Membaca Riwayat Berteater di Ternate

Dokumentasi Teater Anak Bangsa di Ternate (01).

Oleh: Zainuddin M. Arie*

Sore itu di Taman Nukila

Hujan sore-sore. Area Taman Nukila Kota Ternate, agak hiruk. Sejumlah orang mengenakan sadaria (pakaian adat Ternate) dan Tuala (topi, penutup kepala adat, tradisi kesultanan Ternate). Wali Kota serta sejumlah pejabat kota ini melakukan pawai, berjalan kaki dari banteng Oranje ke Taman Nukila, mengenakan berpakaian adat Ternate. Taman di tengah kota ini dipadati masyarakat kota. Sebuah panggung berdiri di tengah jalan, menghadap ke selatan.  Di selatan, dua unit tenda putih berdiri menghadap utara ke arah panggung, diisi sejumlah kursi berbungkus kain putih dan delapan meja bundar, di atasnya terhidang sejumlah makanan dan panganan khas Ternate dengan hiasan menarik bagi tamu VVIP.

Meski rerintik berubah hujan, sejumlah anak-anak dan remaja tampak antusias, tak terkalahkan oleh hujan yang mulai membasahi kabaya se rapi (kebaya dan kain) yang dikenakan anak-anak perempuan Juga anak-anak lelaki yang mengenakan kin se tuala lipa (baju yakin, takoa dan topi adat Ternate), mereka bersiap-siap pada posisi dan formasi yang telah diatur dan ditentukan di sekitar arena yang dipersiapkan. Ruas jalan sepanjang lebih 70 meter dikosongkan, tertutup bagi umum. Sisi kiri dan kanan jalan diberi pembatas dengan tulisan “Festival Kora-Kora 2024”.

Dari panggung yang dipasangi videotrone, terdengar sinopsis disampaikan master of ceremony, disusul biola yang dimainkan Ozi Malamo Huvelmann, ditingkahi merdunya filutu (suling) yang ditiup Lazuardy dan tabuhan tifa Adi. Di arena bagian depan, Rezky Pratma dan Arya Cesa, dua pemain dari TABS Bacan, mengenakan kaos hitan bertuliskan “Akar-akar itu jiwa, akar-akar itu martabat, akar-akar itu riwayat pada tanah rempah berdarah, pada negeri rempah perlawanan” sebuah ungkapan akan eksistensi negeri rempah yang sempat dirampok oleh penjajah. Keduanya mengenakan tolu (caping) di kepala, masuk memikul karung goni. Pada mulut karung yang diikat mencuat reranting berdaun dan berbunga cengkeh. Keduanya menempatkan karung goni berisi reranting dan bunga cengkeh dan buah pala itu di depan arena kemudian keluar meninggalkan arena.

Dokumentasi Teater Anak Bangsa di Ternate (02).

Musik berubah memerdengarkan musik bergaya Eropa.  Pada videotrone, tayanglah kapal-kapal Eropa, dari lautan luas, datang. Kapal-kapal makin mendekat.  Lalu muncullah orang asing  (Eropa), dengan congkak dan kejam memerintahkan kepada rakyat agar mengumpulkan cengkeh dan  pala sekaligus membawa akar-akar pohon cengkeh kepada mereka. Suatu permintaan tak masuk akal yang dibantah dan ditentang oleh para balakusu se kano-kano (rakyat yang mengabdi kepada sultan) di Moloku Kie Raha (empat kerajaan di Maluku Utara). Terjadilah konflik hingga menyeret rakyat ke dalam kekerasa, penindasan, kekejaman oleh orang-orang Eropa yang rakus. Inilah tindakan dan strategi Belanda yang bertujuan memberantas pohon-pohon cengkeh dan pala (dengan membeli akar-akar pohon cengkeh). Dalam sejarah tindakan ini terkenal dengan nama Hongi Tochten selain tindakan Ekstirpasi. Strategi Belanda agar rakyat negeri para raja ini mengalami pelemahan ekonomi, agar perlawanan rakyat dapat dipatahkan melalui tindakan Hongi itu.

Lalu muncullah para pemain teater, yang mengusung pementasan bertajuk “Hongi, Cerabuti Akar-Akar Jiwa”, karya Zainuddin M. Arie. Saat-saat selanjutnya semua pemain pendukung pertunjukan telah mengeluarkan kemampuannya masing-masing, sehingga memancing emosi penonton. Saat awal pertunjukan hingga ending, saya berada di di sisi timur tenda VIP mengawal pemain Ifah yang memberi aba-aba gerak pada puisi “Bumi cengkeh, bumi pala”, dst; saya melihat Walikota Ternate serta pejabat Forkopinda yang menonton terkesima, mereka terdiam, tersenyum sesekali tertawa dan bertepuk tangan. Mereka tidak mengalihkan pandangan dari action yang diperankan anak-anak TAB tepat di depan mereka, hanya dalam jarak sepuluh meter.

Mereka semua terhipnotis, larut dalam pertunjukan.  Di depan tenda sisi timur, terjadi pelemparan janur ketupat ke arah pemeran orang asing berbaju merah. Pelemparan berikutnya berupa gelas air mineral dan selanjutnya masih ada lagi satu pelemparan.  Di tempat yang sama, emak-emak terbawa emosi dan agak histeris melihat Aswinto melakukan trick adegan keras dengan pemukulan, penembakan dan tendangan-tendangan ke arah anak-anak kecik dan terutama terhadap April  (pemain dari TABS Bacan) dan penembakan terhadap Abdillah (pemain TAB dari Hiri).    Teriakan-teriakan kesal, jengkel dan marah pun muncul dari penonton (emak-emak).  Tak ada orang yang ribut di luar karena pengaruh pertunjukan.  Di bagian selatan tenda, yang sebelumnya kosong,  kemudian terisi penuh hanya beberapa saat setelah pertunjukan memula.  Hampir semua mereka yang berdiri maupun yang duduk mengarahkan Hpnya ke pertunjukan. Mereka mengambil foto dan video, tak mau kehilangan momen teatrikal yang dimainkan TAB.

Meski  mereka bermain di atas genangan air tapi tak satu para pendukung “Hongi: Cerabuti Akar-Akar Jiwa” ini engggan berbasah-basah dan berkotor-kotor. Malahan, totalitas peranan mereka itu membangun kesan yang sangat hidup pada setiap adegan yang mereka bangun.

Catatan di atas adalah semacam reportase pertunjukan teater yang telah dilaksanakan pada jumat, 23 Agustus 2024. Suatu pertunjukan teater yang ditampilkan oleh Teater Anak Bangsa dalam kemitraannya dengan pihak Dinas Pariwisata Kota Ternate, pada Festival Kora-kora tahun 2024 di Taman Nukila, Kota Ternate, disaksikan oleh Walikota Ternate serta sejumlah pejabat dalam Forkopinda Kota Ternate dan masyarakat kota ini.

Sebagai masyarakat yang telah lama berbudaya, Orang Ternate telah memiliki sejumlah keterampilan berkesenian, seperti tarian, upacara khas, kuliner serta produk budaya lainnya yang ditampilkan bagi kalangan mereka maupundiperuntukkan sebagai suguhan bagi orang-orang yang datang dari negeri lain ke daerah ini.

Kesenian di Ternate

Setiap suku bangsa memiliki budaya. Unsur-unsur kebudayaan, sebagaimana yang dikemukakan Suleman (2000:13), disebutkan unsur bahasa bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi dan kesenian.

Semua unsur budaya itu sangat kental dengan kehidupan manusian dan tentunya tak dapat dipisahkan dari sukubangsa dan kehidupan  manusia.  Dua unsur yang kental dan sangat dikenal oleh masyarakat suku bangsa (khususnya Ternate) itu adalah bahasa dan seni atau kesenian. Seni atau kesenian merupakan cabang budaya yang telah lama dikenal oleh masyarakat Ternate.

Dokumentasi Teater Anak Bangsa di Ternate (03).

Sandiwara, drama, atau teater dikenal orang Ternate dalam istilah duniru  yang diartikan permainan (play, drama), atau sandiwara. Secara praktis duniru  dapat dikembangkan dalam seni pada umumnya, yang mengenalkan aktifitas bermain seperti musik dan tari.  Duniru juga dapat diartikan sebagai permainan anak-anak, atau semacam olah raga atau olah ketangkasan yang menggunakan keterampilan fisik, semeisal kaki (menendang, menyepak), tangan (melempar, menagkap). Ahmad (2023:57) mengartikan duniru sebagai permainan, sandiwara.

Orang Maluku Utara memiliki teater rakyat, yang secara tradisional dikenal dengan nama Cakaiba dan Salai Jin. Pertunjukan Cakaiba sebagai seni pertunjukan tradisi, dikenal dan diselenggarakan di  Gamarange, atau tiga negeri, yakni Mobon (Maba, Halmahera Timur), Poton (Patani, Halmahera Tengah) dan Were (Weda, Halmahera Tengah). Sedangkan Salai Jin (pesta tarian jin, yang dilakukan dengan tarian tanpa henti selama penari berada dalam keadaan trens) dikenal di Ternate dan Tidore serta beberapa daerah lain di Maluku Utara.  Cakaiba diselenggarakan secara tradisional hanya pada bulan maulis (rabiul awwal, memeringati kelahiran Rasulullah saw).  Sedangkan salai jin dilaksanakan untuk kepentingan ritual pada kampong atau hajatan masyarakat itu. Salai Jin atau Tarian Jin yang telah diadat-istiadatkan secara turun temurun selama berabad-abad oleh komunitas-komunitas tertentu di Tidore khususnya di kelurahan Rum, Ome, Afa-afa dan Dokiri (Marabessy,2004:21).

Pada masa akhir penjajahan Belanda, sekitar tahun 1940-an,  di Ternate sudah dikenal kata toneel, sebagai seni pertunjukan atau seni peran, seperti yang pernah diusahakan oleh A. Hamid Muhammad, di kampong Kasturian dan Salero, Ternate Utara. Mereka mengusahakan pertunjukan ini dengan bahan (materi) dan peralatan seadanya, menggunakan kain-kain yang biasa dikenakan oleh ema-emak pada masa itu (kain kebaya). Kain-kain dipakai sebagai screen  pada bagian depan panggung yang menghalangi membatasi pandang antara penonton dan bagian dalam panggung.  Pertunjukan ini kemudian menghasilkan sedikit cuan untuk memulai menunjang pembukaan sekolah rakyat pada masa itu secara darurat. Sekolah rakyat itu kini berkembang menjadi dua sekolah dasar di kelurahan Salero kini.

Seiring perjalanan masa, kelompok-kelompok atau pertunjukan-pertunjukan toneel seperti ini masih dikenal namun kemudian berubah dengan istilah drama, terutama setelah masa kemerdekaan.  Orang Ternate menyebut pertunjukan ini dengan bermain drama. Mereka bermain di panggung, menggunakan naskah.

Baca Juga:  Jalan Panjang Membangun Ternate

Pada era tahun 70-an itu pertunjukan seni lebih banyak didominasi oleh pertunjukan seni tari atau kegiatan menari tarian tradisi, misalnya tari gala, tari lala, tari dana-dana, tari tide, tari togal (di tengah masyarkat pulau Makean) yang diiringi musik tradisional menggunakan  alat-alat musik (instrument) tradisional lok al seperti (terutama) tifa, saragi (gong), filutu (suling), fiol (biola tradisional), marawas (marwas).

Selain kegiatan menari tersebut, khazanah kesenian didominasi oleh pertunjukan seni musik atau orkes. Salah satu orkes yang cukup terkenal pada masa sebelum tahun 70-an adalah orkes EL Morogam, yang menyanyikan lagu- tempo doeloe (menurut ukuran kini). Kemudian dalam dunia seni musik dikenallah kelompok musik yang disebut band. Di Ternate band yang sangat dikenal adalah band Karya Nada. Band ini kemudian dikenal di kalangan pemuda banhkan tumbub pula di sekolah (SMA) saat itu.

Band menjadi kelompok musik yang menjamur dan sangat digandrungi kalangan pemuda. Penyanyi-penyanyi tumbuh di sana.  Pengaruh grup-grup musik seperti Koes Bersaudara, kemudian Koes Plus, The Mercys, Panbers, D’Lloyd, seolah tumbuh bersama (diakhir masa) popularitas Lilis Suryani, Koes Hendratmo, Ernie Johan dan biduan-biduan.

Teater di Ternate

Sebagaimana dikemukakan di atas, pertunjukan drama sudah dikenal orang Ternate sejak masa akhir penjajahan Belanda di pulau rempah ini. Masyarakat telah biasa menonton drama yang dimainkan oleh pemuda kampong atau anak sekolah  (siswa). Namun pada masa sekitar akhir tahun 1960 hingga  akhir tahun 70-an, pertunjukan drama sangat jarang dilakukan. Panggung pertunjukan drama mengalami semacam masa kosong.

Pada tahun 70-an kosakata teater sangat asing di telinga masyarakat.  Kosa kata ini hanya hinggap di kamus dan perpustakaan. Kampus dan sekolah hanya mengenalnya sebagai suatu teori belaka. Orang Ternate tak begitu akrab dengan kata ini, kecuali menemukannya di gedung bioskop yang pernah ada di kota ini, seperti Ternate Teater. Kata ini secara praktis (saat itu) hanya dikenal dalam kaitannya dengan gudung bioskop tempat pemutaran film, sementara dua bioskop lainnya dinamakan bioskop Benteng dan Bioskop Istana. Satu-satunya gedung pemutaran film yang menggunakan kata teater hanya (bioskop) Ternate Teater yang beraktivitas di jalan stadion itu. Nama ini digunakan sebagai bioskop baru yang sempat hadir di kota ini.

Mengurai tapak-tapak teater di Ternate, secara saya tak bisa lepas dari pengalaman pribadi pada masa-masa mengusahakan atau mengenalkan dunia teater kepada publik hingga akhirnya mendirikan kelompok teater secara permanen di kota rempah ini.  Hal ini mau tak mau dikemukakan disini (mungkin agak subyektif) karena tak ditemukan kelompok teater secara permanen di Ternate yang dapat disajikan sebagai objek uraian atau sebagai pembanding.  Nanti beberapa tahun setelah berdirinya teater ini  barulah bermunculan teater lainnya meramaikan dunia seni pertunjukan di negeri para raja ini.

Tapak Kelompok Teater di Ternate

Sebelum tahun-tahun 1980, pertunjukan drama atau  kelompok pertunjukan drama dilakukan oleh beberapa orang hanya untuk sekali pertunjukan dan setelah itu tak dilanjutkan alias bubar karena mereka tidak mendirikan kelompok teater tertentu atau kelompok drama tertentu yang bersifat tetap atau sebagai sebuah lembaga. Pertunjukan mereka dimaksudkan hanya hanya untuk atau sebagai pelaksanakan pertunjukan itu saja, bukan dilakukan oleh suatu lembaga sehingga tidak berkelanjutan. Kelompok tak tetap ini dapat ditemukan di kampung-kampung oleh (sekelompok) anak-anak muda di Ternate. Jadi tak ditemukan kelompok drama atau teater yang dibentuk sebagai sebuah lembaga dengan aktivitas pertunjukan teater yang berlangsung secara berkala atau terus menerus yang dilakukan oleh kelompok teater yang bersifat tetap.

Dokumentasi Teater Anak Bangsa di Ternate (04).

Kelompok-kelopok ini tak bernama secara parmanen atau memiliki nama hanya berkaitan dengan judul atau isi pertunjukan itu saja yang kemudian tak digunakan lagi karena tak beraktivitas lanjutan.  Bahkan keadaan kelopok seperti ini masih ditemukan pada tahun-tahun belkangan ini yang terjadi pada kelompok yang menyelenggarakan pertunjukan sekali dan setelah itu tak berkelanjutan atau tak terdengar lagi, meskipun orang-orang atau para pelaku dan pelaksananya masih ada.  Berbagai alasan melatari ketakberlanjutan ini, antara lain, kesibukan pekerjaan, studi keluar daerah, menikah atau berkeluarga serta keadaan-keadaan lainnya termasuk merasa tak mendapatkan keuntungan finansial dari kegiatan pertunjukan yang menjamin.

Sebelum tahun 1980, sebuah teater mulai dirintis di Ternate.  Mula teater ini diusahakan secara mandiri dan secara individual. Cukup sulit menggerakkan anak-anak muda atau remaja yang belum kenal dunia teater karena sebelumnya mereka lebih mengenal dunia seni tari dan musik sebagai wahhana berkesenian. Apalagi mengajak orang yang akan mendirikan teater secara parmanen. Dibutuhkan kerja keras dan tak kenal lelah, dengan sejumlah pengorbanan (waktu, tenaga dan cuan).

Setelah melewati pertunjukan-demi pertunjukan dan metamorphosis dari kelompok pra teater,  barulah pada tahun 1980, terbentuklah teater yang bernama Teater Anak Bangsa. Inilah teater pertama di kaki Gamalama yang dimaksudkan sebagai sebuah kelompok teater yang bersifat tetap atau permanen.  Teater ini kemudian lebih menguatkan diri dan memastikan kelompoknya dengan pertunjukan yang digarap untuk kalangan yang lebih luas di Kota Ternate dan Maluku Utara, sekitar tahun 1983/1984.

Asghar Shaleh, seorang wartawan, pengamat sosial dan penulis, menuliskan tentang Teater Anak Bangsa dalam paparannya yang cukup panjang, mengemukakan, di era 80-an, panggung teater masih sepi. Orang ramai lebih mengenal drama. Arie muda yang baru menapak kaki di bangku kuliah IAIN Ternate memulai aktivitas seni drama. Ia “melatih” tujuh pelajar untuk bermain drama. Lahirlah kelompok Al-Kahfi di tahun 1979 yang kemudian bermetamorfosis menjadi kelompok An-Nahl (1984) yang dihuni Rizal Madjojo, Syahnawi Marsaoly, Aslan Abbas, Helmi Kasim,  Sri Haryanti Hattari, Muhammad Soamole, Mahmud M. Zen (alm), dkk.

Saat beberapa aktifis Pelajar Islam Indonesia seperti Ishak Naser, Abdullah Bandang, Jufri Dukomalamo dkk membentuk kelompok kajian Islam bernama Raudah Rabbi Radyyah (RRR) di tahun 1987, aktivitas seni juga ikutan bergeliat. Dari kajian Islam itulah, lahir naskah drama pertama Arie berjudul “Menanti Kelahiran” yang terinspirasi dari kisah kelahiran Nabi Muhammad SAW. Drama ini mentas berpindah-pindah dari teras ke teras rumah warga. Beberapa kali ditolak dengan siraman air comberan. Mereka tak menyerah. Tak jarang untuk mentas harus mengemis kesempatan kepada panitia hari besar Islam. Lalu imbalan yang diterima kadang hanya bergelas teh manis.

Nama RRR makin dikenal luas saat naskah berikut karya Arie berjudul “Budak Kebenaran Tanah Kering” dipentaskan dimana mana. Bahkan hingga ke Jailolo. Tak hanya menulis, Arie juga melatih dan menyiapkan segala sesuatu sebelum pementasan. Selain Abdullah Bandang (politisi), muncullah nama Fahima Abdul Gani, Ramlah Abbas, Sahril Hi. Rauf dan Gufran Ali Ibrahim. DR. Fahima (dosen IAIN Ternate) dan Sahril (Anggota DPRD Halmahera Utara) belakangan berjodoh dan menikah. Ramlah pindah ke Manado dan berkarir di Kanwil Agama Sulawesi Utara. Sedangkan Prof. Gufran saat ini jadi Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra di Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan. Ada pula nama Henny Sutan Muda (Wakil Ketua DPRD Ternate), Sri Hatary (ASN) dan Junaidy Ishak (mantan petinggi UMMU).

Di belakang panggung RRR, Kasman Hi. Ahmad (mantan Rektor UMMU) dan Darsis Huma (Dosen IAIN Ternate) memperkuat kajian dan kesiapan sebelum pentas. Lebih dari 30 kali teater yang terinspirasi dari kisah perjuangan Bilal bin Rabah ini dipentaskan. Padahal saat itu, pementasan teater belum akrab dan nyaris tak dikenal di tengah masyarakat seni. “Saya meminjam pakaian ihram milik jemaah haji yang baru kembali untuk digunakan sebagai kostum”, aku Arie.

Tak hanya kendala perlengkapan, naskah drama harus dibuat sendiri. Di ketik dengan mesin tik besar yang diberi nama “baruna bakti” – meminjam nama kapal perintis saat itu. Abdullah Bandang memberi testimoni sederhana. Arie seperti punya tangan malaikat saat menyusun naskah drama karena tak butuh ruang atau suasana tertentu. Di mana saja, naskah drama atau puisi bisa terlahir begitu saja. Semangat berkesenian ternyata terus tumbuh di tengah keterjepitan. Sebagai “guru”, Arie tak membatasi anak asuhnya untuk fokus pada seni tertentu. Semua dibiarkan mengalir.

Baca Juga:  Maulid Nabi dan Tradisi Memukul Mengenakan Coka Iba di Kecamatan Patani

Tahun 1993, para “bintang panggung” yang bermunculan sejak zaman Al Kahfi hingga RRR berkumpul. Arie yang baru pulang berpetualangan seni dari Jakarta mengajak mereka membentuk komunitas seni baru. Namanya Teater Anak Bangsa yang resmi dideklarasikan tanggal 17 Agustus 1993. Nama TAB cepat terkenal. Efeknya tawaran mentas makin banyak. Ratusan pelajar dan pemuda mahasiswa juga ikut bergabung. Salah satu naskah teater yang viral kala itu adalah “Matinya Sang Tercinta”. Ceritanya fiksi tentang cinta yang kandas karena beda status sosial antara dua sejoli. Pemainnya antara lain Lutfi Ayub (mantan pemain Persiter Ternate) dan Kurnia Ali Syamsi (guru SMP). Lakon ini turut membidani lahirnya penyanyi perempuan terkenal, Suria A. Hasan (ASN dan aktifias perempuan) yang saat itu menyanyikan soundtracknya.

Ada juga pentas “Merahku Putih, Putihku Merah” yang manggung di Toboko usai konflik membelah Ternate awal tahun 2002. Teater ini dibuat untuk merajut kembali kebersamaan yang terkoyak akibat konflik sosial. Arie berkontribusi besar dengan naskah dramanya. Tak terhitung banyaknya. Ia sendiri bahkan lupa. Saat gerakan mahasiswa dan elemen politik bergerak menuntut pemekaran propinsi Maluku Utara di tahun 1999, TAB juga ikut berkontribusi dengan mementaskan drama “Seribu Langkah Satu Cita” di depan gedung DPRD kabupaten Maluku Utara. Ini satu satunya pentas teaterikal yang menuntut pemekaran propinsi. Setahun sebelumnya, saat perayaan ulang tahun mingguan Ternate Pos, Arie dan krunya juga menampilkan pentas teaterikal spektakuler berjudul “Khabar, Khabar, Khabar” di lapangan Gelora Kie Raha, di bawah terik siang kota.

Selain ratusan naskah drama yang lahir dari ide kreatifnya, ratusan puisi juga lahir dan hidup bersama waktu. Yang paling fenomenal adalah puisi “di sini langkah tak boleh berhenti”. Puisi ini jadi puisi wajib di beberapa panggung seni. Ada juga puisi “Ini Ternate” yang “dibeli” Walikota Syamsir Andili saat itu dan puisi berjudul “Lelangkah Lelaki Alam” yang dibuat untuk merayakan 100 tahun Letter From Ternatenya Alfred Russel Wallace. Arie juga menyumbang sejumlah puisi dalam buku antalogi puisi antara lain : Narasi Tanah Asal, Apije, Kitab Halmahera dan Risalah Para Kapita. Saat ini, ia tengah menyiapkan buku antologi puisi karya sendiri. Judulnya Alif, Alam Ma Kolano.

Melangkah Keluar Kandang

Teater tak hanya digetarkan di Ternate, teater perkenalkan juga di Sula melalui latihan-latihan hingga pementasanya dilakukan di Sanana, ibu kota kecamatan saat itu.   Latihan dan pementasan saat itu mengusung judul “Sanohi Gareha” yang berbicara tentang kekerabatan social secara tradisional dalam masyarakat antara Face, Falahu, Fagudu dan Mangon. Empat sub suku Sula yang hidup di tiga pulau, yakni pulau-pulau Sulabesi, Mangoli dan Taliabu.

Pementasan ini didukung oleh seniman-seniman musik yang gawangi oleh Erik Anwar (alm) bersaudara dengan vocal dan keterampilan gitarnya yang apik. Pementasan yang dilaksanakan di gedung MTQ (gedung serbaguna) itu disaksikan oleh para pejabat pemerintah yang berasal dari Kota Ternate dan masyarakat Kota Sanana.

Selain di Ternate (Maluku Utara), suami dari Fauziah Basalamah ini juga terlacak jejak dan karyanya di tanah Jawa. Saat menyelesaikan sekolah paska sarjana di Bandung, Arie membentuk komunitas seni Twala yang beranggotakan pelajar mahasiswa asal Maluku Utara. Mereka mentas di beberapa tempat di tanah sunda, antara lain di Sawung Ujo, sanggar seni angklung yang terkenal itu. Lalu saat mampir di Surabaya dalam perjalanan pulang ke Ternate, Arie juga mendirikan dan melatih sebuah kelompok drama. Di kota inilah, naskah drama “Risalah Zaman Berzaman” yang legendaris itu ditulis dalam versi Sula dan dipentaskan.  Maklum, komunitas yang dibentuk berisi pelajar mahasiswa asal Sula yang kuliah di ujung timur pulau Jawa.

Selesai kuliah, Arie balik ke Ternate dan jadi dosen pengajar di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara. Darah seninya tak mati. Ia bergabung dengan Federasi Teater Indonesia. Lalu secara masif ikut berkontribusi nyata dengan membentuk banyak komunitas seni di sekolah dan kampus. Ada Teluku Art punya SMA Negeri 4, Fikes Art, Gersima dan terakhir Lesbumm di kampus UMMU. Karena pernah mengajar di Unkhair, IAIN Ternate dan Poltekes Ternate, virus berkesenian juga menyebar dan berkembang di kampus-kampus itu. Naskah “Risalah Zaman Berzaman” versi Indonesia beberapa kali dipentaskan.

Pementasan terakhir yang dilakukan TAB berlangsung pada 23 Agustus 2024 pada pembukaan Festival Kora-Kora yang difasilitasi Pemerintah Kota Ternate melalui Dinas Pariwisata Kota Ternate melalui suatu kerjasama kemitraan dengan TAB sebagaimana dikemukakan di awal tulisan ini.

Melalui kontak dan jalur informal maupun formal teater mulai masuk ke sekolah-sekolah. TAB diterima kepala sekolah dan OSIS SMAN 8 Kota Ternate, dan mengenalkan dunia teater kepada para siswa sekolah ini yang saat itu beralamat di kelurahan Stadion. TAB juga membina siswa SMA Negeri 4 Kota Ternate, yang didukung  oleh dua orang guru yang salah satunya adalah guru seni dan yang lainnya adalah guru bahasa.

Merasa tertarik dan penting akan dunia teater bagi pembinaan siswa, kepala SMA Negeri $ Halmahera Timur di Ekor, merasa perlu mengundang Teater Anak Bangsa agar dapat melakukan latihan-latihan bagi siswa sekolah. TAB mengirim tiga personnya untuk melakukan tugas dan permintaan kepala sekolah ini.  Kerjasama ini berlangsung pada dua tahun berturut-turut pada kegiatan-kegiatan perkemahana pramuka yang diselenggarakan oleh beberapa SMA. Pembinaan teater untuk SMA Negeri 4 Halmahera Timur ini menghasilkan sebuah pertunjukan teater.

Beberapa tahun kemudian kegiatan serupa masih dilaksanakan bersama Teater Anak Bangsa dengan kepala sekolah yang baru. Kali ini pertunjukan dilaksankan pada  peringatan HUT Kemerdekaan RI yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kecamatan setempat. Pertunjukan yang dilaksanakan saat usai upacara itu, berlangsung di lapangan upacara, mengelilingi tiang bendera yang berkibar sang merah putih. Pertunjukan ini memeroleh apresiasi Pemerintah Kecamatan dan masyarakat umumnya.

TAB pun sempat diundang memberikan pembinaan siswa pada SMA Muhammadiyah di kecamatan Wasile, Halmahera Timur, di daerah transmigrasi pulau Halmahera.  Tiga personil TAB dikirm memenuhi hajat ini yang disambut hanya oleh siswa, guru dan terutama kepala sekolahnya. Dibutuhkan lebih seminggu TAB berada di kaki gunung Wato-wato ini dalam membina seni peran yang berujung dengan pertunjukan seni.

Teater juga memasuki sekolah lain yakni SD Negeri 38, SMA Alkhairaat Kota Ternate, SMPIT. Teater menyebrangi laut dan melaksanakan pertunjukan tiga tahun berturut turt di desa Kawata, Kecamatan Mangoli Utara Timur, sejak 2020-2022, juga pada festival Desa Nelayan di pulau Pastabulu, Mangoli Utara pada tahun 2022.  Teater diperkenalkan pula melalui pembacaan puisi secara teatrikal pada Festitival Kora-kora di Ternate tahun 2023 dan 2024, Festival Marabose di Bacan Halmahera Selatan, 2023 dan 2024,  Festival Kampung Nelayan Tidore tahun 2023.

SesungguhnyaTAB berdiri dan berkiprah di  lingkungan anak-anak muda yang gemar mengonsumsi miras  bahkan narkoba dan menjadi target pihak kepolisian. Tapi abang tara (tidak) terpengaruh deng (dengan) keadaan di luar sanggar.  Teater Anak Bangsa itu su (sudah)  merevolusi perubahan sikap pemuda Ternate dari kebiasaan bermabuk-mabukan, teler hingga penggunaan narkoba menjadi pemuda yang meninggalkan kebiasaan itu.  Setiap kali torang (kami) datang, maso (masuk) ke sanggar abang, tarada (tak ada) seorang yang baminung (minuman keras).  Waktu itu abang paleng karas (paling disiplin).

Torang samua tunduk dan melaksanakan aturan yang abang su (sudah) gariskan di Teater.  Pas torang buka mata nae (saat kami sadar) torang lia abang su bikin teater dan banya ana-ana iko abang pe jejak (kami melihat abang telah menjalankan kegiatan berteater dan banyak anak-anak yang mengikuti jejaknya abang). Begitu tuturan Isbisa, pemusik Kaste (Wawancara, Fort Oranje, Ternate: 29 Agustus 2024). Is menambahkan, Abang Arie telah melahirkan banyak seniman-seniman muda yang hari ini banyak berkarya tak hanya di bidang teater di kota ini serta di tempat lain.

Lebih dua puluh lima tahun kemudian setelah keberadaan Teater Anak Bangsa, tepatnya pada tanggal 18 November 2005, berdirilah Teater Gumutu di Ternate tepatnya di Salero oleh beberapa anak muda Ternate.

Baca Juga:  Pelajaran dari Tomalou

Gumutu adalah istilah local, yang berarti ijuk dari pohon enau. Gumutu sendiri dapat dijadikan tali (dimasa lalu masyarakat menggunakan gumutu sebagai tali, namanya tali gumutu, atau tali yang terbuat dari ijuk).

Ijuk memberi inspirasi filosofis, bahwa ijuk yang halus dan lemah itu bila dihimpun akan menjadi sapu (sapu ijuk) yang dapat dimanfaatkan membersihkan ruang atau keadaan yang kotor. Ijuk juga dipintal oleh masyareakat lokal dapat menjadi tali yang kuat. Ijuk adalah bahan yang ramah lingkungan dan sudah dikenal orang Ternate (Maluku Utara) sejak dahulu. Jadi filosofi ijuk yang menjadi dasar kelompok teater ini adalah bersatu melahirkan kekuatan.

Teater ini didirikan oleh beberapa anggota teater yang telah berpengalaman di Makassar melalui Teater Merah Putih.  Para  pemuda antara lain Ismet Sahupala, Sofyan Umasangadji (penggagas), Eddy Hattary, Opi Andili, Mulya Safitri menjadi para pendiri teater Gumutu di Salero. Mereka yang mendirikan teater ini kemudian merekrut para remaja Ternate yang mendaftarkan diri sebagai anggota.  Teater Gumutu telah berkali-kali mementaskan teater di Ternate dan di Halmahera Utara.  Teater yang bermarkas di jalan AM. Kamaruddin, Kelurahan Salero ini cukup memberi warna dalam perkembangan teater di Ternate.

Berkreasi secara otodidak menjadi latar hajat berteater para pendiri teater Gumutu, apalagi di dalamnya terdapat dua personil yang merupakan alumni teater Merah Putih saat mereka masih kuliah di Makassar. Mereka itu, Ismet Sahupala, Eddy Hattary dan Mulya Safitri merupakan modal bagi keberlangsungan teater ini dengan segudang pengalaman mereka. Dengan sangat yakini Gumutu tampil meramaikan jagat teater di Kota Ternate, dengan target mewujudkan implementasi ilmu dan keterampilan teater yang mereka miliki dan membagikannya kepada anak-anak muda Ternate yang saat itu belum mengenal dunia seni peran ini.

Debut pertunjukan yang dilakukan Gumutu, adalah pementasan teater bertajuk “Wajah-wajah Kota” yang ditulis oleh Eddy Hattary yang dengan gagah berani menampilkan karya dan pengalamannya. Karena tak ada gedung kesenian di Ternate, maka hajat pementasan teater ini dilaksanakan di aula STM Negeri Ternate, di kelurahan Dufa-dufa, Ternate Utara, Kota Ternate. Segala kebutuhan oementasan duiusahakan sendiri, secara manual dan direkayasa sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan pementasan.

Segala kebutuhan teater Gumutu memang harus diusahakan sendiri dengan modal seadanya, atau patungan antar sesame mereka (pendiri dan beberapa teman) karena saat itu taka da sumber dana bagi pertunjukan dan kehidupan teater ini.   Beberapa proposal yang diajukan ke beberapa dinas di kalangan Pemerintah tak membuahkan hasil sedikit pun. Hanya ada satu orang dari dinas dari Pemerintahan yang sempat menonton pertunjukan teater Gumutu, itu pun karena dia memang seorang pemain teater dulunya. Kehadirannya pada pertunjukan bukan atas nama dinas tertentu tetapi semata karena pernah terlibat dalam kerja seni peran ini. Selebihnya tak seorang pun menyempatkan diri menonton.  Jadi, sama seperti Teater Anak Bangsa yang hadir sebelumnya di kota ini, Gumutu pun harus berjuang sendiri bermodal dengkul dan tak boleh bermimpi mendapatkan suntukan dana sebagaimana yang mereka inginkan.

Dengan gaya teateralnya mereka menggebrak publik Ternate melalui sentuhan garapan Ismet Sahupala, bersama Eddy Hattari, Tosse, Fitto dan kawan-kawan.

Pada perkembangannya teater secara perlahan teater pun mulai dikenal masyarakat dan berdampak pada munculnya kelompok-kelompok yang mencoba berkiprah dalam bidang satu ini, tak peduli apakah memang benar-benar mementaskan teater atau sekedar pertunjukan buatan sendiri yang diberi label sebagai teater.

Di kampus-kampus tumbuh pula teater yang ngetrend saat itu juga sebagai pengaruh popularitas Teater Anak Bangsa.  Seperti di IAIN Ternate, kegiatan-kegiatan pementasan berlangsung dalam kampus yang diminatai oleh civitas akademika. Acara pementasan terutama pada saat ramah tamah wisuda dan ulangtahun kampus. Ada pula teater Laras di Fakultas Sastra, Unkhair Ternate yang melalukan kegiatan-kegiatan pementasannya di dalam kampus maupun di luar kampus. Walau bermarkasi di fakultas Sastra, namun anggota teater ini berasal dari berbagai fakultas lainnya. Keberadaan teater pada kedua kampus ini tak lepas dari usaha dan gerakan yang berasal dari personil Teater Anak Bangsa. Dengan demikian, Teater Anak Bangsa  telah berekspansi masuk kampus dengan tetap bermarkas di luar kampus sebagai mana awalnya. Tentunya kehadiran teater di kampus-kampus telah memberi alternative lain dalam aktifitas berkesenian bagi mahasiswa.

Gedung Kesenian,   Mimpi Teater

Pemerintah dan masyarakat Ternate di masa lalu menyadari betul akan kebutuhan gedung sebagai sarana pelaksanaan berbagai kegiatan termasuk kegiatan kebudayaan, termasuk kegiatan kesenian. Dari kesadaran akan kebutuhan ini telah didirikan sebuah gedung yang cukup represntatif menurut ukuran saat itu. Maka sejak tahun 1960 hingga tahun 1980-an Ternate masih memiliki sebuah Gedung Kesenian yang dibanggakan. Gedung kesenian ini digunakan untuk berbagai kegiatan seremony, terutama kegiatan kesenian  baik oleh Pemerintah maupun kalangan masyarakat. Gedung Kesenian yang lumayan besar ini telah akrab dengan masyarakat dan menjadi milik Ternate yang dibanggakan.  Keberadaan sebuah gedung kesenian  seperti itu merupakan cermin kepedulian Pemerintah dan masyarkat dalam bidang kebudayaan terutama kesenian.  Artinya Pemerintah Daerah dan masyarakat memiliki kesadaran yang sama akan urgensi bidang kebudayaan di tengah kota yang bertumbuh.

Gedung dengan panggung dan kursi-kursi yang berderet dalam kapasitas ratusan kursi saat itu menjadi tumpuan harapan bagi kegiatan=kegiatan kesenian baik yang diselenggarakan oleh masyarakat kota maupun digunakan oleh pihak tamu, misalnya dalam kegiatan perlombaan seni setingkat kabupaten saat itu. Gedung ini pernah digunakan oleh tim tari Bali yang mementaskan tari Bali di Ternate, sebelum tahun 1970.

Namun pada tahun 80-an gedung kesenian kesayangan warga Kota Ternate ini kemudian dirobohkan dan di tempatnya didirikan gedung DPR Kabupaten Maluku Utara (sebelum pemekaran menjadi Provinsi Maluku Utara).  Sejak saat itulah warga Kota Ternate tak lagi memiliki sebuah gedung kesenian sebagaimana yang pernah dimiliki dulu.  Sampai saat ini  kerinduan warga masyarakat, terutama para seniman akan memiliki gedung kesenian yang representatif sebagai pengganti gedung sebelumnya hanyalah bayang-bayang  dalam mimpi yang luka.   Simbol kepedulian akan budaya pun diruntuhkan dan didirikan bangunan untuk kepentingan politik yang entah kapan ada penggantinya. Secara fungsional gedung DPR digunakan oleh para politisi dan kalangan tertentu saja, sedangkan gedung kesenian, sebagaimana keberadaannya pada masa lalu, lebih dapat dinikmati oleh masyarakat yang lebih luas dan dari berbagai kalangan.

Ketiadaan gedung seperti ini tentu saja memengaruhi pekerjaan dan kegiatan teater yang membutuhkan atau menghajatkan sebuah gedung (tertutup) yang dapat digunakan secara memadai atau representatif.

Aral di tengah jalan

Tantangan klasik dalam hal finansial sudah biasa dihadapi oleh pekerja teater sebagaimana yang dialami teater di Ternate.  Selain itu perhatian berbagai pihak pun ikut memengaruhi keberadaan teater. Fenomena lainnya adalah tidak semua (mantan) pemain adalah mereka yang menetapkan tetaer sebagai dunia berkeseniannya. Mereka hanya sekedar ingin merasakan, mengalami dan terlibat dalam sekali mentas dan mengikuti tren sesaat.

Di samping itu pada tahun-tahun 2000-an perhatian pemuda dan remaja kepada jenis kesenian ini seperti kehilangan angin baik.  Tosse, pekerja teater, ketua Teater Gumutu menilai, kenyataan ini disebabkan cara pandang anak-anak (siswa) yang menilai teater sebagai kesenia yang bergaya jadul, dibandingkan dengan seni tari yang menggunakan kostum-kostum glamour  (biasa dipraktekkan di Ternate).   Sedangkan Ka Arie berpendapat, bahwa pemeranan teater membutuhkan kemampuan intelektual, nalar, dan konsistensi kesastraan yang memadai. Suatu hal yang kurang diminati karena dianggap memberatkan. Padahal para remaja lebih cenderung berhura-ria.  Isbisa bilang, anak-anak Ternate menganggap perbuatan teater saat latihan dengan suara keras dan akting sebagai perbuatan orang gila dan kuno. Walhasil, di tengah perubahan trend dan sikap anak-anak muda di kota ini, teater tetap bernafas di kaki Gamalama.  (Toboleu, 29.8.2024.-)


*Penulis adalah sastrawan yang bermukim di Kota Ternate, Maluku Utara

Sumber:

  • Ahmad, Mahdi.2021. Kamus Ternate-Indonesia-Inggris.Bandung: UPI Press.
  • Marasabessy, Bunyamin, 2004. Upacara Ritual Salai Jin dan Praktek Para Dukun. Ternate:Unkhair.
  • Suleman, Munandar.2000. Ilmu Budaya Dasar. Bandung:Eresco.