Viral-Based Policy: Ketika Algoritma Jadi Penentu Kebijakan

Foto penulis

Oleh: Stephanie Bella Saputri*

 

KEPUTUSAN Menteri Keuangan, Sri Mulyani, pada 21 Agustus 2025 lalu menarik perhatian public. Anggaran Pendidikan dalam RAPBN 2026 yang semula hanya Rp178.7 triliun untuk gaji guru dan dosen, tiba-tiba direvisi menjadi Rp274.7 triliun.

Lonjakan ini tentu menggembirakan banyak pihak, tetapi juga memunculkan pertanyaan kritis: mengapa kenaikan tersebut baru diumumkan setelah ramai sorotan public di media sosial?

Kenaikan terbesar dialokasikan untuk Tunjangan Profesi Guru (TPG) dan Tunjangan Profesi Dosen (TPD) bagi PNS, yang naik dari Rp82.9 triliun menjadi Rp120,3 triliun. Tunjangan Profesi Guru ASN daerah naik tipis dari Rp68.7 triliun menjadi Rp69 triliun. Namun, angka untuk guru dan dosen non-PNS tetap stagnan: Rp19.2 triliun untuk 754 ribu guru swasta, dan Rp3.2 triliun untuk 80 ribu dosen non-PNS.

Artinya meski ada lonjakan besar secara total, peningkatan itu tidak menyentuh kelompok non-PNS yang jumlahnya signifikan. Di lapangan, masih banyak guru swasta yang menerima gaji Rp350 ribu perbulan, angka yang jauh dari layak untuk profesi yang disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Fakta ini menimbulkan pertanyaan public: “Apakah harus viral dulu baru negara peduli?”

Fenomena Viral-Based Policy

Kasus anggaran Pendidikan 2026 bukanlah yang pertama. Beberapa waktu lalu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sempat memblokir 28 juta rekening yang dianggap tidak aktif antara 3-12 bulan. Kebijakan ini sebenarnya lahir dari alasan efisiensi. Namun, begitu menuai reaksi keras di media sosial, kebijakan itu segera dicabut.

Fenomena ini menandai munculnya pola baru dalam komunikasi politik dan kebijakan public “viral-based policy”. Pemerintah tampak lebih cepat merespons isu yang sudah menjadi trending topik di media sosial dibanding rekomendasi riset akademik atau diskusi di parlemen.

Baca Juga:  Ichan Pergi di Hari Minggu

Proses kebijakan yang seharusnya lahir dari kajian panjang, konsultasi public, dan analisis data, kini bergeser ke pola reaktif berbasis atensi. Dalam ekosistem digital, siapa yang mampu membangun momen emosional lebih unggul daripada siapa yang punya argument rasional.

Algoritma Mengalahkan Parlemen

Di era digital, algoritma media sosial memainkan peran besar dalam menentukan agenda public. Twitter, Tiktok dan Instagram memiliki kekuatan untuk memperbesar isu tertentu hingga mendominasi percakapan. Semakin emosional dan mudah dipahami isu tersebut, semakin besar peluangnya untuk viral.

Kondisi ini membuat politik bergeser dari pertarungan ide menjadi kompetisi atensi. Jika dahulu parlemen berfungsi sebagai arena deliberasi kebijakan, kini linimasa media sosial kerap menggantikan peran itu. Negara pun tidak sedang memimpin opini public, melainkan dipimpin oleh opini yang diproduksi dan diperbesar oleh algoritma.

Fenomena ini berisiko menimbulkan paradoks. Di satu sisi, suara public lebih cepat terdengar dan pemerintah dipaksa responsive. Namun, disisi lain, hanya isu yang berhasil viral yang mendapatkan atensi. Isu-isu penting yang sulit divisualisasikan atau tidak populer berpotensi terabaikan. Misalnya, guru honorer di pelosok dengan gaji Rp350 ribu perbulan tidak akan menjadi perhatian nasional bila tak ada konten viral tentang kehidupannya.

Begitu pula masalah Pendidikan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) yang seringkali tidak punya akses internet. Jika bergantung pada algoritma, suara mereka akan semakin tenggelam.

Krisis Representasi Isu

Fenomena viral-based policy menimbulkan krisis representasi. Media sosial memang memberikan ruang partisipasi public, tetapi partisipasi itu tidak merata. Mereka yang melek digital dan aktif di media sosial lebih berpeluang didengar. Sementara kelompok yang termaginalkan justru makin jauh dari sorotan. Inilah yang disebut banyak pakar komunikasi sebagai bias atensi.

Baca Juga:  Memotret Jejak Kebangsaan di Pulau Hiri 

Atensi public di dunia digital tidak selalu sejalan dengan urgensi kebijakan. Masalah lingkungan, krisis pangan, atau perencanaan pendidikan jangka panjang sering kalah pamor dibanding isu yang lebih dramatis, personal dan emosional.

Ketika negara mengikuti logika viral, kebijakan cenderung bersifat jangka pendek. Pemerintah terlihat sibuk memadamkan kebakaran isu hari ini, tanpa sempat menyusun strategi sistemik untuk masa depan. Padahal, pendidikan adalah sektor yang memerlukan kebijakan jangka panjang berbasis data, bukan sekedar respons sesaat.

Dari Reaktif ke Proaktif

Kenaikan anggaran pendidikan 2026 memang patut diapresiasi. Guru dan dosen PNS akan menerima manfaat dari kebijakan tersebut. Namun, kritik tetap perlu diarahkan pada dua hal. Pertama, ketimpangan antara PNS dan non-PNS yang masih besar. Kedua, pola komunikasi pemerintah yang terkesan reaktif terhadap viralitas, bukan proaktif berdasarkan kajian.

Negara semestinya menempatkan media sosial sebagai sarana transparansi dan komunikasi dua arah, bukan sekedar alarm darurat. Komunikasi digital seharusnya menjadi jembatan untuk memperkuat evidence-based policy. Riset akademik, survey public, dan analisis data lapangan harus tetap menjadi basis utama kebijakan. Media sosial dapat melengkapi, bukan menggantikan.

Selain itu, pemerintah perlu memastikan isu-isu yang tidak sempat viral tetap mendapat perhatian. Mekanisme partisipasi public yang lebih formal dan merata harus diperkuat. Misalnya melalui forum dengar pendapat, survey kebutuhan guru di daerah, hingga kanal pengaduan berbasis digital yang responsive.

Masa Depan di Tangan Algoritma?

Kasus revisi anggaran pendidikan 2026 memberi kita cermin besar. Kita hidup di era ketika algoritma media sosial mampu menggeser fungsi parlemen. Politik dan kebijakan public bergeser dari ruang deliberasi ke ruang linimasa. Pertanyaannya adalah apakah kita rela masa depan bangsa ditentukan oleh algoritma? Apakah nasib pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat hanya akan diprioritaskan jika berhasil menjadi viral?

Baca Juga:  Weda yang Terluka

Demokrasi digital memang membuka peluang partisipasi public, tetapi negara tidak boleh menyerahkan arah kebijakan hanya pada logika trending topik. Yang diperlukan adalah keseimbangan yakni mendengar suara viral, sekaligus tetap berpegang pada data, riset dan kajian ilmiah.

Jika tidak, kebijakan public hanya akan menjadi sekadar “konten FYP”, cepat naik, cepat hilang, tanpa pembahasan yang panjang dan mendalam. Pendidikan dan masa depan bangsa terlalu penting untuk dipertaruhkan oleh logika algoritma.

—–

Stephanie Bella Saputri, S.I.Kom., M.I.Kom., adalah Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Pelita Harapan. Penulis juga merupakan Content Creator sekaligus Certified Public Speaker yang tersertifikasi oleh BNSP RI. 

Editor: Ghalim Umabaihi