Menyoal Kontrol Negara dalam Masyarakat Informasi

Penulis: Apriyanto Latukau

“Wajah berkumis hitam itu menatap ke bawah dari setiap sudut, penuh kuasa. Satu terpampang di tembok, depan rumah yang persis berseberangan. BUNG BESAR SEDANG MENGAWASI SAUDARA…”

BEGITU ungkap George Orwell dalam novel 1984. Kondisi mencekam akibat kontrol kekuasaan terhadap siapa pun dan di mana pun menjadi gambaran dalam buku setebal 397 halaman itu. Winston, sebagai tokoh kunci dalam karangan tersebut, menjalani kehidupan pada awal hingga akhir cerita penuh pengekangan.

Kebenaran hanya berasal dari satu arah, BUNG BESAR, selain dari itu akan dianggap manipulasi informasi. Teleskrin – alat perekam dan pemberi informasi melalui suara – diletakkan pada setiap sudut gedung perkantoran, jalanan, perumahan bahkan kamar dan kamar mandi pun – wilayah paling privat – dipakai untuk memantau setiap percakapan warga negara.

Sering, dan memang sangat sering patroli polisi berhelikopter menyisir rendah di antara deret-deret atap. Bahkan tanpa disadari dan menjadi teka-teki, aktivitas “Polisi Pikiran” yang entah bagaimana cara kerjanya menyadap pikiran siapa saja yang ada di sana.

Gerak, suara dan pikiran dalam pengawasan. Stabilisasi kuasa melalui sentralisasi informasi dari dan pada puncak piramida BUNG BESAR menjadi hukum yang ditegakkan dan lumrah dalam praktek berpemerintahan. Mereka tidak segan-segan akan mengganjar siapa pun yang berupaya untuk membelot dengan hukuman. Sistem yang dirancang hanya untuk melayani kepentingan kekuasaan.

Uniknya, fakta demikian tidak hanya kita temukan dalam cerita fiksi. Kehidupan dunia kontemporer dengan membludaknya sarana transfer dan akses informasi juga tidak terlepas dari praktik culas yang demikian. Informasi merupakan perkakas yang seharusnya dipakai sebagai sarana dalam mengembangkan dan menegekakkan pilar demokrasi untuk kepentingan masyarakat justru terasa hambar. Bagaimana tidak, jika tidak ingin dikatakan menguasai, instrumen itu justru digunakan menjadi alat untuk mengontrol dengan dalih menertibkan. Lagi-lagi, kebenaran hanya berasal dari satu sumber. Jika masih ragu dengan perihal demikian, ayo kita membuka data.

Baca Juga:  MUSTAHAK

Catatan SAFEnet menyebutkan, sepanjang tahun 2020 terdapat 84 kasus pemidanaan terhadap warganet. Jumlah ini meningkat hampir empat kali lipat bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebanyak 24 kasus.

Dengan dalih mengurangi maraknya penyebaran informasi palsu, UU ITE menjadi jerat yang membatasi kebebasan berekspresi. Dengan sejumlah pasal karet seperti Pasal 28 ayat 2 tentang Ujaran Kebencian, Pasal 27 ayat 3 tentang Pencemaran Nama Baik, dan Pasal 28 ayat 1 tentang Bohong Konsumen.

Tidak berhenti sampai di situ. Pada Oktober 2020 SAFEnet juga mendapati sejumlah serangan digital, karena sikap kritis terhadap cara kerja pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19 dan pengesahan UU Cipta Kerja.

Pada bulan itu juga, terjadi peningkatan lebih dari tiga kali lipat rata-rata per bulannya insiden peretasan, penyadapan, serangan DDoS (distributed denial-of-service), doxing, impersonasi, dan trolling. Dikutip dari Remotivi.or.id (edisi 20 Januari 2023), Ika Ningtyas menyebutkan kalau fenomena tersebut merupakan menguatnya kontrol negara di ruang digital dengan dalih memerangi hoaks.

Secara antropologis, Gerchanivska P. (2022) berpendapat bahwa bermula dari paruh kedua abad ke-20, umat manusia memasuki fase perkembangan informasi, di mana peran dominan bukan lagi dimainkan oleh produksi material, tetapi pemrosesan informasi.

Teknologi digital menjadi lokomotif kuat, merubah tatanan sosial dan kultural seseorang secara radikal dalam sistem kelembagaan masyarakat. Meskipun gerak perkembangannya berjalan perlahan, setidaknya tranformasi ini telah membentuk lima tingkatan budaya digital yang berpengaruh secara komperehensif, seperti perangkat digital (bahan), fungsional (lembaga sosial yang melaksanakan komunikasi), simbolis (bahasa pemrograman), kebiasaan (mental), dan nilai-nilai spiritual (rohani).

Singkatnya, transformasi di bidang komunikasi menyebabkan perubahan sifat manusia dan konsumsi budayanya. Implikasinya jelas, terjadi ketimpangan sosial yang ditentukan oleh perbedaan akses teknologi informasi dan penguasaan keterampilan penggunaannya yang menjurus pada polarisasi sosial karena ketimpangan pendapatan.

Baca Juga:  2024: Perebutan “Kursi Panas” Maluku Utara

Tidak berhenti sampai di situ, Gerchanivska menuding, problem utama dari kondisi tersebut adalah membludaknya aktivitas dalam dunia maya sehingga menjadi realitas tersendiri karena menyerap realitas nyata. Dalam kondisi demikian, seseorang dapat kehilangan kebebasan kehendaknya, dan menjadi sasaran empuk manipulasi.

Kita juga akan menemukan pendapat serupa dalam analisa F. Budi Hardiman (2021). Dia bilang, teknologi informasi dan komunikasi mengubah subjek yang dikira otonom menjadi pemain global yang terperangkap dalam jejaringan komunikasi. Singkatnya, manusia tidak sekedar mengendalikan komunikasi, melainkan juga dikendalikan oleh komunikasi.

Pembelahan eksistensial tersebut dibentuk oleh “kecanduan gawai” kemudian mengonstruk cara pandang setiap individu dalam memandang dirinya dan dunia. “Sebagai suatu proyek dari sejarah” tulis Hardiman “revolusi digital tidak akan melenyapkan sama sekali sisi gelap manusia”. Untuk menelusuri kebenaran pernyataan ini tidaklah terlalu sulit.

Kita bisa melacaknya dalam karya Harari (2017). Menurutnya, awal mula kehidupan yang semrawut dan tidak bisa terbebas dari krisis yang berkelanjutan ini, dari 70.000 tahun lalu. Kala Homo sapiens berhasil menaklukkan dunia berkat bahasanya yang unik. Mereka mengembangkan sistem bahasa yang luar biasa luwes, dengan menghubungkan sejumlah bunyi dan tanda untuk mengasilkan kalimat dalam jumlah yang tidak terbatas.

Tipikal dari bahasa yang unik tersebut, kemudian berevolusi menjadi sarana berbagi informasi tentang dunia. Bahasa tidak hanya menceritakan keadaan yang ada, melainkan berhasil mereproduksi kenyataan menjadi fiksi dan disebarkan melalui “gosip”. Menciptakan ikatan antara individu untuk bisa bekerja sama secara fleksibel dan kolektif, bahkan dengan orang asing sekalipun. Kata Harari “sapiens menguasai dunia, sementara semut makan sisa-sisa kita, dan simpanse terkunci di kebun-kebun binatang dan laboraturium riset”.

Namun, itu 70.000 tahun silam. Sekarang, pemaksaan kehendak dan penguasaan tidak sekadar menyasar alam, melainkan telah beroperasi di antara sesama manusia. Kadar kebenaran terletak pada siapa yang berkuasa. Meminjam istilah Focault, bukan berkuasa karena benar tapi benar karena berkuasa.

Baca Juga:  Buku: Sunyi dalam Keriuhan

Melalui seperangkat instrumen, regulasi dan dalih, kekuasaan bergerak menertibkan penggunaan nalar kritis. Bahkan tak tanggung-tanggung mereka melangkah jauh hingga melanggar batas-batas asasi.

Kepemilikan identitas privat juga harus berada dalam kontrol negara, melalui Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020, untuk alasan “pengawasan” pemerintah bisa mengakses data pengguna yang selama ini berada di tangan penyelenggara sistem elektronik (PSE). Dan ketika semuanya bocor oleh Bjorka, mereka malah saling lempar tanggungjawab.

——–

Apriyanto Latukau, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Bumi Hijrah.

 

*Esai ini sebagai syarat remedial nilai UAS mata kuliah Teknologi Informasi yang asuh Ghalim Umabaihi