masif, bisa saja terjadi di wilayah pertambangan. Karena satwa ini, menjadi satwa penting yang memiliki unsur ekonomis.

Baca Juga:  Disbud Ternate Akan Usulkan Masjid Kesultanan Ternate sebagai Cagar Budaya Nasional

“Kami melihat kondisi terjadi di mana pembukaan kawasan secara masif menghilangkan habitat burung Paruh Bengkok dan jenis lainya. Burung yang hidup di tempat tersebut akan mengalami penurunan secara signifikan. Karena memang hutan bukan sebatas tempat hidup saja untuk mencari makan,” tegasnya.

Menurutnya, perubahan bentangan alam yang melibatkan hilirisasi nikel, khususnya di sekitar kawasan geopark Bokimoruru, ini akan berdampak pada banyak hal.

“Tidak kalah penting fungsi peran satwa endemik ini. Burung tersebut menjaga kestabilan ekosistem karena burung-burung itu memakan buah-buah kemudian memberikan kehidupan yang baru.

“Itu menjaga tata sistem ekologis dan ini akan hilang ke depan disekitar industri pertambangan wilayah Bokimoruru,” katanya.

Menurutnya, masalah ini ketika diabaikan pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah dan Provinsi Maluku Utara dengan dalil bahwa kewenangan diambil ke pusat, kiamat di pulau kecil akan terjadi di Maluku Utara.

Ketika ditanya soal sikap Pemerintah Daerah Halmahera Tengah, terutama agar burung endemik bisa terselamatkan, ia mengatakan, moratorium kembali industri pertambangan.

“Saya kira proses penebangan dilakukan pertambangan nikel tipe open pick atau taman terbuka ini mengancam ruang hidup ekosistem yang berada kabupaten ini. Tidak ada upaya lain dilakukan kecuali secara tegas melakukan moratorium kembali nikel terutama industri pertambangan,” kata Faisal.

Moratorium itu, sambung ia, apa yang saat ini disebut Proyek Strategis Nasional (PSN).

“Itu menjadi kata kunci perlindungan dan ekosistem hutan di wilayah tersebut,” tutupnya.

—–

Penulis: Sofyan A. Togubu

Editor: Ghalim Umabaihi