SENYUMAN TUA ( KABUT) PEMBISIK KARSA
Kabut itu mulai menyapa
membekap koar kata
membiaskan gelombang gema
menggambarkan tertangkap telinga
Kabut itu baru saja berkata
menjepit riuh nan lena
mengharapkan senyum jiwa
menyambut sirnanya lara
Wahai kabut teruslah menyangga
menyambut lembut sang suka
mengabaikan ragu sang duka
mewakili pembisik penuh karsa
Dan, ketahuilah tidak semua orang akan mengerti perjalanan kabut
mereka hanya tahu kau terus berjalan,
tapi tak merasakan seruanmu
“meski dari senyuman tua, selalu ada untuk selamanya”
PEREMPUAN BERSELIMUT KABUT
Walaupun kabut diam, namun selalu berbisik diantara remah dalam kesaksian
dan mengurai dalam ketenangan
Melihat luas samudera di kedalaman hati,
jauh nan memancarkan keteduhan
tak perlu dijawab, perempuan ini tahu
yang mana hati indah atau pun sebaliknya
Dipangkal talu berpacu kekuatan, mengubah hikmah kebaikan dibaliknya
menghadirkan himmah dari sang pendahulu
dalam wujud atau bayangan limpahan ruhani mengucur pada perempuan ini
lewat dzikir nurnya tiada batas, tauhidnya tiada usai
menjelma semesta yang tak meredup, dzikir tanpa suara
kabutnya bertualang menuju mata rantai
dalam damai yang selalu tersenyum
Dalam kabut Perempuan ini, menjelma dalam kebaikan
menebar kebaikan, berprasangka pun bersama kebaikan
meskipun tidak diperlakukan secara baik
Perempuan ini yakin ada yang terbuka,
meski akhirnya setiap orang mempunyai pandangannya masing – masing
sebelum atau sesudah Perempuan ini dihadirkan
Perempuan ini mengarungi tapak, tanpa berhenti
berlelah–lelah dalam kabut hanya mencari ridho-Nya
tujuan yang pasti sampai, bagi hari baru untuk setiap napas
Note:
Himmah= tekad
SEBUSUR TANYA (KABUT)
pada liris menjawab
dari kabut yang tak menyatu
pada sorot membuncah
dari kabut yang tak terlihat
……kemana diri ini untuk “berpihak”
pada angin mencari
dari kabut yang tak biru
pada suara memanah
dari kabut yang tak kelabu
…..kemana diri ini untuk “berpijak”
semua merajut restu
dalam bingkai kabut
lalu….
dijawab jalinan sayup perasaan masih sama
namun tak tersimpul kata – kata
‘merakit harapan pasrah dan berserah’
—
Penulis: Sultan Musa
berasal dari Samarinda Kalimantan Timur. Tulisannya tersiar
diberbagai platform media daring dan luring. Serta karya-karyanya masuk dalam
beberapa Antologi bersama penyair Nasional dan Internasional. Seperti Antologi Puisi
Penyair Dunia “Wangian Kembang: Antologi Puisi Sempena Konvesyen Penyair Dunia –
KONPEN” yang di gagas Persatuan Penyair Malaysia (2018), Antologi Puisi “Negeri
Serumpun” Khas Sempena Pertemuan Dunia Melayu GAPENA & MBMKB (2020), “La
Antologia De Poesia Cultural Argentina – Indonesia“ Antologi Puisi Budaya Argentina –
Indonesia (2021). Antologi Puisi “Cakerawala Islam” MAIK – Majlis Agama Islam dan
Adat Istiadat Melayu Kelantan –Malaysia (2022), Festival Sastra Internasional Gunung
Bintan – Jazirah (2019, 2020, 2021, 2022) dan HOMAGI – International Literary Magazine.
Tercatat pula dibuku “Apa & Siapa Penyair Indonesia – Yayasan Hari Puisi
Indonesia” Jakarta 2017. Karya tunggalnya bertajuk "TITIK KOMA" (2021) masuk
nominasi Buku Puisi Unggulan versi Penghargaan Sastra 2021 Kantor Bahasa Provinsi
Kalimantan Timur. Adapun IG: @sultanmusa97