“Ternate Kota Stunting”

Penulis: Nawal El Akhfa

TAHUKAH Anda tentang sebuah kota yang diakui dunia sebagai The Spicy Island? Kota itu adalah Ternate–kota tua di Maluku Utara yang telah menjadi saksi pusat peradaban Islam dan perdagangan global. Namun sayang, Ternate yang mempunyai pengaruh besar di kawasan timur Indonesia ini masuk dalam kategori pencetak stunting yang cukup tinggi.

Bukan tanpa alasan, status Ternate sebagai kota rempah ini karena tak sedikit rempah-rempah yang tumbuh subur di kaki gunung Gamalama, terutama cengkih dan pala (Nur Afifah (2022). 

Hal itu juga ditulis M. Adnan Amal (2007:13), “Kekayaan rempah-rempah melimpah seperti cengkih dan pala yang tumbuh secara liar, menggoda para pedagang Cina, Melayu, Jawa, Arab, Persia, dan Gujarat datang dengan membawa tekstil, beras, perhiasan, dan kebutuhan hidup lainnya untuk ditukar dengan rempah-rempah”.

Bahkan, karena dikelilingi dengan lautan, banyak penduduk Ternate yang memilih berprofesi sebagai nelayan. Dua profesi, petani dan nelayan ini mestinya harus menunjang masyarakat untuk mengkonsumsi makanan bergizi tinggi. Tapi, malah justru sebaliknya, stunting masih kategori tinggi di kota ini. 

Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan, teknologi canggih untuk mendeteksi penyakit, termasuk karena hidup dalam lingkungan yang tak sehat dan pola hidup konsumtif. Apalagi di zaman sekarang ini banyaknya makanan instan dan makanan yang sudah dimodifikasi sehingga tidak terjamin akan kesehatannya.

Remaja dan anak kekinian kurang akan kepedulian terhadap kesehatan, mereka lebih memilih mengkonsumsi makanan yang sesuai perkembangan zaman agar kelihatan keren. Padahal remaja adalah sosok calon orang tua di masa depan sehingga perlu diperhatikan kesehatannya agar tidak melahirkan generasi kurang gizi dan buruknya pertumbuhan fisik anak. Seperti dalam kasus stunting yang beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan drastis.

Baca Juga:  Advocatus Diaboli

Stunting adalah kekurangan asupan gizi kronis pada 1000 hari pertama anak sehingga menyebabkan seseorang gagal tumbuh tinggi sesuai usianya. Selain itu stunting dapat membahayakan perkembangan otak, gangguan pada pertumbuhan fisiknya, serta dapat menurunkan kemampuan kecerdasan, sehingga anak kesulitan dalam belajar. Dampak dari stunting sendiri juga dapat mempengaruhi keturunannya.

Kota Ternate sepertinya sebagian orang tua masih minim punya pengetahuan mengenai stunting. Mereka masih tak menaruh perhatian tentang asupan gizi untuk kesehatan 1000 hari pertama anak. Belum lagi penanggulangan dan pencegahan stunting masih begitu rendah, mulai dari pelayanan kesehatan dan akses jalan sulit ditempuh kendaraan, terutama masyarakat di pelosok pedesaan.

Dari hasil data observasi kecil-kecilan saya di kalangan anak-anak di kota Ternate, mereka tampak kekurangan gizi. Hal ini dikarenakan kurangnya asupan makanan bergizi dan pola hidup sehat—adalah faktor yang dapat memengaruhi kesehatan tubuh dan masa depan anak.

Padahal di era sekarang ini orang tua pun dapat dengan mudah mengakses informasi mengenai stunting sebagai upaya pencegahan. Dari segi sosial, anak-anak yang mengidap stunting cukup mempengaruhi kesehatan mentalnya karena seringkali diejek atau dibully oleh teman-temannya. Akibatnya, menimbulkan kecemasan dan memicu stress pada anak. Perilaku bullying tersebut membuat sebagian anak merasa tersisihkan dan membatasi pergaulannya dalam lingkungan masyarakat.

Menurut data “Studi Status Gizi Indonesia tahun 2021 di Maluku Utara sebesar 27,5 persen dan Kota Ternate sebesar 24 persen masih jauh di atas batas rata-rata dari data WHO yakni 20  persen” (Novrizaldi, 2022). Dari data tersebut dapat dibuktikan bahwa Ternate masih perlu menjadi prioritas dalam penanganan stunting dan “dijuluki kota stunting.”

Stunting sangat berpengaruh perkembangan fisik dan otak anak. Anak-anak sekarang ini memiliki tinggi badan tak sepadan dengan generasi terdahulu dan IQ di bawah rata-rata. Hal ini bisa kita cermati pada generasi kekinian, minim kreatif dan tidak produktif.

Baca Juga:  Sumbangan Ichan Loulembah untuk Kemanusiaan di Poso

Adapun hasil data dari Jurnal Bik Foxes menyebut stunting memiliki implikasi biologis terhadap perkembangan otak dan neurologis yaitu penurunan nilai kognitif. Contohnya anak dengan stunting mengalami 7 persen penurunan perkembangan kognitif dan nilai matematikanya lebih rendah 2,11 dibanding dengan anak yang tidak stunting.

Anak yang mengalami stunting pada 2 tahun pertama kehidupan berpeluang memiliki IQ nonverbal <89 dan IQ lebih rendah 4,57 kali dibandingkan dengan IQ anak yang tidak stunting (Apriana Daracantika, et.al., 2021). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa stunting mempunyai pengaruh dampak buruk pada prestasi belajarnya.

Data tersebut, di atas dapat dikatakan bahwa stunting sendiri sangat berpengaruh besar pada perkembangan anak. Mulai dari kekurangan gizi, gagal tumbuh tinggi, dan kondisi psikologisnya. Namun stunting tidak hanya dilihat dari tinggi badannya, tinggi atau pendek tetapi juga faktor biologis.

Dari fisik, stunting tidak dapat diobati, namun kita dapat mencegahnya dilansir dari website Cegah Stunting (2021) bahwa  tentunya penanganan stunting dimulai dari pra-remaja, karena di masa depan remaja akan menjadi calon orang tua. Khususnya perempuan karena peran mereka sangat penting dalam pencegahan stunting di masa depan. Yaitu dengan cara menerapkan pola hidup sehat, mengkonsumsi tablet tambah darah, rajin berolahraga, dan konsumsi makanan yang bergizi seimbang.

Apalagi di era digitalisasi sekarang ini, sosialisasi dan edukasi tentang pencegahan stunting sangat mudah dilakukan. Baik melalui tulisan, pamflet, brosur online, video, dll di berbagai aplikasi sosial media.

Untuk memutuskan mata rantai stunting, perlu adanya kepedulian dan kesadaran masyarakat—orang tua. Terutama pemerintah, yakni meningkat perekonomian rumah tangga, hindari sumber pangan berbahan kimiawi dan lingkungan yang sehat—masalah sampah pun perlu dibijaki secara arif oleh pemerintah kota Ternate.

Baca Juga:  Ramadan sebagai Perekat Kebersamaan

Penanganan stunting dapat dicegah terutama pada ibu hamil dan menyusui pada 1000 hari pertama anak. Untuk ibu hamil perlu mengkonsumsi makanan yang tinggi kalori, protein serta bergizi untuk janin dan mempersiapkan persalinan serta lingkungan yang bersih.

Di saat melahirkan atau menyusui penting bagi ibu untuk selalu memberikan ASI eksklusif kepada bayi dari usia 0-5 bulan dan diteruskan hingga usia 2 tahun jika memungkinkan serta selalu melakukan pemantauan kesehatan secara optimal di posyandu.

Dan sejak anak berumur 0-18 tahun dari masa bayi baru lahir, bayi, balita, anak-anak, dan dewasa. Harus mendapatkan vaksin imunisasi agar dapat mempertahankan tingkat kekebalan tubuh dan perpanjangan masa perlindungan. Namun itu pun harus ditunjang dengan asupan makanan yang bergizi seimbang agar kesehatannya terpenuhi dan terhindar dari stunting sejak usia dini.

——

Nawal El Akhfa, Pegiat Pilas & Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMMU