PT Indonesia Weda-Bay Industrial Park (IWIP) resmi lima tahun beroperasi di wilayah Halmahera Tengah, Maluku Utara. Ekspansi kawasan yang dilakukan PT IWIP dinilai mengubah kondisi desa-desa dan kawasan di sekitarnya termasuk kualitas air sungai dan air laut.
Sejumlah sungai di desa lingkar tambang bahkan tertimbun hingga tidak lagi mengalir ke laut. Terbaru, Sungai Sagea dan sumber mata air di wisata Boki Maruru Desa Sagea ikut tercemar akibat material tanah dari kerukan tambang pada akhir Juli lalu.
Di saat yang sama, IWIP memperingati 5 tahun kehadirannya, yang kemudian dinilai justru memperingati daya rusak yang ditimbulkan.
“Perayaan hari jadi IWIP kelima secara mewah dan meriah ini dilakukan di atas penderitaan masyarakat yang tinggal di sekitar IWIP. Selama 5 tahun ini kami terpaksa hidup di tengah kerusakan lingkungan yang parah, air, sungai dan udara yang tercemar,” tutur Dinamisator Save Sagea, Adlun Fiqri, dalam keterangan tertulis seperti dikutip cermat, Kamis, 31 Agustus 2023.
“Sungai-sungai besar di Teluk Weda seperti Sungai Kobe dan Sungai Sagea kini tercemar akibat dari operasi sejumlah perusahaan pertambangan nikel, yang semuanya terintegrasi dengan IWIP,” sambungnya.
Adlun bilang, Kampung Sagea bukan sekadar tempat tinggal, melainkan bagian dari identitas mereka lantaran di sana para leluhurnya hidup dan tinggal dari generasi ke generasi. Yang hidup tinggal di sana dan yang meninggal pun dikubur di Sagea. Adlun mengaku bersyukur lahir dan besar di Sagea yang sungai dan mata air mengalir sepanjang tahun. Tanahnya subur dan menumbuhkan beragam tanaman endemik. Telaga dan lautnya menyediakan protein kehidupan.
Telaga Sagea sangat lekat dengan kehidupan perempuan. Para perempuan biasanya berbondong-bondong mengambil kerang dan memancing ikan di telaga Sagea jika terjadi musim ombak di laut. “Dari dulu lagi torang (kami) biasa rame-rame ambe bia di talaga. Jadi so (sudah) turun temurun,” ucap Fifa, warga Sagea.
Di sisi yang lain, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Pius Ginting menyebut bahwa daya tampung dan daya dukung Sungai Sagea dan sungai-sungai lain di lingkar kawasan industri PT IWIP telah terlampaui.
Pemerintah dan perusahaan kendaraan listrik sebagai calon pembeli perlu mengaudit tata kelola aspek sosial serta lingkungan yang sejauh ini dijalankan oleh PT IWIP. Salah satu instrumen yang dapat digunakan ialah kriteria Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) yang telah diluncurkan pada Juni 2018 lalu.
“Kriteria IRMA dapat melengkapi produk hukum nasional dalam mengawasi kualitas air sungai-sungai di sekitar kawasan industri PT IWIP. Sebenarnya, pengembangan kawasan industri nikel di Halmahera Tengah juga harus sejalan dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang dirumuskan oleh pemerintah daerah. Persoalannya sekarang adalah sejauh mana kajian ini telah dipertimbangkan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan RPJMD mereka. Jika sudah dipertimbangkan, apakah KLHS mereka telah mempertimbangkan daya tampung dan daya dukung lingkungan perairan yang turun akibat adanya kawasan industri nikel? Perlu ada evaluasi instrumen pengelolaan lingkungan,” terang Pius.
Perbedaan antara Halmahera dan pulau-pulau kecil sekitarnya dengan pulau-pulau besar adalah karena memiliki karakteristik berupa DAS yang sempit dan pendek, Manager Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Putra memaparkan. Pendekatan pemanfaatannya perlu kehati-hatian dan tidak bisa digeneralisasi. Sayangnya, izin tambang nikel seluas 201 ribu hektar, telah diberikan kepada 43 perusahaan di sana dan justru membebani Halmahera dan pulau-pulau kecil sekitarnya.
Das sebesar 180.587 hektar justru berada di Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Kondisi ini berdampak pada memburuknya situasi di Halmahera dan pulau-pulau kecil sekitarnya dengan total kerusakan hutan di dalam konsesi pertambangan nikel dari tahun 2017 hingga tahun 2021 sebesar 7.565 hektare. Diproyeksikan kerusakan hutan akan semakin parah hingga mencapai 157 ribu hektare kedepannya dari ulah pertambangan nikel ini.
“Tumpang tindih perizinan pertambangan nikel dengan konsesi HPH, HTI, dan Kebun menunjukan kinerja buruk dalam tata kelola sumber daya alam sebagai eksklusifitas tambang dalam kawasan hutan. Hal ini menunjukan lemahnya implementasi transparansi sumber daya alam dalam tata kelola perizinan tambang sebagai potret asimetris informasi.” tegas Anggi Putra.
Sagea Diincar Tambang Nikel dan Karst
Sejak medio Januari 2010, Sagea mulai diincar tambang. Dari tambang nikel berbendera PT First Pasific Mining (FPM) dan PT Zhong Hai Rare Metal Mining Indonesia, yang keduanya diberi izin bupati Halmahera Tengah hingga 2014 untuk FPM dan hingga 2030 untuk Zhong Hai. Tak hanya tambang nikel yang mengintai Sagea namun juga tambang karst, tahun 2019, ada rencana eksplorasi PT Gamping Indonesia, yang tergiur membongkar cadangan karst di Sagea. Rencana ini ditolak oleh warga.
Selain itu, wilayah Sagea ini juga diincar sebagai wilayah penunjang kawasan industri. Dalam dokumen perencanaan kementerian ATR/BPN terkait RDTR Kawasan Industri Teluk Weda, akan dijadikan wilayah pemukiman dan pertanian. Rencananya kawasan ini akan dibangun rumah susun untuk tempat tinggal para pekerja PT IWIP. Warga Sagea yang bertetangga dengan IWIP dan sehari-hari menyaksikan sendiri kerusakan di wilayah sekitar IWIP, tak ingin kerusakan serupa terjadi di kampung halaman mereka.
Warga tak ingin keindahan dan potensi wisata yang ada di kampung Sagea dirusak dengan kehadiran tambang. Selain berkebun pala, cengkeh, kelapa yang telah menyejahterakan mereka. Warga juga memanfaatkan potensi wisata Gua Bokimoruru dan Sungai Sageyen yang pendapatan retribusi masuk gua saja mencapai ratusan juta rupiah.
“Kerusakan lingkungan, akibat aktivitas tambang dan pembabatan hutan, meluas puluhan kilo meter, hingga kampung Sagea, yang jaraknya dari operasi IWIP sekitar 10 km,” ungkap Kepala Divisi Advokasi dan Hukum Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Muh Jamil.
“Jelang peringatan 5 tahun Operasi IWIP, pertengahan Agustus lalu, sungai Sagea menguning dan tercemar karena hulunya telah ditambang oleh PT Weda Bay Nikel yang menyuplai bahan mentah ke smelter-smelter IWIP,” tandasnya.
Pegiat Geowisata Deddy Arif mengaku yang dibutuhkan saat ini adalah pembentukan tim investigasi independen yang bergerak secara objektif dan saintis. Tim investigasi tersebut nantinya harus melibatkan seluruh kalangan seperti pegiat lingkungan, warga asli Desa Sagea, pemerintah pusat dan daerah, pemerhati geowisata, serta peneliti dari berbagai lembaga. Sebab, sejauh ini belum terdapat data terkait kualitas air Sungai Sagea.
“Satu keyakinan yang kita gunakan adalah dengan sedimentasi setebal saat ini di Sungai Sagea, tidak akan mungkin hanya gara-gara faktor lain yang berkembang dari dalam. Kalau melihat dari warna, ketebalan material dalam sedimen, bisa dipastikan ada aktivitas penambangan,” ucapnya.
“Bahkan, saya agak pesimis untuk mengembalikan Sungai Sagea seperti kondisi sebelum tercemar, karena sampai saat ini saya belum pernah mendapatkan satu sungai di konsesi tambang yang bisa kembali pulih seperti harapan kita bersama,” tegas Deddy (RLS).
Editor: Rian Hidayat Husni